Kamis, 12 September 2019

Yudi Latif: Nilai Tambah Habibie


Nilai Tambah Habibie
Oleh: Yudi Latif

Bacharuddin Jusuf Habibie adalah sosok manusia multidimensi yang berjuang mengorbankan banyak waktu dan tenaga untuk kepentingan bangsa. Kita bisa menyebutnya sebagai seorang teknokrat yang genius dengan jiwa religius; seorang pekerja keras tetapi suka bercanda; seorang gila teknologi yang biasa berpuisi. Kesemuanya itu barangkali adalah jalinan kontinuitas dari energi dan roh pengabdiannya, lepas dari kekurangannya sebagai manusia.

Sebagai ahli teknologi, kecerdasan dan kepakarannya dalam teknik penerbangan membuat Habibie menjadi idola anak negeri; ikon kecerdasan bangsa dengan reputasi internasional. Dalam menempatkan dirinya sebagai teknolog, ia mewakili apa yang disebut CP Snow sebagai intelektual ”kultur ketiga” yang bisa menjadi perantara dalam jurang hubungan antara literary intellectuals dan scientists. Sebagai seseorang dari kultur ketiga, Habibie adalah seorang saintis yang bertransformasi menjadi intelektual publik, yang gigih mengartikulasikan usaha-usaha melambungkan harkat bangsa melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sebagai seorang religius, Habibie berkontribusi pada tampilan wajah Islam yang cerdas dan toleran. Ia memimpikan perpaduan ideal antara yang disebutnya sebagai ”imtak” (iman-takwa) dan ”iptek” (ilmu pengetahuan dan teknologi). Ia pembelajar (praktik) agama yang saleh. Agama lebih dari sekadar pengetahuan, ia adalah laku hidup: akhlak mulia.

Sebagai seorang teknokrat, Habibie menduduki berbagai jabatan, yang membuatnya disebut ”superminister” di masa pemerintahan Soeharto. Kedudukan strategisnya dalam tekno-ekonomi mendorongnya mengembangkan visi ekonomi baru, di mana keberlangsungan pembangunan ekonomi Indonesia tidak bisa digantungkan pada prinsip ”keuntungan komparatif” semata, yang didasarkan pada kelimpahan sumber daya alam dan buruh yang murah. Alih-alih, keberlangsungan itu harus didasarkan pada prinsip ”keuntungan kompetitif” yang didasarkan pada ”nilai tambah” dari teknologi tinggi dan ketersediaan tenaga kerja terdidik dan terlatih.

Saat terjadi turbulensi politik dan ekonomi tahun 1998, sebagai Presiden, ia terbilang mampu menyelesaikan banyak masalah. Salah satu tugas terberatnya, seperti dinyatakan Habibie sendiri, ”Saya menyadari dan dapat mengerti, jikalau yang pernah dirugikan dalam masa Orde Baru menilai negatif, bahkan bersikap anti kepada saya karena kedudukan dan kedekatan saya dengan kekuasaan selama hampir 25 tahun lamanya, serta menganggap saya ikut bertanggung jawab atas terjadinya multikrisis yang dihadapi. Oleh karena itu, sikap saya dalam menghadapi semua persoalan harus arif dan toleran demi persatuan dan kesatuan dua ratus juta lebih penduduk Indonesia” (Nafthalia, 2008).

Di masa kepresidenannya, Habibie berupaya menempatkan rakyat pada posisi terhormat. Krisis ekonomi diatasi hingga berhasil mengendalikan nilai tukar rupiah menjadi Rp 8.000-an per 1 dollar AS. Monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat diupayakan dihentikan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan yang Tidak Sehat. Konsumen pun berusaha dilindungi. Kedaulatan rakyat diperkuat, tahanan politik dibebaskan, hak-hak sipil dan politik dipulihkan.

Meski untuk urusan terakhir itu, ia sendiri menjadi korban, menyusul kebijakannya memberi referendum ke rakyat Timor Timur. Meski jasanya sebagai pemimpin politik tak bisa dikecilkan, warisan terpenting Habibie adalah visi pembangunan ”nilai tambahnya”. Bahwa untuk jadi ”makmur”, suatu perekonomian harus menciptakan nilai tambah secara berkelanjutan yang bisa meluaskan mobilitas vertikal secara lebih inklusif.

Dalam kaitan ini, kita harus mengembangkan visi ”nilai tambah” Habibie secara lebih dalam. Jika Habibie memulai pembangunan nilai tambah melalui kebijakan push factor dari negara melalui pendirian industri-industri strategis, efektivitas pembangunan ”nilai tambah” akan lebih membawa kemakmuran apabila mengikuti pull factor dari dinamika pasar.

Berkaca dari pengalaman negara-negara yang berhasil bertransformasi dari negara miskin menjadi negara makmur, maka lokomotif kemakmuran itu terletak pada usahawan inovator yang berhasil mengembangkan inovasi-teknologi yang dapat menciptakan pasar baru.

BJ Habibie telah memelopori. Dalam mati, gagasan dan amal baktinya abadi. Selamat jalan, Pak Habibie! []

KOMPAS, 12 September 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar