Fiqih Niaga Ekspor-Impor:
Pertautan Akad antara FoB, CIF dan L/C
Pada saat seorang importir hendak melakukan
impor barang, ia perlu melakukan perjanjian kontrak kerja sama dengan seorang
eksportir. Dalam kontrak ini dibahas sejumlah hal seputar perjalanan kontrak
keduanya.
Beberapa proses yang dibahas dalam perjalanan
kontrak tersebut antara lain adalah menyangkut promosi, inquiry, offer sheet,
order sheet, sale’s contract, dan konfirmasi penjualan.
1. Promosi merupakan suatu tindakan
mempromosikan komoditas yang akan diekspor oleh eksportir melalui media promosi
periklanan. Sejumlah media yang digunakan biasanya terdiri atas media
elektronik, koran atau majalah, atau pameran dagang melalui atase perdagangan
negara eksportir.
2. Inquiry merupakan tindakan mengirimkan
surat permintaan komoditas (letter of inquiry) oleh importir kepada eksportir.
Isi dari surat permintaan ini adalah berisi penjelasan deskripsi barang,
mutu, harga dan waktu pengiriman.
3. Offer sheet, merupakan tanggapan dari
letter of inquiry yang disampaikan oleh eksportir kepada importir yang
berisikan keterangan “kesanggupan” memenuhi barang yang dibutuhkan oleh
importir yang dilengkapi dengan deskripsi barang, mutu, harga dan waktu
pengiriman. Nah, di sinilah kemudian ditambahkan keterangan tentang ketentuan pembayaran
yang disertai dengan pengiriman sejumlah brosur produk.
4. Order Sheet, merupakan dokumen yang berisi
pesanan barang/komoditas yang hendak dibeli kepada eksportir.
5. Sale’s Contract, merupakan nota kontrak
yang disiapkan oleh eksportir untuk ditandatangani oleh importir dan berisikan
materi kontrak jual beli yang ditambah sejumlah keterangan klausul kondisi
darurat dan klausul inspeksi. Klausul kondisi darurat berisikan sejumlah poin
pertanggungjawaban terhadap kemungkinan kerusakan barang selama pengangkutan.
Sementara klausul inspeksi menyebutkan syarat barang sudah dianggap diterima
oleh importir sehingga resiko barang sudah menjadi hak dan kewajiban importir.
6. Sale’s Confirmation, merupakan khiyar bagi
importir untuk menentukan pilihan antara setuju dan tidak setuju terhadap
kontrak penjualan yang sudah dikirimkan oleh eksportir tersebut dan berisikan
kesanggupan importir terhadap model dan jasa pengiriman.
Sebagai catatan bahwa pada saat proses
kontrak ekspor impor inilah CIF (Cost, Insurance and Freight), CNF (Cost
and Freight), atau FoB (Freight on Board) ditetapkan oleh kedua pihak yang
menjalin kesepakatan. Apakah kemudian eksportir langsung bisa melakukan
penyiapan barang dan berdasarkan kontrak jual beli ini? Jawabnya adalah
belum.
Menimbang posisi eksportir setelah terjadi
penandatanganan kontrak jual beli antara importir dan eksportir yang belum bisa
melakukan tindakan penyiapan stock yang dibutuhkan importir, maka status fiqih
kontrak penjualan ini masih terhitung sebagai yang berada di luar akad jual
beli. Mengapa? Karena yang dinamakan jual beli adalah, manakala sudah mulai
terjadi saling taqabudl (saling serah terima barang). Ini menandakan, harus ada
inisiasi tindakan terlebih dahulu dari importir berupa penyerahan sesuatu yang
menandakan terjadinya pertukaran. Kapan?
Selang beberapa waktu setelah terjadi
kesepakatan kontrak, maka dilakukanlah pembukaan letter of credit (L/C) oleh
importir melalui jasa issuing bank. Isi utama dari L/C adalah jaminan
pembayaran barang yang diimport oleh bank penerbit dan diperuntukkan kepada
eksportir. Istilah lain yang sering dipergunakan dalam hal ini adalah
pembiayaan impor. Dengan diterbitkannya L/C, maka seolah importir mulai
melakukan penyerahan harga. Itulah sebabnya, mengapa dalam tulisan terdahulu
L/C dalam konteks fiqihnya dimaknai sebagai perintah mulai mengusahakan barang
kepada eksportir. Hal ini mengingat, tindakan eksportir untuk mengupayakan
stock adalah didasarkan pada terbitnya L/C.
Setelah L/C diterima oleh eksportir atas
pemberitahuan notifying bank kepadanya, eksportir mulai mengupayakan barang
sebagaimana yang termaktub dalam kontrak jual beli. Jadi, kontrak jual beli,
statusnya adalah hanya sebagai pedoman eksportir untuk memenuhi pesanan
importir. Syarat skema pengapalan dan asuransi yang diikutsertakan dan
diusahakan oleh eksportir bersifat include di dalam bagian akad istishna’,
karena ia mempengaruhi harga yang tertuang di dalam nota jaminan pembiayaan
L/C. Dengan demikian, skema FoB, atau CNF, atau CIF, tidak termasuk ke dalam
bagian yang terpisah, meskipun di dalam FoB disebutkan syarat penerimaan dan
transfer of risk.
Transfer of risk sebenarnya justru terletak
saat eksportir sudah menaikkan barang ke atas kapal, yang kemudian ia menerima
bill of lading sebagai bukti bahwa barang sudah dikirim sesuai dengan pesanan
importir. Selanjutnya bill of lading dipergunakan untuk pencairan uang berdasar
L/C. Dan saat uang diterima oleh eksportir inilah transfer of risk itu terjadi.
Dengan demikian, sebelum adanya pencairan, maka barang “status fiqihnya” adalah
masih menjadi tanggung jawab eksportir. Jadi, bukan FoB-nya atau CIF-nya. Mari
kita bandingkan dengan konsep batasan jual beli yang disepakati terkait bidang
ekspor impor ini!
عقد
البيع هو تمليك البائع للمشتري بمال يكون ثمنا للمبيع
Artinya: “Akad jual beli adalah akan
pengalihan kepemilikan barang oleh seorang pedagang kepada pembeli dengan harta
yang menjadi harga untuk komoditas dagangan.” [Ahmad Yusuf, Uqūdu
al-Mu’āwadhati al-Māliyyah fī Dhaui Ahkāmi al-Syarī’ah al-Islāmiyyah,
Islamabad: Dāru al-Shidqi, tt., hal: 31]
Dalam ta’rif ini disyaratkan bahwa jual beli
terjadi manakala masing-masing pihak sudah menguasai barang yang dipertukarkan.
Pembeli menguasai komoditas yang dibeli, sementara pedagang menguasai harta
yang diserahkan sebagai harga oleh pembeli. Jadi, dalam konteks ekspor impor,
karena penyerahan harga terjadi dengan diterbitkannya bill of lading oleh
eksportir kepada notifying bank, dan notifying bank memberitahukan kepada
issuing bank yang berperan sebagai penjamin pembiayaan impor barang tersebut,
maka begitu ada konfirmasi dari importir kepada issuing bank, maka saat itulah
terjadi qabdlu hukmy (transfer of risk). Mengapa? Karena saat itu pula,
eksportir sudah bisa menerima pencairan tersebut lewat notifying bank selaku
koresponden dari issuing bank.
Jadi, sebagai kesimpulan akhir dari tulisan
ini adalah bahwa FoB, CNF, dan CIF meskipun berisikan ketentuan syarat penerimaan
barang di atas kapal (on board), namun pada hakikatnya, secara fiqih, barang
tersebut belum menerima qabdlu dari importir. Qabdlu (transfer of risk) terjadi
manakala sudah ada konfirmasi importir kepada issuing bank pasca-pemberitahuan
terbitnya bill of lading. Dengan konfirmasi ini, pihak eksportir bisa
mencairkan dananya lewat bank koresponden yang ada di negaranya. Wallahu a’lam
bish shawab. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar