Kewajiban Umat Islam
terhadap Jenazah Orang Gila
Sifat gila atau gangguan mental adalah salah
satu hal yang dikategorikan uzur dalam Islam. Orang yang memiliki sifat ini,
segala amalnya dianggap tidak ditulis dalam catatan amal sebagai pahala ataupun
dosa. Sebab syarat seseorang bisa melaksanakan hal yang bernilai pahala ataupun
dosa adalah wujudnya taklif (tuntutan syara’), sedangkan syarat dari wujudnya
taklif ini adalah seseorang harus memiliki akal dan sudah beranjak baligh.
Penisbatan uzur pada orang gila ini tertera dalam hadits Rasulullah:
رُفِعَ
الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ ، وَعَنِ
الصَّغِيرِ حَتَّى يَكْبِرَ ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ أَوْ يُفِيقَ
“Ada tiga orang yang catatan amalnya diangkat
(tidak ditulis) yaitu orang yang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia
besar (baligh), dan orang gila sampai ia berakal atau waras.” (HR. An-Nasa’i)
Sehingga bagi orang gila, syariat tidak
mewajibkan hal apa pun yang wajib ia lakukan ataupun ia tinggalkan. Namun
justru syariat mewajibkan kepada orang lain dalam merespon berbagai kejadian
yang menimpa orang gila. salah satunya dalam hal merawat jenazah orang gila
ketika ditemukan telah meninggal.
Sudah maklum bahwa merawat jenazah memiliki
konsekuensi hukum fardhu kifayah. Dalam artian jika dalam satu daerah telah ada
satu orang yang melaksanakan kewajiban ini maka telah gugur pelaksanaan
kewajiban ini bagi orang lain, namun jika tidak ada yang melaksanakan kewajiban
ini sama sekali maka seluruh orang yang mengetahui kewajiban ini mendapatkan
dosa.
Kewajiban merawat jenazah sendiri meliputi
memandikan, mengafani, menshalati dan mengubur. Seluruh pelaksanaan ini harus
dikerjakan pada orang yang meninggal, termasuk pada orang yang gila. Kewajiban
ini dibebankan pada setiap orang yang mengetahui kematiannya, orang yang
menduga kuat akan kematiannya, dan orang yang tidak mengerti kematiannya karena
kecerobohan orang tersebut sebab tidak meneliti mayat orang gila yang telah
meninggal, kecerobohan ini seperti mayat orang gila ada di dekatnya, namun ia
tidak mengetahui wujud dari mayat itu, sehingga mayat tersebut terbengkalai
tidak terawat. Dalam keadaan demikian, seluruh orang yang termasuk dalam
kategori di atas dihukumi dosa karena tidak melakukan kewajibannya.
Penjelasan tentang hal ini seperti yang
terdapat dalam kitab Hasyiyah Al-Baijuri:
قال:
(قوله ويلزم على طريق فرض كفاية) والمخاطب بهذه الأمور كل من علم بموته او من ظنه
او قصر لكونه بقربه ولم يبحث عنه
“Wajib atas dasar fardhu kifayah, orang yang
terkena tuntutan atas kewajiban ini adalah setiap orang yang mengetahui
kematiannya, atau orang yang menduga kuat akan kematiannya, atau orang yang
ceroboh dalam mengetahui kematiaannya dikarenakan mayat ada di dekatnya, dan ia
tidak meneliti keberadaannya.” (Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyah Al-Baijuri,
juz 1, hal. 234)
Selain kewajiban merawat orang gila,
diwajibkan pula segala hal yang berkaitan dengan bab tajhizul janazah (merawat
jenazah). Hal ini seperti harus melaksanakan tajhizul janazah sesegera mungkin
tanpa adanya penundaan, tidak diperbolehkan mengubur mayat di tempat lain
(naqlul mayyit) yang menyebabkan tertundanya pelaksanaan tajhizul janazah,
orang yang memandikan harus orang yang sejenis (kelamin yang sama) atau
mahramnya sendiri serta kewajiban-kewajiban lain yang terdapat dalam bab
tajhizul janazah.
Demikian penjelasan tentang kewajiban merawat
jenazah orang gila. secara umum dapat disimpulkan bahwa kewajiban yang ada
dalam merawat jenazah orang gila tidak ada bedanya dengan wajibnya merawat
orang yang berakal. Sebab orang gila dalam Islam tetap dikategorikan sebagai
manusia yang dimuliakan oleh Allah sehingga manusia juga tetap berkewajiban
untuk memuliakannya. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar