Politik Inovasi
Oleh: Yudi Latif
Wacana publik akhir-akhir ini, termasuk pidato Presiden
Jokowi, sering mengeluhkan hambatan kemakmuran yang ditimbulkan oleh gejala
deindustrialisasi, defisit perdagangan dan pembayaran, perangkap pendapatan
menengah (middle
income trap), dan jebakan ekonomi ekstraktif.
Namun, nyaris tak ada perhatian politik dan kebijakan
strategis untuk melakukan transformasi perekonomian ke arah kemakmuran yang
terus meningkat secara berkesinambungan dan inklusif. Untuk mengatasi berbagai
persoalan itu, Indonesia harus mentransformasikan diri dari perekonomian
berbasis ekstraktif, pertanian tradisional, dan manufaktur konvensional menuju
ekonomi berbasis pengetahuan dan teknologi atau iptek (knowledge
economy).
Selama ini, ukuran yang berkaitan dengan total factor
productivity dan knowledge economy index menunjukkan betapa rendahnya
kontribusi nilai tambah iptek dan tingkat inovasi Indonesia bagi pertumbuhan
ekonomi.
Dapat dipahami bila pada periode kedua pemerintahannya,
Presiden Jokowi bertekad menggencarkan pembangunan SDM, termasuk memberikan
perhatian yang serius terhadap kegiatan riset dan inovasi. Sejumlah rencana
telah dicanangkan seperti penambahan anggaran riset negara, penyatuan
lembaga-lembaga riset di bawah satu badan, bahkan telah mulai ”mengimpor”
rektor asing demi menggenjot mutu perguruan tinggi.
Wacana publik akhir-akhir ini, termasuk pidato Presiden
Jokowi, sering mengeluhkan hambatan kemakmuran yang ditimbulkan oleh gejala
deindustrialisasi, defisit perdagangan dan pembayaran, perangkap pendapatan
menengah (middle
income trap), dan jebakan ekonomi ekstraktif.
Namun, nyaris tak ada perhatian politik dan kebijakan
strategis untuk melakukan transformasi perekonomian ke arah kemakmuran yang
terus meningkat secara berkesinambungan dan inklusif. Untuk mengatasi berbagai
persoalan itu, Indonesia harus mentransformasikan diri dari perekonomian
berbasis ekstraktif, pertanian tradisional, dan manufaktur konvensional menuju ekonomi
berbasis pengetahuan dan teknologi atau iptek (knowledge economy).
Selama ini, ukuran yang berkaitan dengan total factor
productivity dan knowledge economy index menunjukkan betapa rendahnya kontribusi
nilai tambah iptek dan tingkat inovasi Indonesia bagi pertumbuhan ekonomi.
Dapat dipahami bila pada periode kedua pemerintahannya,
Presiden Jokowi bertekad menggencarkan pembangunan SDM, termasuk memberikan
perhatian yang serius terhadap kegiatan riset dan inovasi. Sejumlah rencana
telah dicanangkan seperti penambahan anggaran riset negara, penyatuan
lembaga-lembaga riset di bawah satu badan, bahkan telah mulai ”mengimpor”
rektor asing demi menggenjot mutu perguruan tinggi.
Di bawah tradisi seperti itu, ilmuwan/peneliti
profesional Indonesia memperoleh legitimasi melalui negara. Pemerintah yang
menentukan dan mengendalikan aktivitas riset. Pemerintah pula konsumen utama
hasil penelitian. Dengan demikian, kendati para ilmuwan memandang dirinya ”pembimbing”
masyarakat, pada kenyataannya kesulitan untuk berhubungan dengan masyarakat
dalam kerangka memasyarakatkan ilmu pengetahuan dan menghidupkan aktivitas
riset dan inovasi di jantung masyarakat. Dengan demikian, ”Ilmu pengetahuan
tetap menjadi urusan kaum elite pemerintah yang boleh jadi dikerjakan dengan
penuh minat dan bakat, tetapi tetap tidak mampu menerobos pagar tinggi
sekeliling Kebun Raya.”
Di bawah tradisi seperti itu, ilmuwan/peneliti
profesional Indonesia memperoleh legitimasi melalui negara. Pemerintah yang
menentukan dan mengendalikan aktivitas riset. Pemerintah pula konsumen utama
hasil penelitian. Dengan demikian, kendati para ilmuwan memandang dirinya
”pembimbing” masyarakat, pada kenyataannya kesulitan untuk berhubungan dengan masyarakat
dalam kerangka memasyarakatkan ilmu pengetahuan dan menghidupkan aktivitas
riset dan inovasi di jantung masyarakat. Dengan demikian, ”Ilmu pengetahuan
tetap menjadi urusan kaum elite pemerintah yang boleh jadi dikerjakan dengan
penuh minat dan bakat, tetapi tetap tidak mampu menerobos pagar tinggi
sekeliling Kebun Raya.”
Indonesia telah mengerahkan begitu banyak program dan
subsidi bagi kaum miskin. Berbagai resep juga telah diberikan, mulai dari
dorongan untuk memperbaiki infrastruktur (pendidikan, lembaga pengetahuan,
kesehatan, transportasi, dan lain-lain), perbaiki tata kelola negara, menambah
bantuan (investasi) luar negeri, meningkatkan perdagangan luar negeri dan
sebagainya. Namun, hasilnya tak terlalu menggembirakan.
Lebih banyak negara tetap dalam jerat kemiskinan atau
jebakan pendapatan menengah-bawah karena tak mampu melakukan transformasi
perekonomiannya. Banyak negara terlalu menguras energi untuk urusi kemiskinan,
tetapi kurang memberikan perhatian pada usaha menciptakan kemakmuran. Bahwa
jadi bangsa yang ”makmur” (prosper) itu beda dengan bangsa yang ”kaya” (rich, wealthy).
Sejumlah negara bisa jadi kaya hanya karena memiliki satu-dua SDA berlimpah.
Namun, kekayaan seperti itu tak berkelanjutan, dan tak bisa mendorong mobilitas
vertikal secara luas. Untuk ”makmur”, suatu perekonomian harus bisa menciptakan
nilai tambah berkelanjutan yang bisa meluaskan mobilitas vertikal secara lebih
inklusif.
Lewat studi komparatif secara ekstensif terhadap
negara-negara yang berhasil mentransformasikan diri dari negara miskin menjadi
makmur, Clayton dkk menyimpulkan bahwa usaha menumbuhkan kemakmuran tak bisa
hanya mengandalkan push factor dari negara. Mendorong perubahan konstitusi
dan kelembagaan demokrasi, instalasi institusi-insitusi baru, pranata
antikorupsi, dan beragam infrastruktur oleh negara mungkin bisa menyelesaikan
masalah secara temporer, tetapi pada umumnya tak membawa perubahan
berkesinambungan. Pembangunan dan kemakmuran bisa lebih mudah mengakar di
banyak negara manakala terkoneksi dengan aktivitas inovasi di jantung pasar,
yang pada gilirannya dapat menarik berbagai sumber daya yang diperlukan
masyarakat.
Yang dimaksud dengan inovasi adalah perubahan dalam
proses, yang melalui proses itu suatu organisasi melakukan tranformasi pekerja,
modal, material, dan informasi ke dalam produk atau jasa dengan nilai tambah
yang lebih besar. Setidaknya ada tiga jenis inovasi yang harus dikenali.
Pertama, sustaining
innovations: inovasi dalam bentuk perbaikan terhadap solusi-solusi
yang telah ada di pasar, yang secara tipikal ditargetkan untuk mempertahankan
pelanggan yang ingin performa yang lebih baik dari suatu produk atau jasa.
Inovasi seperti ini diperlukan suatu negara dan perusahaan agar bisa tetap
kompetitif dalam mempertahankan pelanggan.
Kedua, efficiency innovations, yakni inovasi yang memungkinkan
organisasi bisa mengerjakan (menghasilkan) lebih banyak dengan sumber daya
lebih sedikit. Efisiensi inovasi sangat penting bagi daya hidup organisasi
(usaha) manakala lapangan industri kian sesak dan kompetitif. Ketiga, market-creating
innovations,
yakni inovasi yang dapat menciptakan pasar baru karena kemampuan menghadirkan
produk atau jasa yang belum ada di pasar; atau produk dan jasa yang sudah ada
di pasar, tetapi dengan lebih murah dan terjangkau oleh kalangan yg lebih luas
(non-consumers).
Meski sustaining innovations dan efficiency innovations diperlukan
bagi keberlangsungan perusahaan, keduanya tak begitu menjanjikan perluasan
tenaga kerja dan ruang-ruang usaha baru. Untuk itu, usaha kemakmuran harus
lebih mendorong market-creating
innovations. Pengalaman lintas negara menunjukkan, inovasi terakhir
itu dapat membangkitkan mesin ekonomi suatu negara dengan tiga dampak ikutan.
Pertama, menciptakan pekerjaan—seiring makin banyaknya orang yang diperlukan
untuk membuat, memasarkan, mendistribusikan, dan menjual hasil-hasil inovasi
baru—sebagai faktor penting dalam menilai kemakmuran suatu negara.
Kedua, menciptakan keuntungan dari luasnya
bentang penduduk, yang pada gilirannya bisa mendatangkan dana bagi pelayanan
publik, termasuk pendidikan, infrastruktur, kesehatan, dan sebagainya. Ketiga,
memiliki potensi besar untuk membawa serta perubahan budaya dan tata kelola
yang lebih kondusif bagi usaha-usaha pemajuan kemakmuran.
Dengan demikian, lokomotif kemakmuran itu terletak pada
usahawan inovator yang mampu mengembangkan inovasi teknologi yang dapat
menciptakan pasar baru. Agar suatu bangsa dapat mempertahankan kemakmuran dalam
jangka panjang, diperlukan pemerintahan baik, yang dapat menjaga dan mendukung
budaya inovasi. Usaha pemerintah dalam pengadaan kebijakan, tata kelola, dan
infrastruktur harus ditempatkan sebagai kerang pendukung dalam mempromosikan
usaha-usaha market-creating
innovations.
Ditilik dari perspektif itu, arah kebijakan
pembangunan, riset, dan inovasi di Indonesia selama ini terlalu menekankan
strategi push
factor dari negara. Infrastruktur dibangun tanpa terkoneksi secara
erat dengan tarikan dinamika pasar. Berbilang lembaga riset negara terus
didirikan, dengan aktivitas dan produk riset yang kurang terhubung dengan
kebutuhan pasar; juga tanpa kerangka kebijakan yang dapat menumbuhkan aktivitas
riset dan inovasi di dunia usaha, atau memberikan kerangka insentif bagi
gagasan inovasi yang mengarah pada market-creating innovations.
Di Amerika, misalnya, anak-anak muda cemerlang dengan
ide-ide teknologi inovatif bisa membangun usaha rintisan (start-up)
dengan pinjaman modal ventura. Memang tidak semua berhasil; tetapi selalu ada
beberapa yang sukses mengembangkan perusahaan berbasis pengetahuan berskala
global, seperti Microsoft, Apple, dan Facebook.
Defisit insinyur dan strategi mencegah ”mismatch”
Usaha meningkatkan mutu perguruan tinggi (PT) juga
ditempuh melalui push
factor dari negara, dengan jalan pintas ”mengimpor” rektor dari
luar, tanpa mempertimbangkan soal mutu pendidikan itu dengan ketersambungannya
dengan pasar (industri). Selama ini banyak dikeluhkan rendahnya proporsi
mahasiswa sains-teknologi (keinsinyuran) di PT kita. Jumlah mahasiswa (dan lulusan)
bidang keinsinyuran hanya 14 persen dari jumlah seluruh mahasiswa di Indonesia
(sekitar 50 persen belajar teknik komputer), dengan tingkat putus kuliah
paling tinggi (4,66 persen).
Bandingkan dengan proporsi lulusan bidang keinsinyuran
di Korea Selatan (38 persen), China (33 persen), dan bahkan Malaysia (25
persen). Akibatnya, Indonesia mengalami defisit insinyur. Di sisi lain, kendati
jumlah mahasiswa keinsinyuran itu relatif kecil, faktanya dari sekitar 100.000
lulusan bidang keinsinyuran, hanya sekitar 5.000 yang bekerja secara
profesional sesuai dengan bidangnya.
Alhasil, yang harus dilihat bukan hanya dari sisi
penawaran, melainkan juga dari sisi permintaan. Untuk mencegah mismatch
antara keluaran lembaga pendidikan dengan dunia kerja, yang diperlukan bukan
hanya pembenahan perguruan tinggi lewat push factor dari negara, tetapi
juga rancangan strategi dan prioritas pembangunan ekonomi-industri yang lebih
mendorong ekonomi pengetahuan berbasis inovasi. Apa pun usaha kita untuk
menggenjot jumlah dan kualitas mahasiswa keinsinyuran tidak akan begitu efektif
tanpa terhubung dengan perluasan kebutuhan inovasi-teknologi dalam dunia
industri.
Di Korsel, PT kelas dunia, dengan urutan di bawah 50
dari 100 universitas terbaik dunia, adalah Pohang University of Science and
Technology (Postech). Universitas ini didirikan pemilik industri baja terkenal
di negeri itu, Posco, dalam rangka ”memenuhi kebutuhan teknologi sendiri bagi
kemandirian teknologi dan menciptakan koneksi erat antara akademia dan industri.
Meningkatkan mutu PT lebih dari sekadar usaha
meningkatkan jumlah publikasi internasional; melainkan dari kemampuan perguruan
tinggi merespons market pull; yang dalam ketersambungan erat antara dunia
pendidikan dengan dunia inovasi di jantung pasar, akan melahirkan banyak
keahlian, inspirasi dan penemuan; yang pada gilirannya akan memberikan wahana
yang kondusif pagi peningkatan mutu dan kuantitas publikasi internasional.
Singkat kata, untuk menjadi makmur, kita harus melihat
kesulitan dan perjuangan hidup rakyat sebagai peluang untuk menawarkan solusi.
Lewat inovasi yang dapat menciptakan pasar baru, pekerjaan baru,
peluang-peluang usaha baru, budaya dan tata kelola baru, rakyat banyak yang
selama ini hanya menjadi penonton dalam aktivitas ekonomi, menjadi ikut
terlibat.
Kemakmuran dan demokratisasi ekonomi terjadi dengan
mobilitas vertikal yang meluas dan inklusif. Untuk itu, sudah saatnya negara
mengambil peran tut wuri handayani. Rangsanglah market-creating innovations menjadi
pemantik api penciptaan kemakmuran; sedangkan pemerintah dapat memperbesar bara
api tersebut dengan berbagai kebijakan, institusi, dan infrastruktur yang
terkoneksi dengan tarikan kebutuhan inovasi-pasar. Itulah jalan baru kemakmuran
kita. []
KOMPAS, 18 September 2019
Yudi Latif | Direktur Sekolah Pancasila
Tidak ada komentar:
Posting Komentar