Jumat, 13 September 2019

(Ngaji of the Day) Fiqih Solusi Kredit Macet Nasabah akibat Bencana (I)


Fiqih Solusi Kredit Macet Nasabah akibat Bencana (I)

Dalam Islam, akad utang-piutang sering disebut dengan istilah akad tadâyun atau qardh. Dalam fiqih, perbedaan kedua transaksi ini terjadi pada keumuman lafadh dan segi penerapannya. Untuk tadâyun atau mudâyanah, biasanya diterapkan pada semua bentuk transaksi jual beli dan sewa menyewa yang dilakukan secara tidak tunai. Namun, qardh, penerapannya berlangsung khusus karena ada kaitannya dengan istilah permodalan. 

Prinsip dasar dibolehkannya transaksi utang-piutang dalam Islam adalah sebagai sebuah akad yang bercorak ta’âwun (pertolongan) yang diberikan kepada pihak lain yang membutuhkan agar terpenuhi kebutuhannya tersebut. Sebagai akad ta’âwun, maka dengan melihat kondisi akhir objek orang yang ditolong setelah diberi pinjaman, maka secara umum utang-piutang ini dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu: 

1. Adakalanya ia bisa melunasi tepat waktu pelunasan
2. Adakalanya ia bisa melunasi namun tidak tepat waktu pelunasan sehingga membutuhkan penundaan, dan
3. Adakalanya juga susah melakukan pengembalian disebabkan faktor yang tidak diprediksi sebelumnya, seperti akibat bencana.

Untuk objek yang diutangi yang berada dalam kondisi 1 dan 2, maka berlaku dalil tidak boleh menunda-nunda pembayaran utang selagi mampu. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 282:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلاَ يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ وَلاَ يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئاً فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mendiktekan, maka hendaklah walinya mendiktekan dengan jujur.” (QS. Al-Baqarah: 282).

Ayat di atas secara tidak langsung menyinggung larangan untuk menyelisihi tenggang pelunasan, sehingga kemudian turun perintah mencatat transaksi. Dalam sumber lain, Syekh Zainuddin al-Malaibary dalam Fathu al-Muin, menjelaskan bahwa sebaik-baik orang adalah orang yang paling baik dalam pengembalian utangnya, yakni tepat waktu. Secara lengkap, disampaikan pendapat beliau sebagai berikut:

وجاز لمقرض (نفع) يصل له من مقترض، كرد الزائد قدرا أو صفة، والاجود في الردئ (بلا شرط) في العقد، بل يسن ذلك لمقترض، لقوله (ص): إن خياركم: أحسنكم قضاء

Artinya: Dan diperbolehkan bagi pihak yang memberi utang (muqridl) mendapatkan sesuatu yang lebih (manfaat) dari pihak yang berutang (muqtaridl) seperti bayaran utang dengan nilai yang lebih baik secara ukuran, sifat dan kualitasnya, dengan tanpa adanya syarat yang disebutkan di dalam akad. Bahkan berbuat seperti itu disunnahkan bagi pihak yang berutang, karena sabda Rasulullah SAW artinya “Sesungguhnya orang yang terbaik di antara kalian adalah yang paling bagus cara membayarnya” (Lihat: Sayyid al-Bakry bin Al-Syatha al-Dimyathy, Hasyiyah I’anatu al-Thâlibīn, juz 3, Beirut: Daru al-Fikr, tt.: 43)

Penundaan utang bagi orang yang mampu adalah sebuah kezaliman. Dalam sebuah hadits dijelaskan sebagai berikut :

مطل الغني ظلم، وإذا أتبع أحدكم على ملئ فليتبع 

Artinya: "Menunda pembayaran (utang) bagi orang yang mampu adalah kezaliman, jika salah seorang dari kalian memindahkan utang itu pada orang yang kaya, maka terimalah ia (pemindahan utangnya).  (HR. Bukhari, dan Abu Dawud)

Adapun untuk pihak yang belum mampu melakukan pelunasan utang, maka dalam QS. Al-Baqarah: 280, Allah memberikan perintah agar memberi toleransi terhadap orang tersebut apabila disebabkan karena faktor kesulitan:

وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَن تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ 

Artinya: “Jika mereka termasuk orang yang kesulitan dalam pengembalian utang, maka tunggulah sejenak. Dan jika kalian menshadaqahkannya, maka itu adalah hal yang terbaik bagi kalian jika kalian mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280). 

Syekh Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabary dalam Tafsir Al-Thabary menukil sebuah atsar yang digunakan untuk menafsiri ayat ini sebagai berikut:

حدثني موسى قال، حدثنا عمرو بن حماد قال، حدثنا أسباط، عن السدي وإن كان ذو عسرة فنظرة "برأس المال" إلى ميسرة" يقول: إلى غنى

Artinya: “Musa bercerita kepadaku: ‘Amru bin Hammad berkata kepadaku: Asbath bercerita kepadaku: Dari al-Saddy,  ia berkata: [Tafsir ayat]....”dan jika mereka termasuk orang yang kesulitan, maka tunggulah” (sebesar pokok hartanya) “sampai datang kemudahan”, yakni: cukup/mampu.” (Lihat: Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabary, Jâmi’u al-Bayân ‘an Ta’wīli Ayi al-Qur’ân, juz 6, Beirut: Maktabah Al-Qahirah, tt.: 32)

Berdasarkan ayat ini, secara tidak langsung Allah memberikan penegasan agar memberi waktu penundaan terhadap pihak yang mengalami kesulitan dalam membayar utangnya. Jika dikaitkan dengan kasus kredit perbankan, maka ada dua kemungkinan pola penundaan utang ini, yaitu: 

1) melalui jalan restrukturisasi utang, dan 
2) rescheduling - penjadwalan ulang utang. 

Dalam kondisi bencana, kecil kemungkinan dilakukan rescheduling – yaitu penjadwalan kembali utang. Minimal yang paling memungkinkan dilakukan oleh bank adalah melakukan restrukturisasi, yaitu  upaya perbaikan yang dilakukan dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya atau belum cukup uang yang digunakan untuk mengembalikan disebabkan karena faktor X yang tidak terprediksi sebelumnya, seperti karena bencana, namun dalam kondisi bencana yang tidak terlalu parah, misalnya tidak sampai menghabiskan total harta benda dan menghilangkan mata pencaharian. Wallâhu a’lam bish shawâb.

(Bersambung)

[]

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar