Status
Fiqih Perusahaan Kargo dalam Ekspor-Impor
Ekspor merupakan
kegiatan mengeluarkan barang dari suatu negara ke negara lain melalui jalur
antarlembaga kepabeanan. Lawan dari ekspor adalah impor, yaitu kegiatan
memasukkan barang dari suatu negara ke negara pengimpor lewat jalur kepabeanan.
Pelaku ekspor disebut eksportir. Dan pelaku impor disebut importir. Kedudukan
eksportir dan importir adalah setara dengan kedudukan penjual dan pembeli.
Eksportir berperan sebagai penjual dan importir berperan sebagai pembeli.
Pada saat terjadi
kontrak jual beli antara eksportir dan importir, maka diperlukan banyak proses
untuk membawa barang yang dibeli menuju negara importir. Di antara proses yang
harus dilalui adalah jasa angkutan (kargo barang) dari negara asal ke negara
tujuan. Yang unik dalam proses ekspor-impor ini adalah status barang sudah
berpindah kepemilikan ke importir manakala barang sudah di atas kapal, tanpa
bisa ditolak oleh importir. Sehingga apabila terjadi kasus semacam perompakan,
atau kecelakaan kapal, maka pihak eksportir tidak ikut bertanggung jawab
terhadap resiko kerugian barang. Lantas, apa kedudukan kapal kargo ini dalam
konteks fiqihnya?
Sebuah barang dapat
berpindah status kepemilikan, manakala barang itu sudah sampai di tangan
pembeli atau wakilnya. Dengan demikian, kedudukan kapal kargo ini secara tidak
langsung adalah selaku wakil dari pembeli. Berarti pula bahwa antara pembeli
dan perusahaan kargo sebelum pengapalan telah terjadi semacam akad wakalah.
Apakah ada bukti dokumen yang menyatakan status akad ini?
Dalam dokumen
pelayaran, status kapal kargo merupakan sekadar jasa yang disewa oleh pembeli
untuk mengangkut barangnya. Dengan demikian, akad yang terjadi antara importir
dan perusahaan kargo adalah akad ijarah (sewa jasa). Lebih jelasnya, mari kita
perhatikan prosedur yang harus ditempuh oleh eksportir manakala terjadi kontrak
dagang dengan importir!
Terlebih dahulu,
penting harus dicatat adalah bahwa akad transaksi ekspor-impor ini dianggap
selesai manakala pihak eksportir telah menerima pembayaran berupa valuta asing
dari mata uang negara importir melalui “bank mitra devisa importir.” Jika
pembayaran ini belum diterima oleh eksportir, maka transaksi belum dianggap
selesai. Bentuk pembayaran biasanya disampaikan dalam bentuk dokumen L/C, yaitu
Letter of Credit. Berdasarkan dokumen L/C ini, pihak eksportir bisa melakukan
penarikan keuangan pada bank yang ditunjuk.
Kontrak dagang antara
eksportir dan importir, terjadi melalui empat mekanisme tahapan, antara lain
sebagai berikut:
• Terjadinya kontrak
dagang ekspor
• Pembukaan letter of
credit (L/C) oleh importir
• Pengapalan barang
oleh eksportir
• Penguangan dokumen
pengapalan oleh eksportir melalu bank mitra devisa importir
Mekanisme Terjadinya
Kontrak Dagang Ekspor
Kontrak dagang
dimulai dengan eksportir mempromosikan / memasarkan barang komoditi yang ingin
di ekspor kepada calon importir di luar negri. Selanjutnya, importir mengajukan
penawaran harga. Setelah harga disetujui oleh keduanya, terjadilah kemudian
penandatanganan kontrak dagang ekspor oleh kedua belah pihak, yakni eksportir
dan importir.
Importir Membuka
Letter of Credit
Setelah terjadi
penandatanganan kontrak dagang, kewajiban importir berikutnya adalah mengajukan
aplikasi pembukaan L/C kepada bank mitra devisanya. Begitu L/C terbit, bank
mitra devisa importir memberitahukan pembukaan L/C tersebut kepada mitra bank
devisa eksportir, lalu bank tersebut memberi pemberitahukan L/C tersebut
kepada mitranya (eksportir).
Proses Mempersiapkan
dan Mengirim Barang
Setelah menerima
pemberitahuan dokumen Letter of Credit (L/C) dari bank mitra devisa eksportir,
selanjutnya pihak eksportir berkewajiban mempersiapkan dan mengirim barang yang
sesuai dengan L/C kepada importir. Penyerahan barang komoditi kepada importir
ditempat yang sudah disepakati kedua belah pihak eksportir dan importir.
Berdasarkan kesepakatan inilah, dianggap bahwa begitu barang sudah ada di atas
kapal (on board), maka dianggap sudah terjadi serah terima antara eksportir dan
importir sehingga kemudian diputus telah terjadi pula transfer of risk, yaitu
resiko kerusakan dan hilangnya barang beralih dari eksportir ke importir.
Padahal penentuan kapal kargo yang membawa barang adalah ditentukan sendiri
oleh pihak pelaku eksportir sementara pihak importir hanya berkewajiban
mengganti biaya yang diberitakan oleh eksportir saja.
Memang dalam sebagian
kasus, pihak importir bisa menentukan jenis kapalnya berdasarkan berita kapal
yang di-launching oleh pihak syahbandar dan dipublikasi secara meluas lewat jaringan
online. Namun, kedudukan pihak perusahaan kargo di sini juga masih tidak
berubah statusnya yaitu sebagai pihak yang “disewa” jasa angkutnya, dan bukan
sebagai “wakil importir”, karena dokumen yang disertakan tidak mencukupi untuk
mengubah kedudukan status tersebut.
Proses Penguangan
Dokumen Pengapalan
Langkah terakhir dari
eksportir setelah barang berada di atas kapal adalah melakukan penguangan
dokumen pengapalan dengan bank mitra devisa eksportir.
Jika menilik prosedur
ini, maka status dari perusahaan kargo adalah masih dalam status selaku
pihak yang disewa. Apakah mungkin bahwa pihak yang disewa sekaligus bertugas
sebagai wakil importir, padahal penentuan kargo adalah berasal dari eksportir
sendiri? Lantas bagaimana mungkin proses qabdlu (menerima) barangnya importir
bisa terjadi sehingga bisa berpindah status kepemilikannya? Inilah pokok
persoalannya. Apabila tetap menggunakan akad ijarah, maka seharusnya status
kepemilikan barang secara fikih sama sekali belum bisa dilakukan sehingga proses
transfer of risk juga tidak bisa berlangsung.
Kesimpulan dari
pembahasan ini adalah, bahwa status perusahaan kargo adalah selaku pihak yang
disewa atas dasar jasa transportasinya. Ia tidak bisa mewakili proses qabdlu
barang (transfer of risk) di atas kapal (freight on board), sehingga qabdlu
tersebut bersifat fasad (rusak) secara fiqih. Dengan demikian, apabila terjadi
sesuatu yang tidak dikehendaki terhadap barangnya importir saat perjalanan
kapal, maka kewajiban eksportir adalah menanggung seluruh kerugian itu, secara
fiqih. Wallahu a’lam bish shawab. []
Muhammad Syamsudin,
Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar