PAHLAWAN NASIONAL NU
KH Wahab Chasbullah,
Motor Pergerakan Nasional dari Pesantren
Seorang ulama asal
Jombang yang mendirikan Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, KH Abdul Wahab
Chasbullah memahami betul spirit guru sekaligus koleganya KH Hasyim Asy’ari
yang berupaya memberikan pengabdian terbaik kepada bangsanya. Apalagi
kungkungan penjajahan masih menerpa sehingga prinsip-prinsip keilmuan yang
diajarkan di pesantren harus diarahkan dan menjadi penopang bagi setiap
pergerakan nasional mencapai kemerdekaan.
Kiai Wahab Chasbullah
sebagai motor pergerakan nasional dari kalangan pesantren bukan legitimasi buta
karena karakter penggerak sudah melekat pada dirinya. Bersama para kiai lain
dari berbagai daerah, Kiai Wahab selalu mampu mengondisikan persoalan bangsa
dan agama dengan karakter yang kokoh.
Seperti saat
membentuk Komite Hijaz untuk Muktamar Dunia Islam pada Januari 1926 di Makkah
untuk mencegah pembongkaran situs-situs sejarah, termasuk makam Nabi Muhammad
SAW dan penghapusan paham bermadzhab di tanah hijaz yang digaungkan Raja Saud.
Sebab tentu dalam melakukan perjuangan meneguhkan madzhab ini, KH Hasyim
Asy’ari, Kiai Wahab, KH Raden Asnawi Kudus, dan tokoh-tokoh pesantren lain
melihat bahwa warisan intelektual para ulama dalam ijtihadnya yang berdampak
munculnya beragam madzhab harus tetap dipertahankan.
Apalagi di tanah
Hijaz sendiri yang menjadi perjuangan penting Nabi Muhammad SAW dalam
mengembangkan agama Islam sebagai Rahmat, tidak terkerangkeng dengan sentimen
suku yang hingga saat ini seolah menjadi sumber konflik yang luar biasa di
tanah Arab. Kiai Wahab dan kawan-kawan memahami bahwa Islam tidak hanya akan
berkembang di tanah Arab, melainkan juga di seluruh belahan dunia.
Jauh sebelum
peristiwa yang akhirnya melahirkan jami’iyyah Nahdlatul Ulama tersebut, Kiai
Wahab Chasbullah aktif mendirikan perkumpulan-perkumpulan yang menjadi basis
pergerakan nasional dan sebagai embrio lahirnya NU. Bersama Kiai hasyim
Asy’ari, Kiai Wahab bisa dikatakan sebagai motor pergerakan perjuangan
pesantren dalam melawan penjajah, dan inisiator gerakan pemuda bernama
Syubbanul Wathan (pemuda cinta tanah air) melalui Perguruan Nahdlatul Wathan
yang didirikannya pada 1916.
Konsep cinta tanah
air melalui pendidikan ini menyadarkan para generasi muda agar bersatu melawan
penjajah demi kemerdekaan bangsa Indonesia. KH Wahab Chasbullah berhasil
mendirikan perguruan Nahdlatul Wathan atas bantuan beberapa kiai lain dengan
dirinya menjabat sebagai Pimpinan Dewan Guru (keulamaan). Sejak saat itulah
Nahdlatul Wathan dijadikan markas penggemblengan para pemuda. Mereka dididik
menjadi pemuda yang berilmu dan cinta tanah air.
Bahkan setiap hendak
dimulai kegiatan belajar, para murid diharuskan terlebih dahulu menyanyikan
lagu perjuangan dalam bahasa Arab ciptaan Mbah Wahab sendiri. Kini lagu
tersebut sangat populer di kalangan pesantren dan setiap kegiatan Nahdlatul
Ulama (NU), yakni Yaa Lal Wathan yang juga dikenal dengan Syubbanul Wathan.
Benih-benih cinta tanah air ini akhirnya bisa menjadi energi positif bagi
rakyat Indonesia secara luas sehingga perjuangan tidak berhenti pada tataran
wacana, tetapi pergerakan sebuah bangsa yang cinta tanah airnya untuk merdeka
dari segala bentuk penjajahan.
Semangat nasionalisme
Kiai Wahab yang berusaha terus diwujudkan melalui wadah pendidikan juga turut
serta melahirkan organisasi produktif seperti Tashwirul Afkar (gerakan pencerahan)
yang berdiri tahun 1919 dan Nahdlatut Tujjar (gerakan kemandirian ekonomi).
Selain itu, terlibatnya Kiai Wahab di berbagai organisasi pemuda seperti
Indonesische studie club, Syubbanul Wathan, dan kursus Masail Diniyyah bagi
para ulama muda pembela madzhab tidak lepas dari kerangka tujuan utamanya,
membangun semangat nasionalisme bangsa Indonesia yang sedang terjajah.
Dalam mengembangkan
Madrasah Nahdlatul Wathan dan Tashwirul Afkar ini, Kiai Wahab berupaya
menyebarkan 'virus' cinta tanah air (hubbul wathan) secara luas di tengah
masyarakat dengan membawa misi tradisi keilmuan pesantren. Gerakan yang
dilakukan oleh Kiai Wahab ini menginspirasi para pemuda Indonesia dari seluruh
wilayah menyatukan diri pada bangsa, bahasa, dan tanah air yang satu dalam
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dalam Kongres Pemuda kedua.
Dalam pergerakan
nasional, Kiai Wahab berjasa menumbuhkan dan mewariskan sikap nasionalisme
dalam diri bangsa Indonesia hingga saat ini. Madrasah Nahdlatul Wathan yang
didirikannya untuk membentuk generasi muda cinta tanah air membuahkan warisan
manis bagi persatuan bangsa Indonesia berdasar keyakinan agama para pemeluknya.
Sejak dulu, para
ulama pesantren menekankan bahwa cinta tanah air dan menjaga negara adalah
kewajiban agama.
Besarnya jasa dan
peran Kiai Wahab Chasbullah dalam membawa setiap pergerakan keagamaan dan
kebangsaan ke arah persatuan dan kedaulatan bangsa membuatnya disebut sebagai
seorang ‘sopir’, pengemudi, pengendali. Meskipun dirinya juga pernah menjadi
sopir beneran ketika membawa para kiai ke sebuah kota di Banyumas, Jawa Tengah.
Riwayat Kiai Wahab
menjadi sopir diceritakan oleh KH Saifuddin Zuhri (Berangkat dari Pesantren,
1984). Peristiwa tersebut terjadi tahun 1932 ketika Saifuddin Zuhri berusia 14
tahun. Ia melihat sebuah mobil Chevrolet berisi ulama-ulama besar di antaranya
Hadlratussyekh Hasyim Asy’ari dan KH Bisri Syansuri.
Mobil merek terkemuka
pada zamannya hingga di era sekarang ini datang dari Cirebon, Jawa Barat dan
singgah di kota kecil kelahiran Saifuddin Zuhri, Sokaraja, Banyumas untuk
melantik berdirinya cabang NU. Kedatangan mobil yang membawa para tokoh besar
NU dan bangsa Indonesia itu membuat antusiasme tinggi masyarakat Banyumas kala
itu karena yang mengemudikannya adalah Kiai Wahab sendiri dengan setelan sarung
dan sorbannya.
Pemandangan tersebut
menggambarkan bahwa Kiai Wahab adalah ‘sopir’, pengemudi NU yang di dalamnya
berkumpul tokoh-tokoh ulama seperti Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Abdullah Faqih,
dan Kiai Bisri Syansuri. Juga ‘sopir’ politik yang mengemudikan kebijaksanaan politik
Partai Masyumi yang di dalamnya duduk para politisi intelektual seperti Dr
Sukiman, Mr. Yusuf Wibisono, Mr. Kasman Singadimedjo, Muhammad Natsir, Mr.
Muhamad Roem, Mr. Syafruddin Prawiranegara, dan lain-lain.
Pernah suatu ketika,
obrolan terjadi di pusat latihan Hizbullah di Cibarusa itu dikelola oleh Markas
Tertinggi Hizbullah yang dipimpin oleh KH Zainul Arifin. Sebagai sebuah
strategi perang, latihan ini perlu dilakukan oleh sebanyak-banyaknya pemuda.
Namun, disayangkan latihan Hizbullah ini diselenggarakan secara minim sekali.
(KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, LKiS, 2013)
Kondisi ini menjadi
perhatian serius KH Wahid Hasyim sebagai penanggung jawab politik dalam Laskar
Hizbullah. “Kita dikejar waktu. Nippon sebenarnya mencurigai tujuan Hizbullah.
Yang menyetujui Hizbullah kan Cuma kita,” ucap Kiai Wahid mengemukakan
kegelisahannya.
Tetapi, ayah dari KH
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini tidak mau ketinggalan kereta. Walau bagaimana
pun, perjuangan kemerdekaan harus dipersiapkan, baik kekuatan militernya, di
samping kekuatan politiknya. Kekuatan politik yang dimaksud ialah politik
kenegaraan yang berkepentingan memerdekakan Indonesia dari kungkungan penjajah.
Langkah ini membutuhkan ongkos yang tidak sedikit.
Kegundahan Kiai Wahid
tersebut mendapat siraman petunjuk dari KH Abdul Wahab Chasbullah. Kiai Wahab
menilai, para kiai dan pemimpin laskar jangan hanya melihat dari ukuran lahir.
Karena menurutnya, belum tentu jika disediakan biaya besar akan berdampak pada
hasil yang maksimal.
“Bia menderita asal
penggemblengan jiwanya hebat seperti pemuda-pemuda Ashabul Kahfi, hasil akhir
yang maksimal bisa tercapai juga,” tutur Kiai Wahab memberi masukan.
Soal pembebasan Irian
Barat, Choirul Anam dalam bukunya Pertumbuhan dan Perkembangan NU (1985)
menyebutkan, hubungan baik antara Presiden Soekarno dan Kiai Wahab Chasbullah
memudahkan diterimanya saran-saran NU yang disampaikan oleh Kiai Wahab lewat
DPAS. Misalnya, ketika DPAS sedang membicarakan perlu tidaknya berunding soal
Irian Barat (sekarang Papua) dengan pihak Belanda.
Kiai Wahab segera
menyampaikan sarannya yang terkenal dengan istilah ‘Diplomasi Cancut Tali
Wondo’. Maksudnya untuk mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah Indonesia
diperlukan waktu untuk menggalang kekuatan lahir dan batin di segala bidang.
Ikhtiar lahir batin
tersebut ialah urusan dalam negeri harus diselesaikan terlebih dahulu,
kehidupan politik harus sehat, partai politik harus diberi jaminan untuk ikut
berpatisipasi secara jujur dan adil, rakyat harus diangkat dari kungkungan
kemiskinan, penghematan harus dilakukan di segala tingkatan, demokrasi harus
berjalan dengan baik agar rakyat merasa tidak dibatasi.
Semua pertimbangan
tersebut perlu dipikirkan dan dilaksanakan. Bagaimana bisa melakukan diplomasi
secara jantan dengan pihak Belanda jika keadaan dalam negeri masih rentan,
keropos, dan belum kondusif. Dari ikhtiar ini, Kiai Wahab menyatakan,
‘Diplomasi Cancut Tali Wondo’ memang memerlukan waktu karena pertimbangan
keadaan dalam negeri.
Ternyata, saran Kiai
Wahab tidak meleset. Pada mulanya, Belanada menganggap bahwa Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) tidak mempunyai kemampuan ofensif. Tetapi
setelah persiapan sudah matang dan di antaranya dilakukan pembelian peralatan
ofensif di Moskow pada 4 Januari 1961, barulah Belanda sadar bahwa kemampuan
itu adalah soal waktu. Pada akhirnya, bebaslah Irian Barat dari tangan Belanda
dan kembali ke pangkuan ibu pertiwi, Republik Indonesia. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar