Fiqih Solusi Kredit Macet
Nasabah akibat Bencana (II-Habis)
Dalam dunia perbankan, keberadaan kredit yang
bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) sudah pasti akan memberikan dampak
abnormal kepada kinerja perbankan. Kondisi abnormal memicu perlunya waktu untuk
menuju kondisi normal kembali. Di antara pemicu besarnya angka NPL adalah
karena faktor bencana alam dalam skala besar dan luas. NPL terkadang memaksa
bank untuk melakukan pemutihan terhadap tanggungan nasabahnya.
Dampak nyata dari kredit macet adalah sudah
pasti pada tingkat perolehan keuntungan bank. Untuk itulah dibutuhkan langkah
penanganan yang cepat, tepat yang disertai dengan prinsip keadilan lewat jasa
regulasi/aturan dari pihak pemegang otoritas terkait perbankan, seperti
pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Keadilan yang dimaksud di sini
sudah pasti adalah menimbang sisi baik buruknya bagi debitur nasabah dan
kreditur, yakni bank itu sendiri.
Pada tulisan yang lalu, kita sudah membahas
dua kemungkinan solusi perbankan terkait dengan kredit macet pada nasabah,
yaitu melalui rescheduling dan restrukturisasi utang. Pokok bahasan kali ini
adalah bagaimana bila terjadi bencana massal dan mencakup skala luas.
Mungkinkah benar-benar dilakukan pemutihan terhadap utang nasabah perbankan?
Perlu diingat bahwa kita di sini tidak sedang berbicara teknis lapangannya,
melainkan kaidah hukum yang berlaku di antara debitur dan kreditur bank.
Pada saat bencana mencakup skala luas, secara
tidak langsung nasabah pasti akan kehilangan banyak hal. Tidak hanya tempat
tinggal, bahkan lapangan kerja nasabah turut hilang musnah. Dalam kondisi
seperti ini alangkah tidak patut bagi perbankan syariah atau perbankan
konvensional tetap akan memaksakan diri untuk menagih utang nasabah, atau sekedar
melakukan restrukturisasi atau rescheduling saja. Hal ini mengingat kaidah asal
bahwa utang-piutang adalah diperuntukkan untuk maksud tolong menolong. Jika
melihat kondisi nasabah yang sedemikian rupa, kemudian bank tetap memaksakan
tagihannya kepada bank, lantas di mana letak unsur tolong menolong itu?
Allah ﷻ memberikan solusi
dalam QS. Al-Baqarah: 280 di atas:
وَأَن
تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: “Jika kalian menshadaqahkannya, maka
itu adalah tindakan terbaik untuk kalian jika kalian mengetahui.”
Inti dari ayat ini adalah bahwa Islam
mengatur syariat ibra’ (pembebasan utang). Ayat lain yang
mendukung terhadap pemberlakuan ibra’ adalah QS. Al-Maidah: 2,
Allah ﷻ berfirman yang
artinya: “Tolong menolonglah kamu dalam perbuatan baik dan taqwa dan janganlah
kamu tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.” Sebuah kaidah fiqih
yang senada dengan ayat ini adalah:
لاضرر
ولاضرار
Artinya: “Jangan membuat kemudlaratan untuk
dirimu dan orang lain.”
Berdasarkan kaidah inilah, maka di atur pasal
tentang ibra’ utang sebagai bagian dari objek kajian
fiqih.
Ulama jumhur berpendapat bahwa ada empat
rukun ibra’, yaitu: 1) pihak yang memberi utang (kreditur), 2)
pihak yang berutang (debitur), sighat (lafadz ibra’), dan utang itu
sendiri.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam ibra’ adalah:
1. Untuk hal yang berkaitan dengan pihak
kreditur, maka disyaratkan :
- Harus baligh, berakal, cerdas dan tidak
berstatus dalam pengampunan.
- Memiliki kekuasaan terhadap hak yang akan
digugurkan (pemilik dari harta tersebut).
- Kreditur harus ridha dan dalam keadaan
sadar.
2. Untuk hal yang berkaitan dengan debitur,
maka disyaratkan harus jelas identitasnya
3. Untuk hal yang berkaitan dengan objek yang
digugurkan maka disyaratkan:
- Jenis dan jumlahnya jelas
- Yang digugurkan berbentuk uang
- Uang tersebut ada ketika dilakukan ibra’
4. Untuk proses pelaksanaan ibra’,
maka disyaratkan:
- Lafadz yang digunakan harus jelas
menggunakan istilah yang berarti melepas
- Tidak menyertakan syarat dan waktu dalam
bagian kalimat pembebasan (al-syurūth muqtarinah bi al-‘aqd)
- Lafadz yang digunakan tidak bertentangan
dengan syari’at.
- Lafadz pembebasan dinyatakan setelah utang
benar-benar menjadi hak orang yang mengucapkannya (debitur).
Dalam kajian fiqih, ibra’ ini
masuk dalam bagian akad penyelesaian sengketa muamalah. Oleh karena itu, dalam
melakukan prosesi ibra’, untuk kasus perbankan misalnya, maka ada
beberapa pihak yang turut disertakan, yaitu:
1. Akad shuluh (perdamaian/kompromi).
Sifat dari akad ini adalah tidak bisa dibatalkan secara sepihak oleh kedua
orang yang melakukan transaksi. Jadi, apabila perbankan sudah melakukan
pengampunan terhadap satu nasabahnya yang dipandang patut untuk diberi
pengampunan, maka pihak perbankan tidak boleh mencabut kembali ampunannya
tersebut.
2. Badan arbitrase yang menangani sengketa
mu’amalah. Dalam fiqih, badan ini disebut sebagai badan tahkim.
Tujuan dari badan tahkim ini dibentuk sebagai penyeranta solusi damai terhadap
objek tahkim yang memungkinkan diberikan ampunan kredit. Jumhur ulama’ empat
madzhab sepakat bahwa keputusan badan arbitrase bersifat mengikat dan tidak
bisa dicabut kembali seiring survey yang dilakukannya terhadap kondisi nasabah
dan bencana.
3. Wilayah qadha’ hakim,
yaitu wilayah kerja hakim. Yang menengahi unjuk hapus penagihan kreditur
terhadap debitur adalah harus hakim yang berada dalam wilayah mahkum bih (yang
diputusi hukumnya). Tidak boleh hakim wilayah lain di luar wilayah kerja
kreditur menjadi penyeranta akad. Dalam syariat, ada tiga badan yang terlibat
dan masuk menjadi satu kesatuan dalam wilayah qadha’ ini, yaitu:
- Wilayah madhalim (Lembaga
Bantuan Hukum, Pengacara, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI))
- Wilayah hisbah (polisi,
satpol PP, penyidik, termasuk di dalamnya adalah jaksa)
- Wilayah al-qadha’ (peradilan)
Ketiga badan ini bersifat saling dukung
antara satu dengan yang lain. Keputusan salah satu pihak dapat mempengaruhi
keputusan hakim. Untuk itu, biasanya ada penahapan dalam keputusannya.
Penahapan keputusan ini bergantung kepada tingkat berat atau tidaknya kerusakan
yang dialami oleh nasabah bank. Wallâhu a’lam bish shawab. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar