Jumat, 13 September 2019

Gus Nadir: Mengenang Habibie: Dari Ilmuwan-Presiden hingga Sosok yang Penuh Cinta


Mengenang Habibie: Dari Ilmuwan-Presiden hingga Sosok yang Penuh Cinta
Oleh: Nadirsyah Hosen

“Jabatan Presiden datang kepada saya secara mendadak. Kurang dari 13 jam setelah sekretaris Presiden menginformasikan kepada saya bahwa Soeharto telah memutuskan untuk mengundurkan diri esok hari… saya tidak punya persiapan yang cukup untuk menduduki jabatan tertinggi ini. Saya harus bekerja paling tidak 16 jam per hari selama 3 bulan pertama untuk mempelajari masalah hukum dan peraturan untuk memimpin pemerintahan dan untuk memformulasikan strategi menghadapi persoalan besar bangsa Indonesia.”

Begitulah Presiden ketiga Indonesia yang baru saja wafat, Bacharuddin Jusuf Habibie, mengenang momen penting dalam hidupnya, seperti yang dia ceritakan sendiri saat menyampaikan pidato pengukuhan Doktor Honoris Causa dari Chungbuk National University, Korea, 13 Maret 2001.

Habibie kembali ke Indonesia tahun 1974 setelah sekolah dan bekerja di Eropa. Presiden Soeharto memanggilnya pulang. Tahun 1978 dia diangkat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) dan memegang posisi ini selama lima periode di Kabinet Pembangunan Soeharto, hingga Maret 1998. Pada 11 Maret 1998 beliau dilantik sebagai Wakil Presiden, dan akhirnya pada 21 Mei 1998 menggantikan Soeharto sebagai Presiden.

Habibie memimpin Indonesia hanya dalam 512 hari. Dia mengambil alih tanggung jawab ketika Indonesia tengah terpuruk dihantam badai krisis moneter (1997-1998). Saat itu tidak banyak yang percaya bahwa Habibie akan berhasil, bahkan banyak pengamat luar negeri yang menaksir Indonesia di ambang kehancuran.

Saya menulis disertasi PhD pertama saya dengan meneliti reformasi hukum di masa Habibie. Saya mengambil contoh UU Pemilu, Hak Asasi Manusia, dan Korupsi. Belakangan disertasi saya itu diterbitkan oleh sebuah penerbit di Belanda. Jelek-jelek begini saya punya dua gelar PhD. Disertasi PhD kedua saya membahas tentang Syariah dan Konstitusi.

Saya masih ingat pada periode 1998-1999 itu seorang profesor terkemuka berbicara di sebuah kampus ternama di Australia: “Indonesia sudah selesai. Bahkan Superman pun tidak akan sanggup menyelamatkan Indonesia.” Indonesia ternyata tidak hancur atau bubar. Dan siapa yang butuh Superman kalau kita sudah punya seorang BJ Habibie?

Ekonomi Indonesia terpuruk pada saat krisis moneter. Krisis politik menjadi berkepanjangan karena Habibie dianggap hanya sebagai boneka Soeharto. Elite Militer dan Golkar, yang selama Orde Baru solid di belakang Soeharto, tidak kompak menopang pemerintahan Habibie.

Timor Timur lepas dari tangan Indonesia. Skandal demi skandal korupsi, kolusi, dan neptisme (KKN) bermunculan di masa transisi politik. Yang lebih fatal, Habibie gagal menyelesaikan kasus Soeharto tuntas di pengadilan, seperti yang dikehendaki para mahasiswa aktivis reformasi.

Apa kata Habibie mengenai kondisi saat itu?

“Bak seorang co-pilot yang tiba-tiba harus menggantikan fungsi, peran, dan tanggung jawab pilot yakni menyelamatkan pesawat dari kemungkinan jatuh terjerembab ke bumi, itulah situasi saya saat itu ketika menerima suksesi kekuasaan dari tangan Pak Harto,” tuturnya seperti tercatat dalam buku karyanya, Detik-Detik yang Menentukan Jalan Panjang lndonesia Menuju Demokrasi.

“Selama 512 hari berkuasa, saya terus diguncang demo yang jumlahnya tak kurang dari 3.200-an kali dengan satu tema besar yakni menghujat Habibie. Namun, saya tetap bersiteguh dalam keyakinan saya, meski sejumlah pakar meramalkan paling-paling saya hanya akan mampu bertahan paling lama tiga bulan saja,” kata profesor desain pesawat terbang itu.

Di tengah euforia massa berdemo inilah, lanjut Habibie, kepadanya tiba-tiba datang usulan apakah tidak lebih baik ia segera memberlakukan negara dalam situasi darurat perang atau SOB (staat van oorlog en beleg). Dan kini, setelah masa-masa kritis itu dan tak lagi duduk di Istana Negara, Habibie mengaku sangat bersyukur tak pernah sampai menyatakan Indonesia dalam keadaan SOB yang, katanya, pernah diusulkan oleh sejumlah orang kepadanya.

“Sejak awal saya sudah yakin, pemberlakuan SOB itu malah akan kontraproduktif dengan arus demokratisasi yang tengah ingin saya gulirkan,” katanya.

Dalam benak Habibie, 207 juta rakyat Indonesia bagai penumpang dalam pesawat yang tengah diambi alih kemudinya dari pilot yang pingsan. Pesawat turun drastis dan akan menuju kehancuran yang membawa petaka bagi penumpang. Saat itu dia hanya punya dua opsi: memberitahu penumpang apa kondisi yang sebenarnya tengah terjadi, dan membiarkan pesawat jatuh. Atau, tetap berada di kokpit dan berusaha keras mengemudikan pesawat agar kembali normal. Habibie memilih yang kedua.

Di tengah kondisi yang tidak normal itu, Habibie harus melakukan berbagai manuver dan kompromi. Pada saat yang sama sejumlah “penumpang” yang tidak sabaran bergerak menuju kokpit, menendang-nendang pintu dan memaksa Habibie menyerahkan kendali pesawat. Mereka mencaci Habibie dan terus mempertanyakan kelayakannya untuk mengendalikan pesawat. Kira-kira itulah gambaran situasi politik yang terjadi saat itu.

Secara konstitusional, Habibie bisa terus menjadi Presiden meneruskan sisa jabatan Soeharto sampai 2003. Tapi, Habibie memutuskan untuk menggelar pemilu yang dipercepat, yaitu tahun 1999. Bahkan laporan pertanggungjawabannya ditolak oleh  Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Profesor Ismail Sunny, mahaguru hukum tata negara yang amat disegani, berpendapat tidak ada aturan yang menghalangi Habibie mencalonkan diri sebagai Presiden, meski laporan pertanggungjawabannya telah ditolak.

Namun, Habibie adalah pemimpin yang tahu persis kapan dia harus berhenti. Dengan legowo, beliau memutuskan tidak lagi mencalonkan diri. Setelah itu KH Abdurrahman Wahid yang terpilih sebagai Presiden.

Pada masa Habibie, keran kebebasan pers dibuka lebar lewat Menteri Penerangan Yunus Yosfiah. Restriksi partai politik yang hanya tiga dihapus lewat Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid. Bermunculanlah sejumlah partai politik baru yang masih kita lihat kiprahnya sampai saat ini. Sejumlah tahanan politik di masa Orde Baru seperti Mukhtar Pakpahan dan Sri Bintang Pamungkas dibebaskan.

Berhasil atau gagalkah Habibie? Kalau melihat secara formal, penolakan laporan pertanggungjawaban beliau mengindikasikan bahwa beliau dianggap tidak berhasil. Namun, lihatlah bagaimana bangsa ini mencintai sosok Habibie yang dikenal sebagai “berotak Jerman, berhati Mekkah” dan, saya tambahkan, “berkepribadian Indonesia” ini

Dari semula bangsa mengenalnya sebagai teknokrat dan pejabat, kini kita mengenangnya sebagai sosok kopilot yang terpaksa mengambil alih kendali pesawat bernama Indonesia yang saat itu hampir hancur. Kita tidak mesti sepakat dengan berbagai manuver dan kompromi yang dia lakukan, namun Indonesia tahun 2019 harus berterima kasih pada apa yang Habibie kerjakan di masa kritis tahun 1998-1999. Habibie jelas bukan Superman. Tapi, kehadirannya di muka bumi adalah anugerah untuk bangsa kita. Habibie berhasil membawa “pesawat” terhindar dari kehancuran.

Habibie menjelma menjadi sosok guru bangsa yang tahu diri. Tidak usil mengganggu kiprah Presiden setelah era beliau. Beliau menjadi negarawan yang menarik diri dari politik praktis. Bahkan dari semula sosok yang dianggap manusia paling cerdas di Tanah Air, beliau belakangan berubah menjadi sosok yang penuh cinta. Sisi humanis seorang Habibie muncul ke permukaan, terlebih setelah wafatnya istri tercinta, Ibu Ainun. Kita seolah melihat sisi Habibie yang selama ini tersembunyi.

Sang Kopilot menjadi teladan yang didamba bangsa ini. Pintar tapi tidak melupakan cinta pada keluarganya. Brilian tapi tidak lupa tanah airnya. Sang Kopilot telah sukses mendaratkan pesawatnya di landasan hati kita semua. Kepergiannya ditangisi, dan kita merindukan tokoh bangsa sekaliber beliau.

Seperti yang saya cuitkankan beberapa saat setelah mendengar wafatnya beliau:

Caranya bicara. Binar matanya. Gerak tubuhnya. Ada gagasan yang terus berpijar. Ada energi yang terus melimpah. Buat bangsa ini. Sesuai sumpahnya dulu.

Dan ada cinta yang tak pernah padam, yang kini akan bersua kembali. 

Met jalan Pak Habibie. Selamat jumpa kembali dengan Ibu Ainun… []

GEOTIMES, 13 September 2019
Nadirsyah Hosen | Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School, Australia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar