Mengenang Habibie: Dari Ilmuwan-Presiden hingga Sosok yang Penuh
Cinta
Oleh: Nadirsyah Hosen
“Jabatan Presiden datang kepada saya secara mendadak. Kurang dari
13 jam setelah sekretaris Presiden menginformasikan kepada saya bahwa Soeharto
telah memutuskan untuk mengundurkan diri esok hari… saya tidak punya persiapan
yang cukup untuk menduduki jabatan tertinggi ini. Saya harus bekerja paling
tidak 16 jam per hari selama 3 bulan pertama untuk mempelajari masalah hukum
dan peraturan untuk memimpin pemerintahan dan untuk memformulasikan strategi
menghadapi persoalan besar bangsa Indonesia.”
Begitulah Presiden ketiga Indonesia yang baru saja
wafat, Bacharuddin Jusuf Habibie, mengenang momen penting dalam hidupnya,
seperti yang dia ceritakan sendiri saat menyampaikan pidato pengukuhan Doktor
Honoris Causa dari Chungbuk National University, Korea, 13 Maret 2001.
Habibie kembali ke Indonesia tahun 1974 setelah sekolah dan
bekerja di Eropa. Presiden Soeharto memanggilnya pulang. Tahun 1978 dia
diangkat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) dan memegang
posisi ini selama lima periode di Kabinet Pembangunan Soeharto, hingga Maret
1998. Pada 11 Maret 1998 beliau dilantik sebagai Wakil Presiden, dan akhirnya
pada 21 Mei 1998 menggantikan Soeharto sebagai Presiden.
Habibie memimpin Indonesia hanya dalam 512 hari. Dia mengambil
alih tanggung jawab ketika Indonesia tengah terpuruk dihantam badai krisis
moneter (1997-1998). Saat itu tidak banyak yang percaya bahwa Habibie akan
berhasil, bahkan banyak pengamat luar negeri yang menaksir Indonesia di ambang
kehancuran.
Saya menulis disertasi PhD pertama saya dengan meneliti reformasi
hukum di masa Habibie. Saya mengambil contoh UU Pemilu, Hak Asasi Manusia, dan
Korupsi. Belakangan disertasi saya itu diterbitkan oleh sebuah penerbit di
Belanda. Jelek-jelek begini saya punya dua gelar PhD. Disertasi PhD kedua saya
membahas tentang Syariah dan Konstitusi.
Saya masih ingat pada periode 1998-1999 itu seorang profesor
terkemuka berbicara di sebuah kampus ternama di Australia: “Indonesia sudah
selesai. Bahkan Superman pun tidak akan sanggup menyelamatkan Indonesia.”
Indonesia ternyata tidak hancur atau bubar. Dan siapa yang butuh Superman kalau
kita sudah punya seorang BJ Habibie?
Ekonomi Indonesia terpuruk pada saat krisis moneter. Krisis
politik menjadi berkepanjangan karena Habibie dianggap hanya sebagai boneka
Soeharto. Elite Militer dan Golkar, yang selama Orde Baru solid di belakang
Soeharto, tidak kompak menopang pemerintahan Habibie.
Timor Timur lepas dari tangan Indonesia. Skandal demi skandal
korupsi, kolusi, dan neptisme (KKN) bermunculan di masa transisi politik. Yang
lebih fatal, Habibie gagal menyelesaikan kasus Soeharto tuntas di pengadilan,
seperti yang dikehendaki para mahasiswa aktivis reformasi.
Apa kata Habibie mengenai kondisi saat itu?
“Bak seorang co-pilot
yang tiba-tiba harus menggantikan fungsi, peran, dan tanggung jawab pilot yakni
menyelamatkan pesawat dari kemungkinan jatuh terjerembab ke bumi, itulah
situasi saya saat itu ketika menerima suksesi kekuasaan dari tangan Pak Harto,”
tuturnya seperti tercatat dalam buku karyanya, Detik-Detik yang Menentukan Jalan Panjang lndonesia
Menuju Demokrasi.
“Selama 512 hari berkuasa, saya terus diguncang demo yang
jumlahnya tak kurang dari 3.200-an kali dengan satu tema besar yakni menghujat
Habibie. Namun, saya tetap bersiteguh dalam keyakinan saya, meski sejumlah
pakar meramalkan paling-paling saya hanya akan mampu bertahan paling lama tiga
bulan saja,” kata profesor desain pesawat terbang itu.
Di tengah euforia massa berdemo inilah, lanjut Habibie, kepadanya
tiba-tiba datang usulan apakah tidak lebih baik ia segera memberlakukan negara
dalam situasi darurat perang atau SOB (staat
van oorlog en beleg). Dan kini, setelah masa-masa kritis itu dan
tak lagi duduk di Istana Negara, Habibie mengaku sangat bersyukur tak pernah
sampai menyatakan Indonesia dalam keadaan SOB yang, katanya, pernah diusulkan
oleh sejumlah orang kepadanya.
“Sejak awal saya sudah yakin, pemberlakuan SOB itu malah akan
kontraproduktif dengan arus demokratisasi yang tengah ingin saya gulirkan,”
katanya.
Dalam benak Habibie, 207 juta rakyat Indonesia bagai penumpang
dalam pesawat yang tengah diambi alih kemudinya dari pilot yang pingsan.
Pesawat turun drastis dan akan menuju kehancuran yang membawa petaka bagi
penumpang. Saat itu dia hanya punya dua opsi: memberitahu penumpang apa kondisi
yang sebenarnya tengah terjadi, dan membiarkan pesawat jatuh. Atau, tetap
berada di kokpit dan berusaha keras mengemudikan pesawat agar kembali normal.
Habibie memilih yang kedua.
Di tengah kondisi yang tidak normal itu, Habibie harus melakukan
berbagai manuver dan kompromi. Pada saat yang sama sejumlah “penumpang” yang
tidak sabaran bergerak menuju kokpit, menendang-nendang pintu dan memaksa
Habibie menyerahkan kendali pesawat. Mereka mencaci Habibie dan terus mempertanyakan
kelayakannya untuk mengendalikan pesawat. Kira-kira itulah gambaran situasi
politik yang terjadi saat itu.
Secara konstitusional, Habibie bisa terus menjadi Presiden
meneruskan sisa jabatan Soeharto sampai 2003. Tapi, Habibie memutuskan untuk
menggelar pemilu yang dipercepat, yaitu tahun 1999. Bahkan laporan
pertanggungjawabannya ditolak oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Profesor Ismail Sunny, mahaguru hukum tata negara yang amat disegani,
berpendapat tidak ada aturan yang menghalangi Habibie mencalonkan diri sebagai
Presiden, meski laporan pertanggungjawabannya telah ditolak.
Namun, Habibie adalah pemimpin yang tahu persis kapan dia harus
berhenti. Dengan legowo, beliau memutuskan tidak lagi mencalonkan diri. Setelah
itu KH Abdurrahman Wahid yang terpilih sebagai Presiden.
Pada masa Habibie, keran kebebasan pers dibuka lebar lewat Menteri
Penerangan Yunus Yosfiah. Restriksi partai politik yang hanya tiga dihapus
lewat Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid. Bermunculanlah sejumlah partai
politik baru yang masih kita lihat kiprahnya sampai saat ini. Sejumlah tahanan
politik di masa Orde Baru seperti Mukhtar Pakpahan dan Sri Bintang Pamungkas
dibebaskan.
Berhasil atau gagalkah Habibie? Kalau melihat secara formal, penolakan
laporan pertanggungjawaban beliau mengindikasikan bahwa beliau dianggap tidak
berhasil. Namun, lihatlah bagaimana bangsa ini mencintai sosok Habibie yang
dikenal sebagai “berotak Jerman, berhati Mekkah” dan, saya tambahkan,
“berkepribadian Indonesia” ini
Dari semula bangsa mengenalnya sebagai teknokrat dan pejabat, kini
kita mengenangnya sebagai sosok kopilot yang terpaksa mengambil alih kendali
pesawat bernama Indonesia yang saat itu hampir hancur. Kita tidak mesti sepakat
dengan berbagai manuver dan kompromi yang dia lakukan, namun Indonesia tahun
2019 harus berterima kasih pada apa yang Habibie kerjakan di masa kritis tahun
1998-1999. Habibie jelas bukan Superman. Tapi, kehadirannya di muka bumi adalah
anugerah untuk bangsa kita. Habibie berhasil membawa “pesawat” terhindar dari
kehancuran.
Habibie menjelma menjadi sosok guru bangsa yang tahu diri. Tidak
usil mengganggu kiprah Presiden setelah era beliau. Beliau menjadi negarawan
yang menarik diri dari politik praktis. Bahkan dari semula sosok yang dianggap
manusia paling cerdas di Tanah Air, beliau belakangan berubah menjadi sosok
yang penuh cinta. Sisi humanis seorang Habibie muncul ke permukaan, terlebih
setelah wafatnya istri tercinta, Ibu Ainun. Kita seolah melihat sisi Habibie
yang selama ini tersembunyi.
Sang Kopilot menjadi teladan yang didamba bangsa ini. Pintar tapi
tidak melupakan cinta pada keluarganya. Brilian tapi tidak lupa tanah airnya.
Sang Kopilot telah sukses mendaratkan pesawatnya di landasan hati kita semua.
Kepergiannya ditangisi, dan kita merindukan tokoh bangsa sekaliber beliau.
Seperti yang saya cuitkankan beberapa saat setelah mendengar
wafatnya beliau:
Caranya bicara. Binar matanya. Gerak tubuhnya. Ada gagasan yang
terus berpijar. Ada energi yang terus melimpah. Buat bangsa ini. Sesuai
sumpahnya dulu.
Dan ada cinta yang tak pernah padam, yang kini akan bersua
kembali.
Met jalan Pak Habibie. Selamat jumpa kembali dengan Ibu Ainun… []
GEOTIMES, 13 September 2019
Nadirsyah Hosen | Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New
Zealand dan Dosen Senior Monash Law School, Australia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar