KHUTBAH JUMAT
Menjalin Kerukunan Hidup di Indonesia
Khutbah I
اَلْحَمْدُ
للهِ، اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَمَرَنَا بِالْاِعْتِصَامِ بِحَبْلِ اللهِ،
وَهُوَ الَّذِيْ أَدَّبَ نَبِيَّهُ مُحَمَّدًا ﷺ
فَأَحْسَنَ تَأْدِيْبَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا
شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
الَّذِيْ لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ، اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا
مُحَمَّدٍ خَيْرِ خَلْقِ اللهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اتَّبَعَ هُدَاهُ
إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، أما بعد
فيا
أيها الحاضرون، أُوْصِيْنِي نَفْسِيْ وَ إِيَّاكُم بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ
المُتَّقُوْن.
قال
الله تعالى في كتابه الكريم، بسم الله الرحمن الرحيم، وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ
اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ
كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ
إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا
كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Ma’asyiral hadirin, jamaah Jumat, hafidhakumullâh,
Pada kesempatan yang mulia ini, yaitu di saat
kita diberikan anugerah oleh Allah subhanahu wa ta’ala dapat
menjalankan ibadah shalat Jumat, khatib berwasiat kepada pribadi kami sendiri
dan juga kepada para hadirin sekalian, marilah kita senantiasa meningkatkan
takwa kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan selalu
berusaha melaksanakan perintah-perintah Allah serta menjauhi
larangan-larangannya. Semoga ketakwaan kita akan selalu terbawa sehingga dapat
menghantarkan kita kelak saat dipanggil Allah dalam keadaan mati husnul
khatimah, âmîn yâ rabbal ‘âlamîn.
Hadirin hafidhakumullâh,
Kita sebagai umat Islam yang berada di
Indonesia sudah sepantasnya dan seharusnya selalu bersyukur tiada kira kepada
Allah subhanahu wa ta’ala. Atas berkat rahmat-Nya lah kita
diberikan kehidupan menjadi warga negara Indonesia yang kita cintai ini. Di
negeri yang kita huni sekarang ini, kita sebagai umat Muslim bebas melaksanakan
ibadah dengan aman dan nyaman, tidak ada larangan dari siapa pun. Hampir tidak
ada daerah yang tidak ada masjidnya. Adzan berkumandang keras di semua masjid
dan mushala, tidak ada aturan negara yang melarang. Hari besar agama Islam
dihormati bahkan sampai meliburkan jam kerja kantor dan sekolah: hari raya Idul
Fitri, Idul Adha, peringatan Maulid Nabi, Isra’ dan Mu’raj, tahun baru
Hijriah, dan lain sebagainya.
Terdapat sinergi antara aturan agama dan
negara. Belum lagi tentang peribadatan haji di Makkah yang dimediatori oleh
pemerintah, penentuan awal bulan Ramadhan, Syawal, dan lain-lain, hingga urusan
menikah dengan adanya KUA, undang-undang perkawinan, pengadilan agama dan lain
halnya. Semua ini kita akui atau tidak adalah sesuatu yang sangat mendukung
keberislaman kita di atas bumi pertiwi ini. Maka marilah kita ucapkan alhamdulillâhi
rabbil ‘âlamîn.
Hadirin…
Sudah menjadi fakta bahwa bangsa Indonesia
ini adalah bangsa yang mempunyai penduduk majemuk, tidak hanya terdiri dari
satu agama, satu suku, dan satu ras saja, tapi multiagama, multisuku, dan
multiras. Sementara ini, alhamdulillah kita diberikan pertolongan oleh Allah
subhanahu wa ta’ala untuk hidup yang relatif damai, rukun berdampingan tanpa
ada perseteruan berarti.
Perlu diketahui bahwa Rasulullah Muhammad ﷺ dalam menjalani
kehidupannya baik di Makkah maupun di Madinah juga di tengah kondisi sosial
masyarakat yang majemuk. Mereka ada yang Muslim dan kafir. Di Makkah,
Rasulullah ﷺ dicemooh, dihina,
diludahi, dilempari batu saat shalat, dianggap berbohong, dituduh sebagai
tukang sihir, dan lain sebagainya, karena tidak ada perintah dari Allah,
Rasulullah bertahan dalam kondisi demikian selama 13 tahun, tanpa melawan.
Begitu pula saat di Madinah. Masyarakat
Madinah juga tidak seratus persen Muslim. Kabilah dan suku pun beragam.
Semuanya bisa hidup berdampingan dengan Rasulullah. Bahkan, dalam kisah yang
masyhur, saat Rasulullah ﷺ kembali ke
rahmatullah, ada satu pakaian zirah atau baju perang milik Rasul yang masih
digadaikan kepada seorang Yahudi. Artinya, Rasulullah bisa berdampingan dengan
mereka dalam urusan tatanan sosial kemasyarakatan. Adapun urusan tauhid, sudah
jelas bahwa Rasulullah selalu mengajak mengesakan Allah subhanahu wa
ta’ala, tidak hanyut atau terbawa dengan masyarakat sekitar, akan tetapi
dalam ranah berkehidupan dalam masyarakat, Rasulullah ketika berkuasa, tidak
lantas menumpas habis orang kafir yang ada.
Ketika Rasulullah ﷺ ditawari malaikat
untuk menimpakan gunung Uhud kepada orang-orang yang membangkang, Rasulullah
tidak berkenan. Kata Rasul, barangkali nanti, apabila tidak orang tuanya yang
masuk Islam, anak-anaknya kelak akan masuk Islam. Padahal, Rasulullah bisa saja
berdoa sebagaimana doanya Nabi Nuh supaya umatnya tenggelam, atau tertimpa
bencana besar. Namun, beliau tidak melakukan hal tersebut.
Melalui akhlak Nabi-lah, Umar bin Khattab
yang semula sangat memusuhi Islam, Khalid bin Walid yang ganas melawan Islam,
begitu pula Wahsyi, seorang budak yang membunuh paman Nabi Muhammad ﷺ saat perang Uhud,
akhirnya juga masuk Islam di kemudian hari. Tak hanya itu, Umar bin Khattab
juga menjadi mertua Rasulullah, juga menjadi amirul mu’minin,
khalifah kedua setelah Rasulullah tiada. Khalid bin Walid di kemudian hari
justru menjadi panglima perangnya umat Islam waktu itu.
Belum lagi Abu Thalib, paman Nabi yang secara
lahiriah belum beriman hingga wafat. Selama hidupnya, Abu Thalib justru sangat
akrab, malam menjadi pelindung dakwah-dakwah Baginda Nabi Muhamamd ﷺ. Hingga ajal menjemput, tidak ada sejarahnya Nabi Muhammad
membenci atau memusuhi sang paman atas dasar kekafirannya. Paman beliau yang
lain, Abu Lahab, diperangi bukan murni karena tidak iman kepada Allah,
melainkan karena ia memerangi Nabi Muhammad ﷺ.
Hadirin hafidhakumullâh,
Pada masa Rasulullah, terjadinya peperangan
bukan murni karena perbedaan keyakinan. Buktinya, dalam konsep kewarganegaraan
di antaranya dikenal dengan istilah kafir harbi yang menyerang
keselamatan jiwa orang Muslim; ada pula kafir dzimmi yang
wajib mendapat perlindungan pemerintah lantaran taat pada aturan masyarakat
yang berlaku dan tidak melawan orang Islam. Kafir dzimmi layak
mendapatkan hak-hak jaminan keselamatan dari orang Muslim.
Terjadinya perang Badar bukanlah berawal dari
permusuhan Muslim dan non-Muslim, tapi kelompok Nabi Muhammad yang sedang ingin
mengambil hak-haknya yang dirampas kafir Quraisy di Nakhlah, tepatnya di dekat
sumur Badr. Sekitar seribu pasukan kafir Makkah menyerang Nabi Muhammad yang
tidak bersiap perang dengan jumlah teman sekitar 312 orang saja dengan pasukan
berkuda sekitar 2 orang. Karena dari awal, kelompok Nabi Muhammad bukan dalam
rangka siap perang. Meskipun 1 lawan 3-4 orang, Allah memberikan kemenangan
kepada Nabi Muhammad beserta para sahabatnya.
Berikutnya adalah perang Uhud. Perang Uhud
tidak berawal murni dari sentimen agama, tapi karena kafir Makkah ingin
membalas dendam kekalahan yang mereka derita dalam perang Badar.
Belum lagi misalnya perang Khandaq, atau
perang parit. Nabi Muhammad ﷺ berserta orang-orang
Madinah mengalami embargo ekonomi, kehidupan Madinah dibuat paceklik oleh orang
kafir dari luar. Pada saat orang Madinah akan diserang, atas usul Salman
Al-Farisi, Nabi dan para sahabat bergotong royong membuat parit, mengelilingi
kota Madinah dengan tujuan kuda perang yang dibawa musuh, ketika hendak masuk
Madinah, pasti akan terjun ke parit terlebih dahulu sehingga mudah
dikendalikan. Selain embargo, ada pula perang yang dipicu lantaran orang kafir
mengingkari janji perdamaian yang dibuat, dan lain sebagainya.
Artinya, peperangan yang terjadi pada masa
Rasulullah tidak murni karena sentimen agama. Dari segi keyakinan, Muslim di
Indonesia memang harus yakin seyakin-yakinnya bahwa Islam adalah agama yang
benar. Namun, dalam tataran sosial, kita perlu berinteraksi atau bermuamalah
dengan baik kepada siapa saja, apa pun keyakinannya. Demikian lah yang
dicontohkan di masa Rasulullah.
Hadirin hafidhakumullâh,
Dengan adanya contoh seperti ini hendaknya
kita semua sebagai warga negara Indonesia, mari, jangan mudah kita
terprovokasi dengan sentimen-sentimen keagamaan, suku maupun ras. Kita
menjalankan syariat agama kita di Indonesia terlindungi undang-undang, kita
diberi kebebasan. Oleh karena itu, marilah kita terus jaga Indonesia.
Jika kita menjaga Indonesia, secara otomatis
kita sedang melindungi umat Muslim se-Indonesia untuk bebas melaksanakan ajaran
agamanya. Namun apabila kita mudah tersulut emosi sesaat sehingga kita mudah
terprovokasi dengan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, apabila terjadi
perang saudara, yang rugi adalah kita semua. Kita tidak bisa bebas leluasa
menjalankan ibadah kita, semua diawasi, dikekang, ada jam malam dan lain
sebagainya.
Kasus Papua belakangan ini, seharusnya
memberikan pelajaran bagi kita, sekecil apa pun perbedaan pandangan, sebagai
masyarakat sipil biasa, jangan mudah melawan dengan jalan-jalan
inkonstitusional. Mari kita bersatu dalam bingkai keislaman kita yang terwadahi
dengan wadah rumah bernama Indonesia.
بَارَكَ
اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَجَعَلَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا
فِيْهِ مِنَ الْآيَاِت وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. إِنَّهُ هُوَ البَرُّ التَّوَّابُ
الرَّؤُوْفُ الرَّحِيْمُ. أعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيْم، بسم الله
الرحمن الرحيم، وَالْعَصْرِ (١) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (٢) إِلَّا
الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا
بِالصَّبْرِ (٣) ـ
وَقُلْ
رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرّاحِمِيْنَ ـ
Khutbah II
اَلْحَمْدُ
للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ
وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِي إلىَ
رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ
وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
أَمَّا
بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا
عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ
بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ
وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا
صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ،
وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ
الْمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى
بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ
وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ
الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ
اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ
اَلاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ، اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ
وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ
الْمُوَحِّدِينْ، وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ
اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَائَكَ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَأَعْلِ كَلِمَاتِكَ
إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ
وَالزَّلاَزِلَ وَسُوْءَ اْلفِتَنِ وَاْلمِحَنِ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ،
عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خَآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ
اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى
الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا
لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ
بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ
وَالْمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا
اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ
وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren
Raudhatul Quran an-Nasimiyyah, Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar