Nilai Tambah Habibie
Oleh: Yudi Latif
Bacharuddin Jusuf Habibie adalah sosok manusia multidimensi yang
berjuang mengorbankan banyak waktu dan tenaga untuk kepentingan bangsa. Kita
bisa menyebutnya sebagai seorang teknokrat yang genius dengan jiwa religius;
seorang pekerja keras tetapi suka bercanda; seorang gila teknologi yang biasa
berpuisi. Kesemuanya itu barangkali adalah jalinan kontinuitas dari energi dan
roh pengabdiannya, lepas dari kekurangannya sebagai manusia.
Sebagai ahli teknologi, kecerdasan dan kepakarannya dalam teknik
penerbangan membuat Habibie menjadi idola anak negeri; ikon kecerdasan bangsa
dengan reputasi internasional. Dalam menempatkan dirinya sebagai teknolog, ia
mewakili apa yang disebut CP Snow sebagai intelektual ”kultur ketiga” yang bisa
menjadi perantara dalam jurang hubungan antara literary intellectuals dan
scientists. Sebagai seseorang dari kultur ketiga, Habibie adalah seorang
saintis yang bertransformasi menjadi intelektual publik, yang gigih
mengartikulasikan usaha-usaha melambungkan harkat bangsa melalui penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sebagai seorang religius, Habibie berkontribusi pada tampilan
wajah Islam yang cerdas dan toleran. Ia memimpikan perpaduan ideal antara yang
disebutnya sebagai ”imtak” (iman-takwa) dan ”iptek” (ilmu pengetahuan dan
teknologi). Ia pembelajar (praktik) agama yang saleh. Agama lebih dari sekadar
pengetahuan, ia adalah laku hidup: akhlak mulia.
Sebagai seorang teknokrat, Habibie menduduki berbagai jabatan,
yang membuatnya disebut ”superminister” di masa pemerintahan Soeharto.
Kedudukan strategisnya dalam tekno-ekonomi mendorongnya mengembangkan visi
ekonomi baru, di mana keberlangsungan pembangunan ekonomi Indonesia tidak bisa
digantungkan pada prinsip ”keuntungan komparatif” semata, yang didasarkan pada
kelimpahan sumber daya alam dan buruh yang murah. Alih-alih, keberlangsungan itu
harus didasarkan pada prinsip ”keuntungan kompetitif” yang didasarkan pada
”nilai tambah” dari teknologi tinggi dan ketersediaan tenaga kerja terdidik dan
terlatih.
Saat terjadi turbulensi politik dan ekonomi tahun 1998, sebagai
Presiden, ia terbilang mampu menyelesaikan banyak masalah. Salah satu tugas
terberatnya, seperti dinyatakan Habibie sendiri, ”Saya menyadari dan dapat
mengerti, jikalau yang pernah dirugikan dalam masa Orde Baru menilai negatif,
bahkan bersikap anti kepada saya karena kedudukan dan kedekatan saya dengan
kekuasaan selama hampir 25 tahun lamanya, serta menganggap saya ikut
bertanggung jawab atas terjadinya multikrisis yang dihadapi. Oleh karena itu,
sikap saya dalam menghadapi semua persoalan harus arif dan toleran demi persatuan
dan kesatuan dua ratus juta lebih penduduk Indonesia” (Nafthalia, 2008).
Di masa kepresidenannya, Habibie berupaya menempatkan rakyat pada
posisi terhormat. Krisis ekonomi diatasi hingga berhasil mengendalikan nilai
tukar rupiah menjadi Rp 8.000-an per 1 dollar AS. Monopoli dan persaingan usaha
yang tidak sehat diupayakan dihentikan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan yang Tidak Sehat. Konsumen pun
berusaha dilindungi. Kedaulatan rakyat diperkuat, tahanan politik dibebaskan,
hak-hak sipil dan politik dipulihkan.
Meski untuk urusan terakhir itu, ia sendiri menjadi korban,
menyusul kebijakannya memberi referendum ke rakyat Timor Timur. Meski jasanya
sebagai pemimpin politik tak bisa dikecilkan, warisan terpenting Habibie adalah
visi pembangunan ”nilai tambahnya”. Bahwa untuk jadi ”makmur”, suatu
perekonomian harus menciptakan nilai tambah secara berkelanjutan yang bisa
meluaskan mobilitas vertikal secara lebih inklusif.
Dalam kaitan ini, kita harus mengembangkan visi ”nilai tambah”
Habibie secara lebih dalam. Jika Habibie memulai pembangunan nilai tambah
melalui kebijakan push factor dari negara melalui pendirian industri-industri
strategis, efektivitas pembangunan ”nilai tambah” akan lebih membawa kemakmuran
apabila mengikuti pull factor dari dinamika pasar.
Berkaca dari pengalaman negara-negara yang berhasil
bertransformasi dari negara miskin menjadi negara makmur, maka lokomotif
kemakmuran itu terletak pada usahawan inovator yang berhasil mengembangkan
inovasi-teknologi yang dapat menciptakan pasar baru.
BJ Habibie telah memelopori. Dalam mati, gagasan dan amal baktinya
abadi. Selamat jalan, Pak Habibie! []
KOMPAS, 12 September 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar