Saat Salafi Memelintir
Perkataan Imam Syafi’i
Perdebatan antara kelompok Salafi dan
Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) di antaranya berkisar pada persoalan bid’ah
hasanah. Masing-masing menyuguhkan dalil dari Al-Qur’an dan hadits, bahkan
kelompok Salafi tak jarang menjadikan pendapat imam mazhab sebagai bahan
“memukul”. Berikut ini adalah percakapan imajiner yang sejatinya berangkat dari
kasus-kasus yang umum kita jumpai. Meski imajiner, narasi dalam dialog ini
memiliki valditas ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. (Redaksi)
Salafi: Orang yang mengaku bermazhab Syafi’i
itu hanya mempelajari fiqih Syafi’i saja, tapi tidak mau mempelajari aqidahnya.
Aqidah pengikut mazhab Syafi’i itu sudah menyimpang dari aqidah Imam Syafi’i.
Aswaja: Lowh…
Salafi: Dan lagi, selama ini pengikut Syafi’i
itu ternyata telah menyimpang dari penjelasan Imam Syafi’i sendiri.
Aswaja: Owh… Contohnya?
Salafi: Misalnya tentang bid’ah hasanah. Imam
Syafi’i itu tak mengakui bid’ah hasanah! Sementara yang mengaku sebagai
pengikutnya justru mengakui dan membela mati-matian bid’ah hasanah.
Aswaja: Wah, ajib nih. Gimana penjelasannya?
Salafi: Coba dengarkan ini. Ulama kami,
namanya Syekh Muhammad Alu al-Syaikh mengutip pendapat dari dua kitab ulama
pengikut mazhab Syafi’i, yaitu Imam al-Ghazali dan Syekh al-Mahalli. Dengarkan
ya.
ولهذا
قال الإمام الشافعي رحمه الله في كلمته المشهورة التي نقلها عنه أئمة مذهبه
وعلماؤه كالغزالي في "المنخول" (ص374)، والمحلي في "جمع
الجوامع-2/395 بحاشيته": "من استحسن فقد شرع"
Perlu diterjemahkan nggak?
Aswaja: Terjemahkan saja. Jangan-jangan
terjemahannya saja yang salah.
Salafi: Ah, ya tidak. Ini terjemahannya:
“Oleh karena itu, Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan dalam kalimat
beliau yang populer, yang dinukil oleh imam-imam dan ulama-ulama mazhabnya,
seperti al-Ghazali dalam al-Mankhul (hal. 374) dan al-Mahalli dalam Jam’u
al-Jawami’ (2/395) dan Hasyiyahnya: Man istahsana faqad syarra’a
(barangsiapa melakukan ‘istihsan/menilai baik sesuatu’ maka dia telah
membuat-buat syariat.”
Aswaja: Oh, masalah istihsan. Terus?
Salafi: Nah, ini lebih tegas nih di kitab
induk Imam Syafi’i, yaitu al-Risalah dan al-Umm. Imam Syafi’i
ternyata memang mengatakan barangsiapa melakukan ‘istihsan/menilai baik
sesuatu’ maka dia telah membuat-buat syariat. Jadi tidak mungkin Imam Syafi’i
menyatakan adanya bid’ah hasanah, karena beliau menolak istihsan.
Makanya di sini Syekh Muhammad Alu al-Syaikh dalam kitab yang sama, jilid 8,
halaman 45 menjelaskan:
كيف
يقول الشافعي رحمه الله بالبدعة الحسنة وهو القائل: "من استحسن فقد شرع".والقائل
في "الرسالة" ( ص507):"إنما الاستحسان تلذذ".وعقد فصلاً في
كتابه "الأم" (7/293- 304) بعنوان:"إبطال الاستحسان"
“Bagaimana Syafi’i rahimahullah mengakui
keberadaan bid’ah hasanah, sedang beliau mengatakan, ‘Barangsiapa melakukan
istihsan maka dia telah membuat-buat syariat.’ Beliau juga mengatakan dalam al-Risalah
(hal 507), ‘Istihsan adalah perbuatan untuk mencari kesenanangan diri.’
Imam Syafi’i juga membuat bab tersendiri dalam al-Umm (7/293-304) dengan
judul ‘Pembatalan Istihsan’.”
Jadi intinya, kalian yang mengaku sebagai
penganut mazhab Syafi’i, pahamilah kalam Imam Syafi’i dengan kaidah dan ushul
ajaran mazhab Syafi’i. Jelas-jelas beliau tidak mengakui istihsan.
Aswaja: Jadi karena Imam Syafi’i menolak
istihsan, lalu kalian simpulkan beliau menolak bid’ah hasanah?
Salafi: Ya, coba ini keterangan
berikutnya:
الفصل
الخامس: القيام عند ذكر ولادته - صلى الله عليه وسلم - وزعمهم أنه يخروج إلى
الدنياأثناء قراءة قصص المولد (حثت القصص التي تقرأ بمناسبة الاحتفال بالمولد على
القيام عند ذكر ولادة النبي - صلى الله عليه وسلم -وخروجه إلى الدنيا ومما جاء
فيها من ذلك ما يلي:قال البرزنجي في "مولده" (ص77): (قد استحسن القيام
عند ذكر مولده الشريف أئمة ذوو رِواية و روية فطوبى لمن كان تعظيمه - صلى الله
عليه وسلم - غاية مرامه ومرماه). حكم الاحتفال بالمولد النبوي والرد على من
أجازه" للشيخ محمد بن إبراهيم آل الشيخ رحمه الله (ص29-30) ـ
“Pasal kelima tentang berdiri saat momen
penyebutan kelahiran Nabi ﷺ dan klaim mereka
bahwa Nabi keluar ke dunia saat pembacaan kisah-kisah maulid. Kisah-kisah yang
dibaca dalam acara peringatan maulid ini meniscayakan agar orang yang
membacanya berdiri ketika penyebutan kisah kelahiran Nabi ﷺ dan bahwa beliau
keluar ke dunia. Di antara penjelasan mereka adalah sebagai berikut.
Al-Barzanji mengatakan dalam kitab Maulid (hal 77), ‘Para ulama yang
menguasai riwayat dan maknanya menganggap baik (istahsana, dari kata istihsan,
penj) berdiri saat penyebutan kelahiran beliau yang mulia. Maka sungguh
beruntung orang yang menjadikan pengangungan terhadap Nabi Muhammad ﷺ sebagai tujuan dan
kecintaannya.” (Muhammad Alu al-Syaikh, Hukm al-Ihtifal bi al-Maulid
al-Nabawi, hal 29-30).
Aswaja: Owh, paham, paham. Jadi ketika Imam
al-Barzanji menganggap baik atau istahsana, dari kata istihsan amaliah berdiri
saat penyebutan kelahiran Nabi Muhammad, lalu kalian benturkan dengan penolakan
Imam Syafi’i terhadap istihsan itu?
Salafi: Iya.
Aswaja: Saya simpulkan ya. Menurut keterangan
Syekh Muhammad Alu al-Syaikh tadi: Pertama, Imam Syafi’i tidak mengakui
bid’ah hasanah. Kedua, ketidaksetujuan Imam Syafi’i terhadap bid’ah
hasanah itu dengan dasar karena beliau menolak istihsan. Ketiga, Alu al-Syaikh
telah mengartikan istihsan yang ditolak oleh Imam Syafi’i dengan makna yang
bersifat harfiah-menyeluruh atau generalisasi, yaitu “menganggap baik sesuatu”,
termasuk dalam hal ini sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi
Muhammad ﷺ.
Salafi: Betul. Kan memang seperti itu.
Aswaja: Sepertinya ada kesalahan ilmiah yang
fatal di sini. Antum salah pikir.
Salafi: Lowh, kenapa? Antum harus menerima
ini sebagai kebenaran, ya akhi. Memang umat Islam di Indonesia yang mengaku
bermazhab Syafi’i sudah jauh dari tuntunan Imam Syaf’i. Ini fakta. Sudah, akui
saja.
Aswaja: Ya akhi. Apa hubungan antara istihsan
dengan bid’ah hasanah? Tidak ada hubungannya kecuali bila hanya secara paksa
dihubung-hubungkan saja. Penulis kitab yang antum baca itu mengajak orang lain
untuk memahami kaidah dan prinsip Imam Syafi’i untuk menafsirkan kalam Imam
Syafi’i. Namun justru dia membuat pemaknaan sendiri tentang istihsan yang
ditolak oleh Imam Syafi’i.
Salafi: Kan jelas Imam Syafi’i menolak sikap
menganggap baik sesuatu atau istihsan itu. Jadi beliau menolak bid’ah hasanah
kan?
Aswaja: Wah, kok pemahamannya begitu.
Betulkah Imam Syafi’i menolak bid’ah hasanah melalui konsep istihsan? Apa betul
kita sebagai penganut mazhab Syafi’i yang menganggap baik maulid, berdiri dalam
pembacaan shalawat, dan sebagainya telah bertentangan dengan pendapat Imam
Syafi’i?
Dengarkan akhi ya.
Pertama, menurut Imam
Syafi’i, istihsan yang tidak boleh itu adalah bila bertentangan dengan dalil
Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam kitab ar-Risalah dijelaskan:
وهذا يبين
أن حراما على أحد أن يقول بالاستحسان إذا خالف الاستحسان الخبر والخبر من الكتاب
والسنة
“Hal ini menjelaskan bahwa haram bagi
seseorang berpendapat dengan istihsan jika istihsan tersebut bertentangan
dengan khabar. Sementara khabar itu dari Al-Qur’an dan as-Sunnah.” (al-Syafi’i,
ar-Risalah, 503)
Kedua, istihsan yang
dimaksud oleh Imam Syafi’i adalah istihsan sebagai lawan qiyas. Dalam ar-Risalah,
hal 504 dijelaskan:
لِهَذَا
تَدُلُّ على إبَاحَةِ الْقِيَاسِ وَحَظْرِ أَنْ يُعْمَلَ بِخِلَافِهِ من
الِاسْتِحْسَانِ.
“Dengan ini menjadi dalil tentang kebolehan
qiyas dan larangan untuk mengamalkan sebaliknya yaitu istihsan.”
Salafi: Istihsan itu kan artinya menolak
menganggap baik sesuatu. Sudah, jangan sulit-sulit mengartikan ucapan Imam
Syafi’i itu. Beliau menolak bid’ah hasanah atas nama istihsan.
Aswaja: Itulah hobi kalian. Sukanya
mengartikan sesuatu dengan harfiah, tapi tak mau meneliti lebih mendalam. Antum
harus tahu, baik ar-Risalah maupun al-Umm, itu adalah kitab ushul
fiqh. Apa istihsan yang dimaksud dalam ushul fiqih itu?
Para pakar ushul fiqih memiliki beberapa
pengertian tentang istihsan ini. Syekh Muhammad al-Amin al-Syinqithi dalam Mudzakkirah
Ushul Fiqh ‘ala Raudhatun Nazhir misalnya merilis beberapa definisi
tersebut.
Terdapat ulama ushul yang memberikan
pengertian istihsan dengan “Sesuatu yang dianggap baik oleh seorang mujtahid
dengan akalnya (ma yastahsinuhul mujtahidu bi ‘aqlih).”
Apakah yang dianggap baik tersebut? Ternyata
objeknya adalah dalil.
Oleh karena itu, terdapat ulama ushul yang
memberikan pengertian istihsan dengan “Suatu dalil yang terbesit di benak
mujtahid tanpa mampu untuk dia ungkapkan (dalilun yanqadihu fi nafsil
mujtahidi la yaqdiru ‘alat ta’biiri ‘anhu).”
Antum bisa baca di kitab beliau, Mudzakkirah
Ushul Fiqh ‘ala Raudhatun Nazhir, halaman 259.
Nah, berdasarkan pengertian istihsan tersebut
dapat disimpulkan bahwa objek istihsan itu adalah dalil. Maksudnya, suatu
pikiran dalam benak mujtahid untuk memilih suatu dalil dan meninggalkan yang
lain, namun ia tak dapat mengungkapkan mengapa ia memilih dalil tersebut dan
meninggalkan yang lain. Hal inilah yang ditolak oleh Imam Syafi’i, bukan
istihsan yang antum artikan “menganggap baik sesuatu” secara umum, atau
“menilai sesuatu sebagai bid’ah hasanah”.
Salafi: Tapi al-Barzanji secara jelas tadi
mengatakan bahwa berdiri saat pembacaan maulid itu di-istihsan-kan oleh para
penghobi Maulid. Bagaimana nih? Ana ulang lagi ya:
قد
استحسن القيام عند ذكر مولده الشريف أئمة ذوو رِواية و روية
Aswaja: Ya akhi, ulama Ahlussunnah wal
Jama’ah ketika menganggap baik sesuatu memang memakai kata istihsan.Tapi yang
dimaksud adalah istihsan dari segi bahasa, bukan dalam bidang Ushul Fiqh. Antum
harus lanjutkan kalam al-Barzanji itu. Jangan dipotong-potong.
Lanjutan kalam beliau tentang istihsan saat
qiyam dalam pembacaan Maulid, sebagaimana dikutip Sayyid Muhammad bin Alwi
al-Maliki dalam kitab al-Bayan wa al-Ta’rif fi Dzikra al-Mawlid al-Nabawi,
hal 29-30 begini:
ونعني
بالاستحسان بالشيئ هنا كونه جائزا من حيث ذاته وأصله ومحمودا ومطلوبا من حيث
بواعثه وعواقبه, لا بالمعنى المصطلح عليه في أصول الفقه.
“Yang kami maksud dengan istihsan atau
menganggap baik sesuatu di sini adalah sesuatu yang dari asalnya suatu
perbuatan itu boleh serta dari sisi tujuan dan dampaknya memang baik dan
diharapkan. Bukan istihsan yang diistilahkan dalam ilmu ushul fiqh.”
Fahimtum?
Jadi berdiri adalah sesuatu yang boleh. Bila
tujuan dan dampaknya baik – sebagaimana dalam mahallul qiyam – maka itu baik.
Itulah yang disebut istihsan di sini, bukan istihsan dalam ushul fiqh yang
memang ditolak oleh Imam Syafi’i.
Salafi: Jadi, salah ya bahwa Imam Syafi’i
menolak bid’ah hasanah dengan dalih beliau menolak istihsan.
Aswaja: Ya iyalah. Makanya antum dan jamaah
antum selama ini hanya digiring saja untuk memahami sesuatu hanya sesuai yang
dimaui Syekh-Syekh antum itu. Teliti lagi ya akhi. Jangan manggut-manggut saja.
Apalagi ini jelas makar terhadap pernyataan Imam Syafi’i. Ini namanya kedustaan
atas nama beliau.
Belum lagi, al-Hafizh al-Baihaqi dalam Manaqib
al-Imam al-Syafi’i menyitir pendapat sang imam bahwa bid’ah itu ada dua, yaitu
sesat dan tidak sesat.
اَلْمُحْدَثَاتُ
ضَرْبَانِ: مَا أُحْدِثَ مما يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أثرا
أوإِجْمَاعًا فَهذه بِدْعَةُ الضَّلالِ وَمَا أُحْدِثَ من الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ
شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهذه مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ. (الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، ١/٤٦٩) ـ
“Sesuatu yang baru (muhdats) itu ada
dua, sesuatu yang baru dikerjakan yang bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunnah,
atsar, atau ijma’, maka ini adalah bid’ah yang sesat. Sementara sesuatu baru
yang baik yang tidak bertentangan dengan sedikitpun dari hal itu maka ini
adalah bid’ah yang tidak jelek.”
Syekh Ibnu Taimiyah dalam al-’Aql wa
al-Naql mengomentari, periwayatan al-Baihaqi ini sanadnya shahih. Beliau
menjelaskan:
قَالَ
عَنْهُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ فِي العَقْلِ وَالنَّقْلِ 1/ 248 رَوَاهُ البَيْهَقِي
بِإِسْنَادِهِ الصَّحِيْحِ فِي المدْخَلِ
“Ibnu Taimiyah menjelaskan dalam al-‘Aql wa
al-Naql, 1/248, periwayatan ini (tentang Imam Syafi’i membagi bid’ah menjadi
dua) diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang sahih dalam al-Madkhal.”
Salafi: Baik, baik. Saya simpulkan ya. Dengan
membagi bid’ah menjadi dua, sesat dan tidak sesat, itu artinya justru Imam
Syafi’i sendiri mengakui keberadaan bid’ah hasanah. Sama seperti pemahaman jumhur
atau mayoritas ulama setelah beliau. Maka klaim bahwa Imam Syafi’i menolak
bid’ah hasanah – apalagi dengan dalih beliau menolak istihsan – adalah sebuah
kegagalan pemahaman dari kami.
Aswaja: Nah, ahsantum, ya akhi. Barakallah
fiikum.
[]
Ustadz Faris Khoirul Anam, Lc., M.H.I., Wakil
Direktur Aswaja NU Center PWNU Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar