Konfigurasi Politik Setelah PEMILU
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Di sebagian besar daerah pemilu legislatif tahun 2004 telah
berlangsung. Pada saat ini KPU tengah menggunakan teknologi informasi (TI) di
Hotel Borobudur, Jakarta untuk melakukan tabulasi hasil-hasilnya yang menurut
Wakil Ketua KPU DR. Ramlan Surbakti hanya bersifat uji coba, karena hasil
tabulasi resmi hanya akan dilakukan berdasarkan laporan-laporan manual, sesuai
dengan ketentuan undang-undang. Pernyataan penggunaan TI, sebuah proses yang memakan
biaya 200 miliar rupiah itu, hanya bersifat uji coba berarti sebuah pemborosan
luar biasa, yang diakibatkan oleh tingginya korupsi oleh KPU itu sendiri.
Karena itu penulis dan kawan-kawan mengkritik kinerja KPU dan meminta
penggantian pimpinan KPU dengan segera, yang oleh Megawati Soekarnoputri
dianggap sebagai “memperolok-olok KPU”. Penulis telah menjawab hal itu,
dengan menyatakan bahwa kritik itu serius karena didukung dengan fakta-fakta
yang ada dan tidak bermain-main. Dengan tidak boleh komentar apapun, menandakan
bahwa pemerintah sendiri dibuat bingung oleh KPU.
Ketika penulis dan kawan-kawan meminta Ketua KPU Nazaruddin
Syamsudin meminta maaf kepada bangsa ini, karena kerja KPU yang dipimpinnya
tidak karuan maka dengan muka kusam ia meminta maaf kepada bangsa ini, namun ia
tidak berbicara mengenai permintaan agar mundur dari jabatannya itu. Namun
Megawati Soekarnoputri tetap tidak meminta maaf kepada bangsa ini karena
pelaksanaan pemilu legislatif yang kacau balau. Seperti jutaan orang yang seharusnya
menjadi pemilih, tidak menerima surat panggilan memilih; sehingga mereka tidak
dapat memilih pilihan mereka. Ditambah begitu banyak orang yang tidak berhak
memilih, seperti anak-anak dibawah umur dan orang-orang yang sudah meninggal
dunia, ternyata mendapat surat panggilan.
Kejadian-kejadian tragis seperti ini, disertai pula oleh cara-cara
menghitung dan melakukan tabulasi yang acak-acakan, pada akhirnya membuat
penulis dan kawan-kawan terpaksa membuat kriteria bagi pengumuman KPU akan
hasil-hasil pemilu legislatif tahun 2004. Kriteria itu akan menentukan diterima
atau ditolaknya hasil tersebut oleh sebagian dari 24 parpol peserta pemilu,
pada tanggal 26 April 2004 yang akan datang. Ini adalah akibat dari telah tercapai
titik nadir dalam kehidupan politik kita, dan merupakan krisis politik yang
terbesar sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang dikeluarkan oleh mendiang
Presiden Soekarno. Karenanya, dibalik ketenangan yang kita lihat saat ini, ada
sebuah proses besar yang tengah berjalan luar biasa, dan anehnya tidak
memperoleh responsi terbuka dari pemerintah.
Dalam kesunyian yang mencekam pada proses menentukan kehidupan
bangsa ini, penulis bertanya; akan benar-benar demokratiskah hidup bangsa ini
atau tidak? Sudah tentu kita harus melihat betapa besarnya resistensi
(perlawanan) dari kemapanan yang ada. Terlihat dalam proses demokratisasi
kehidupan bangsa ini, ada beberapa pihak luar negeri yang turut serta. Seperti
yang dinyatakan mengenai proyeksi hasil pemilu kita, serta yang menyatakan
bahwa pemilu legislatif kita tahun ini 80-85% bersih dan demokratis. Kesimpulan
itu ditolak oleh CETRO di bawah pimpinan para pejuang demokrasi di negeri kita.
Bernarkah “orang luar” lebih tau dari kita sendiri sebagai bangsa akan jalannya
pemilu legislatif tahun 2004 di negeri ini?
Sebuah kenyataan lain perlu juga kita perhatikan adalah adanya
kenyataan bahwa politik aliran tetap mendominasi kehidupan politik kita.
Seperti perolehan suara PDI Perjuangan, terlepas dari tuduhan melakukan money
politic, menampilkan diri sebagai perwakilan kaum nasionalis yang berarti
nasionalisme masih menjadi kekuatan politik di negeri ini. Demikian pula,
golongan Islam, masih diyakini oleh diktomi tradisionalisme (yang diperlihatkan
oleh sebagian pemilih dari kalangan NU/PKB), dan pihak modernis (diwakili
terutama oleh pemunculan pendatang baru seperti PKS). Pihak ketiga adalah paham
kekaryaan yang diwakili oleh Partai Demokrat dan Golkar, walau terdapat tuduhan
berat akan money politic. Dari fenomena perolehan suara ini, tidak dapat
dihindari bahwa terdapat ketidakpastian aliran mana yang dominan dalam
kehidupan politik kita. Untuk menebus ketidakpastian tersebut, mau tidak mau,
harus ada kerjasama antara dua aliran politik dalam kehidupan kita untuk
sementara ini atau mungkin untuk lima tahun mendatang. Kenyataan sejarah ini
adalah sesuatu yang harus disadari oleh para pemimpin politik kita.
Ketidakmampuan memahami kenyatan sejarah yang demikian gamblang ini, akan
menunjukkan kualitas kepemimpinan mereka (dan dengan sendiri para pemimpin
aliran-aliran politik kita di masa depan).
Kenyataan sejarah tersebut menurut penulis, adalah sebuah
kejujuran dari sebuah proses politik sangat panjang yang dimulai oleh para
pendiri negara kita. Apapun itu peran pejuang seperti Soekarno, Hatta, Cipto
Mangunkusumo, atau para pemimpin dari angkatan berikut (seperti Panglima Besar
Soedirman) dan konfigurasi seperti Djuanda, Leimena, Subhan, M. Natsir dan
lain-lain, maupun yang ada sekarang ini, jelas menunjukkan hilangnya politik
aliran secara tetap.
Dalam lingkup politik aliran seperti itu, harus dilakukan
demokratisasi kehidupan bangsa kita secara sungguh-sungguh. Demokratisasi itu
bersandar kepada kedaulatan hukum dan perlakuan sama kepada semua warga negara
dihadapan undang-undang, terlepas dari perbedaan asal-usul, agama, bahasa- ibu,
satuan etnis, budaya dan daerah mereka. Kita tidak boleh kehilangan kedua hal
itu, jika menginginkan bangsa Indonesia yang jaya dan kuat. Dari hal inilah
muncul keheranan, mengapa ada pihak-pihak yang tetap dapat menerima KKN di
negeri kita, dengan jalan “mengundurkan” proses demokratisasi yang berjalan?
Pihak inilah yang harus diperhitungkan, yaitu pihak yang tidak ingin
menyaksikan bangsa Indonesia tumbuh kuat, dan menentukan nasib sendiri, serta
muncul sebagai salah satu pimpinan dunia yang akan ‘mengganggu’ keseimbangan
geo-politis yang telah mapan.
Dari tinjauan di atas menjadi jelas, bahwa perjuangan kita di masa
depan terkait dengan 2 hal: tegaknya demokrasi di negeri ini dan pola hubungan
internasional seimbang, berdasarkan apa yang diingini Indonesia di masa depan.
Perjuangan kita untuk menegakkan kedua hal itu, sangat tergantung cepat atau
lambatnya kedua persepsi di atas dipahami orang banyak. Dan juga proses
demokratisasi di negeri ini sangat bergantung kepada kemampuan kita
menyelesaikan kemelut hasil pemilu legislatif tahun 2004. Tentu saja, ini
berarti harus ada cara-cara penyelesaian yang diterima baik oleh pemerintah,
KPU dan pihak-pihak yang menentang hasil-hasil pemilu legislatif itu sendiri
pada saat ini. Nasib bangsa di kemudian hari akan sangat bergantung kepada
kesepakatan yang dicapai oleh pihak-pihak tersebut. Ini adalah sebuah proses
politik yang memerlukan kearifan tersendiri dari kita semua sebagai bangsa. Punyakah
ia para pemimpin yang memiliki kelas seperti Soekarno dan Hatta, yang
berpikir panjang tentang masa depan bangsa?.
Kesediaan mereka untuk di buang dan bagi Soekarno untuk dipenjara
di Sukamiskin (Bandung) dipadukan dengan kesediaan para pemimpin
masyarakat seperti KH. M. Hasyim Asy’ari (Tebu Ireng, Jombang) untuk menetapkan
mereka sebagai para pemimpin yang diikuti bangsa ini menuju kemerdekaan,
merupakan kenangan mereka bagi kita semua, yang sekarang ini harus mengambil
sikap yang jelas tentang apa yang kita ingini di masa depan. Inginkah kita
demokrasi tegak di negeri ini dalam waktu tidak lama lagi? Dan inginkah kita
berperan di tingkat internasional yang akan mempertinggi martabat bangsa?
Memang tidak mudah mewujudkan kedua hal itu dalam kehidupan bangsa kita yang
serba kompleks ini, namun mau tidak mau kita harus menjalaninya. Hal itu mudah
dikatakan, namun sulit dilaksanakan, bukan? []
Jakarta, 10 April 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar