Kamis, 19 September 2019

(Ngaji of the Day) Status Fiqih Perusahaan Kargo dalam Ekspor-Impor


Status Fiqih Perusahaan Kargo dalam Ekspor-Impor

Ekspor merupakan kegiatan mengeluarkan barang dari suatu negara ke negara lain melalui jalur antarlembaga kepabeanan. Lawan dari ekspor adalah impor, yaitu kegiatan memasukkan barang dari suatu negara ke negara pengimpor lewat jalur kepabeanan. Pelaku ekspor disebut eksportir. Dan pelaku impor disebut importir. Kedudukan eksportir dan importir adalah setara dengan kedudukan penjual dan pembeli. Eksportir berperan sebagai penjual dan importir berperan sebagai pembeli. 

Pada saat terjadi kontrak jual beli antara eksportir dan importir, maka diperlukan banyak proses untuk membawa barang yang dibeli menuju negara importir. Di antara proses yang harus dilalui adalah jasa angkutan (kargo barang) dari negara asal ke negara tujuan. Yang unik dalam proses ekspor-impor ini adalah status barang sudah berpindah kepemilikan ke importir manakala barang sudah di atas kapal, tanpa bisa ditolak oleh importir. Sehingga apabila terjadi kasus semacam perompakan, atau kecelakaan kapal, maka pihak eksportir tidak ikut bertanggung jawab terhadap resiko kerugian barang. Lantas, apa kedudukan kapal kargo ini dalam konteks fiqihnya? 

Sebuah barang dapat berpindah status kepemilikan, manakala barang itu sudah sampai di tangan pembeli atau wakilnya. Dengan demikian, kedudukan kapal kargo ini secara tidak langsung adalah selaku wakil dari pembeli. Berarti pula bahwa antara pembeli dan perusahaan kargo sebelum pengapalan telah terjadi semacam akad wakalah. Apakah ada bukti dokumen yang menyatakan status akad ini? 

Dalam dokumen pelayaran, status kapal kargo merupakan sekadar jasa yang disewa oleh pembeli untuk mengangkut barangnya. Dengan demikian, akad yang terjadi antara importir dan perusahaan kargo adalah akad ijarah (sewa jasa). Lebih jelasnya, mari kita perhatikan prosedur yang harus ditempuh oleh eksportir manakala terjadi kontrak dagang dengan importir!

Terlebih dahulu, penting harus dicatat adalah bahwa akad transaksi ekspor-impor ini dianggap selesai manakala pihak eksportir telah menerima pembayaran berupa valuta asing dari mata uang negara importir melalui “bank mitra devisa importir.” Jika pembayaran ini belum diterima oleh eksportir, maka transaksi belum dianggap selesai. Bentuk pembayaran biasanya disampaikan dalam bentuk dokumen L/C, yaitu Letter of Credit. Berdasarkan dokumen L/C ini, pihak eksportir bisa melakukan penarikan keuangan pada bank yang ditunjuk.

Kontrak dagang antara eksportir dan importir, terjadi melalui empat mekanisme tahapan, antara lain sebagai berikut:

• Terjadinya kontrak dagang ekspor
• Pembukaan letter of credit (L/C) oleh importir
• Pengapalan barang oleh eksportir
• Penguangan dokumen pengapalan oleh eksportir melalu bank mitra devisa importir

Mekanisme Terjadinya Kontrak Dagang Ekspor

Kontrak dagang dimulai dengan eksportir mempromosikan / memasarkan barang komoditi yang ingin di ekspor kepada calon importir di luar negri. Selanjutnya, importir mengajukan penawaran harga. Setelah harga disetujui oleh keduanya, terjadilah kemudian penandatanganan kontrak dagang ekspor oleh kedua belah pihak, yakni eksportir dan importir.

Importir Membuka Letter of Credit

Setelah terjadi penandatanganan kontrak dagang, kewajiban importir berikutnya adalah mengajukan aplikasi pembukaan L/C kepada bank mitra devisanya. Begitu L/C terbit, bank mitra devisa importir memberitahukan pembukaan L/C tersebut kepada mitra bank devisa eksportir, lalu bank tersebut memberi pemberitahukan L/C tersebut kepada  mitranya (eksportir).

Proses Mempersiapkan dan Mengirim Barang

Setelah menerima pemberitahuan dokumen Letter of Credit (L/C) dari bank mitra devisa eksportir, selanjutnya pihak eksportir berkewajiban mempersiapkan dan mengirim barang yang sesuai dengan L/C kepada importir. Penyerahan barang komoditi kepada importir ditempat yang sudah disepakati kedua belah pihak eksportir dan importir. Berdasarkan kesepakatan inilah, dianggap bahwa begitu barang sudah ada di atas kapal (on board), maka dianggap sudah terjadi serah terima antara eksportir dan importir sehingga kemudian diputus telah terjadi pula transfer of risk, yaitu resiko kerusakan dan hilangnya barang beralih dari eksportir ke importir. Padahal penentuan kapal kargo yang membawa barang adalah ditentukan sendiri oleh pihak pelaku eksportir sementara pihak importir hanya berkewajiban mengganti biaya yang diberitakan oleh eksportir saja. 

Memang dalam sebagian kasus, pihak importir bisa menentukan jenis kapalnya berdasarkan berita kapal yang di-launching oleh pihak syahbandar dan dipublikasi secara meluas lewat jaringan online. Namun, kedudukan pihak perusahaan kargo di sini juga masih tidak berubah statusnya yaitu sebagai pihak yang “disewa” jasa angkutnya, dan bukan sebagai “wakil importir”, karena dokumen yang disertakan tidak mencukupi untuk mengubah kedudukan status tersebut.

Proses Penguangan Dokumen Pengapalan

Langkah terakhir dari eksportir setelah barang berada di atas kapal adalah melakukan penguangan dokumen pengapalan dengan bank mitra devisa eksportir. 

Jika menilik prosedur ini, maka status dari perusahaan kargo adalah masih dalam status  selaku pihak yang disewa. Apakah mungkin bahwa pihak yang disewa sekaligus bertugas sebagai wakil importir, padahal penentuan kargo adalah berasal dari eksportir sendiri? Lantas bagaimana mungkin proses qabdlu (menerima) barangnya importir bisa terjadi sehingga bisa berpindah status kepemilikannya? Inilah pokok persoalannya. Apabila tetap menggunakan akad ijarah, maka seharusnya status kepemilikan barang secara fikih sama sekali belum bisa dilakukan sehingga proses transfer of risk juga tidak bisa berlangsung. 

Kesimpulan  dari pembahasan ini adalah, bahwa status perusahaan kargo adalah selaku pihak yang disewa atas dasar jasa transportasinya. Ia tidak bisa mewakili proses qabdlu barang (transfer of risk) di atas kapal (freight on board), sehingga qabdlu tersebut bersifat fasad (rusak) secara fiqih. Dengan demikian, apabila terjadi sesuatu yang tidak dikehendaki terhadap barangnya importir saat perjalanan kapal, maka kewajiban eksportir adalah menanggung seluruh kerugian itu, secara fiqih. Wallahu a’lam bish shawab. []

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar