Fiqih Solusi Kredit Macet
Nasabah akibat Bencana (I)
Dalam Islam, akad utang-piutang sering
disebut dengan istilah akad tadâyun atau qardh. Dalam fiqih,
perbedaan kedua transaksi ini terjadi pada keumuman lafadh dan segi
penerapannya. Untuk tadâyun atau mudâyanah, biasanya diterapkan
pada semua bentuk transaksi jual beli dan sewa menyewa yang dilakukan secara
tidak tunai. Namun, qardh, penerapannya berlangsung khusus karena ada kaitannya
dengan istilah permodalan.
Prinsip dasar dibolehkannya transaksi
utang-piutang dalam Islam adalah sebagai sebuah akad yang bercorak ta’âwun
(pertolongan) yang diberikan kepada pihak lain yang membutuhkan agar terpenuhi
kebutuhannya tersebut. Sebagai akad ta’âwun, maka dengan melihat kondisi
akhir objek orang yang ditolong setelah diberi pinjaman, maka secara umum
utang-piutang ini dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu:
1. Adakalanya ia bisa melunasi tepat waktu
pelunasan
2. Adakalanya ia bisa melunasi namun tidak
tepat waktu pelunasan sehingga membutuhkan penundaan, dan
3. Adakalanya juga susah melakukan
pengembalian disebabkan faktor yang tidak diprediksi sebelumnya, seperti akibat
bencana.
Untuk objek yang diutangi yang berada dalam
kondisi 1 dan 2, maka berlaku dalil tidak boleh menunda-nunda pembayaran utang
selagi mampu. Allah ﷻ berfirman dalam QS.
Al-Baqarah: 282:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلاَ يَأْبَ كَاتِبٌ
أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ
الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ وَلاَ يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئاً فَإِنْ كَانَ
الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ
يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermu´amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah
orang yang berutang itu mendiktekan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah
ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun
daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
(keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mendiktekan, maka hendaklah walinya
mendiktekan dengan jujur.” (QS. Al-Baqarah: 282).
Ayat di atas secara tidak langsung
menyinggung larangan untuk menyelisihi tenggang pelunasan, sehingga kemudian
turun perintah mencatat transaksi. Dalam sumber lain, Syekh Zainuddin
al-Malaibary dalam Fathu al-Muin, menjelaskan bahwa sebaik-baik orang
adalah orang yang paling baik dalam pengembalian utangnya, yakni tepat waktu.
Secara lengkap, disampaikan pendapat beliau sebagai berikut:
وجاز
لمقرض (نفع) يصل له من مقترض، كرد الزائد قدرا أو صفة، والاجود في الردئ (بلا شرط) في العقد، بل يسن ذلك لمقترض، لقوله (ص): إن
خياركم: أحسنكم قضاء
Artinya: Dan diperbolehkan bagi pihak yang
memberi utang (muqridl) mendapatkan sesuatu yang lebih (manfaat) dari
pihak yang berutang (muqtaridl) seperti bayaran utang dengan nilai yang
lebih baik secara ukuran, sifat dan kualitasnya, dengan tanpa adanya syarat
yang disebutkan di dalam akad. Bahkan berbuat seperti itu disunnahkan bagi
pihak yang berutang, karena sabda Rasulullah SAW artinya “Sesungguhnya orang
yang terbaik di antara kalian adalah yang paling bagus cara membayarnya”
(Lihat: Sayyid al-Bakry bin Al-Syatha al-Dimyathy, Hasyiyah I’anatu
al-Thâlibīn, juz 3, Beirut: Daru al-Fikr, tt.: 43)
Penundaan utang bagi orang yang mampu adalah
sebuah kezaliman. Dalam sebuah hadits dijelaskan sebagai berikut :
مطل
الغني ظلم، وإذا أتبع أحدكم على ملئ فليتبع
Artinya: "Menunda pembayaran (utang)
bagi orang yang mampu adalah kezaliman, jika salah seorang dari kalian
memindahkan utang itu pada orang yang kaya, maka terimalah ia (pemindahan
utangnya). (HR. Bukhari, dan Abu Dawud)
Adapun untuk pihak yang belum mampu melakukan
pelunasan utang, maka dalam QS. Al-Baqarah: 280, Allah ﷻ memberikan perintah
agar memberi toleransi terhadap orang tersebut apabila disebabkan karena faktor
kesulitan:
وَإِن
كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَن تَصَدَّقُوا خَيْرٌ
لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: “Jika mereka termasuk orang yang
kesulitan dalam pengembalian utang, maka tunggulah sejenak. Dan jika kalian
menshadaqahkannya, maka itu adalah hal yang terbaik bagi kalian jika kalian
mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).
Syekh Abu Ja’far Muhammad bin Jarir
al-Thabary dalam Tafsir Al-Thabary menukil sebuah atsar yang digunakan
untuk menafsiri ayat ini sebagai berikut:
حدثني
موسى قال، حدثنا عمرو بن حماد قال، حدثنا أسباط، عن السدي وإن كان ذو عسرة فنظرة
"برأس المال" إلى ميسرة" يقول: إلى غنى
Artinya: “Musa bercerita kepadaku: ‘Amru bin
Hammad berkata kepadaku: Asbath bercerita kepadaku: Dari al-Saddy, ia
berkata: [Tafsir ayat]....”dan jika mereka termasuk orang yang kesulitan, maka
tunggulah” (sebesar pokok hartanya) “sampai datang kemudahan”, yakni:
cukup/mampu.” (Lihat: Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabary, Jâmi’u
al-Bayân ‘an Ta’wīli Ayi al-Qur’ân, juz 6, Beirut: Maktabah Al-Qahirah,
tt.: 32)
Berdasarkan ayat ini, secara tidak langsung
Allah ﷻ memberikan penegasan
agar memberi waktu penundaan terhadap pihak yang mengalami kesulitan dalam
membayar utangnya. Jika dikaitkan dengan kasus kredit perbankan, maka ada dua
kemungkinan pola penundaan utang ini, yaitu:
1) melalui jalan restrukturisasi utang,
dan
2) rescheduling - penjadwalan ulang
utang.
Dalam kondisi bencana, kecil kemungkinan
dilakukan rescheduling – yaitu penjadwalan kembali utang. Minimal yang paling
memungkinkan dilakukan oleh bank adalah melakukan restrukturisasi, yaitu
upaya perbaikan yang dilakukan dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang
mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya atau belum cukup uang yang
digunakan untuk mengembalikan disebabkan karena faktor X yang tidak terprediksi
sebelumnya, seperti karena bencana, namun dalam kondisi bencana yang tidak
terlalu parah, misalnya tidak sampai menghabiskan total harta benda dan
menghilangkan mata pencaharian. Wallâhu a’lam bish shawâb.
(Bersambung)
[]
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar