Hukum Aparat Mematok Tarif dan
Membatasi Gerak Taksi Online
Taksi online merupakan sebuah fenomena bisnis
yang pesat berkembang dewasa ini karena berhasil mengombinasikan antara
kemajuan teknologi online dan teknologi angkutan. Tak urung, dilegalkannya
keberadaan taksi ini merupakan sebuah revolusi baru teknologi transportasi.
Bisa jadi, suatu saat akan terjadi revolusi di bidang jasa transportasi yang
lain yang sejenis dengan model transportasi yang berbeda.
Sebenarnya, jika diamati praktiknya, model
transaksi taksi online ini sama persis dengan metode jual beli online. Hukumnya
adalah sah secara fiqih disebabkan ada besaran tarif yang jelas yang ditawarkan
oleh perusahaan jasa angkutan tersebut. Tipe angkutannya juga jelas, yaitu ada
angkutan premium (kelas mewah) dengan moda kendaraan yang berkelas tentunya. Ada
juga moda transportasi pribadi (keluarga) dengan kapasitas penumpang 1-4 orang.
Ada khusus “taksi nebeng”, yang bisa secara bersama-sama dengan orang lain
memesan moda transportasi jenis ini. Untuk bepergian jarak dekat, ada moda ojek
online yang bisa turut dipesan dengan mekanisme yang hampir sama. Masyarakat
yang sering aktif di perjalanan, merasakan manfaat besar dari keberadaan jasa
ini.
Fasilitas yang disajikan tentu menawarkan
berbagai kelebihan meninggalkan model transaksi moda transportasi konvensional.
Siap jemput dan antar sampai depan pintu rumah tujuan. Kepuasan pelanggan
adalah yang nomor satu. Begitulah prinsip mereka.
Sayangnya ada sejumlah pihak perusahaan jasa
transportasi yang memonopoli transportasi publik tidak siap menghadapi persaingan
global ini. Akhirnya, beberapa kali tercatat adanya konflik horizontal antara
pihak penyelenggara jasa transportasi online dengan pelaku usaha transportasi
konvensional.
Untuk kepentingan menghindari konflik tersebut,
pemerintah lantas berusaha menertibkan jasa transportasi online dengan jalan
induksi sejumlah aturan ke penyelenggara jasa. Hal ini juga terkait dengan
kepentingan pemerintah dalam melindungi keselamatan konsumen.
Pertama-tama yang wajib dilakukan oleh penyelenggara jasa adalah mengurus SIUP
(Surat Izin Usaha Perdagangan), NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), dan TDP (Tanda
Daftar Perusahaan). Apakah masalah ini sudah selesai?
Ternyata tidak. Beberapa waktu yang lalu, masih
terekam sejumlah penolakan dari beberapa pelaku jasa transportasi konvensional
terhadap eksistensi transportasi online ini. Hal yang dipermasalahkan adalah
soal tarif angkutan. Harga tarif angkutan transportasi online jauh lebih rendah
dibanding transportasi konvensional. Mereka sering kehilangan konsumen
disebabkan gap tarif tersebut.
Berangkat dari alasan ini selanjutnya
diinduksikan aturan tarif. Bahkan, terkadang karena upaya melindungi taksi
konvensional ini, pemerintah atau pengelola tempat tertentu, seperti bandara,
menetapkan larangan masuknya taksi online ke dalam wilayah bandara. Bahkan
berdasarkan sejumlah informasi dari sopir taksi online, terekam sejumlah aparat
membantu pengelola taksi konvensional dengan jalan menetapkan aturan ta'zir
(sanksi) kepada taksi online yang diketahui masuk ke lokasi bandara tertentu
atau ruang terminal tertentu. Bahkan, salah satu sopir taksi online ada yang
pernah disanksi dengan mengelilingi bandara hingga habis bahan bakar
kendaraannya. Apakah hal ini dibenarkan secara syariat?
Untuk menjawab permasalahan ini, maka kita
perlu memperhatikan bahwa pasar transportasi pada dasarnya adalah termasuk
pasar persaingan murni. Semua moda transportasi boleh masuk dan berperan di
dalamnya. Dalam pasar persaingan murni ada ketetapan dalam fiqih bahwa
pemerintah dilarang menetapkan sejumlah patokan kepada salah satu pelaku usaha.
Penetapan patokan terhadap salah satu pelaku usaha dapat menyebabkan terjadinya
inflasi tarif pada salah satu moda jasa yang tengah berjalan. Penetapan aturan
barier (adanya ruang penyekat) justru dapat melahirkan monopoli pada salah satu
jasa transportasi ini.
Bagaimanapun juga, transportasi online
merupakan perusahaan publik yang diakui secara resmi oleh pemerintah. Kecuali
bila perusahaan ini bersifat ilegal, maka dibenarkan bagi pemerintah untuk
menertibkannya karena mengingat tugas dari pemerintah adalah melakukan regulasi
dan melindungi masyarakat. Penertiban adalah sebagai bagian dari upaya menjamin
keselamatan masyarakat yang menggunakan jasa transportasi lewat asuransi yang
dibebankan atas perusahaan dari setiap transaksi yang dilakukan.
Karena pemerintah sudah menetapkan kewajiban
pengurusan SIUP, TDP dan NPWP bagi perusahaan jasa transportasi online, maka
pemerintah dalam hal ini harus berdiri sebagai pelindung keberadaan jasa
sebagai bagian dari persaingan usaha di pasaran jasa angkutan. Melarang
berlakunya dua bidang jasa yang saling berkompetisi guna masuk di pasaran,
merupakan tindakan yang tidak dibenarkan dalam syariat. Bila terjadi benturan
di antara kedua bidang yang sama-sama bergerak di jasa yang sama, pemerintah
hanya berperan menjaga kemaslahatan masing-masing. Imam Al-Syukani menjelaskan:
أن الناس
مسلطون على أموالهم، والتسعير حجر عليهم، والإمام مأمور برعاية مصلحة المسلمين،
وليس نظره في مصلحة المشتري برخص الثمن أولى من نظره في مصلحة البائع بتوفير
الثمن، وإذا تقابل الأمران وجب تمكين الفريقين من الاجتهاد لأنفسهم
Artinya: “Sesungguhnya manusia memiliki hak
kuasa penuh atas harta bendanya. Sementara tas’ir merupakan barier terhadap hak
kuasa tersebut. Imam memiliki mandat menjaga kemaslahatan muslimin.
Perhatiannya tidak hanya tertuju pada kemaslahatan pembeli sebab murahnya harga
saja, melainkan juga terhadap kemaslahatan pedagang sebab modifikasi harga yang
dilakukan. Jika kedua hal ini saling berhadapan, maka wajib bagi pemerintah
memperhatikan eksistensi keduanya melalui jalan ijtihad bagi dirinya.”
(Muhammad bin Ali al-Syaukani, Nailu al-authar Syarah Muntaqiy al-Akhbar,
Beirut: Baitu al-Afkar al-Dauliyah, 2005: 1025)
Menyimak dari pendapat Imam Al-Syaukani ini,
peran pemerintah seharusnya bukan melarang melainkan mengatur ruang geraknya
untuk kemaslahatan. Selama ini solusi pengaturan yang diterapkan adalah dengan
jalan membatasi ruang gerak Taksi online ke lokasi-lokasi tertentu, seperti
Bandara, Terminal Bus, Pelabuhan dan sejenisnya. Apakah hal ini
dibenarkan?
Secara khusus, penetapan barier semacam adalah
tidak dibenarkan karena sifat sepihaknya melindungi jasa monopolistik Taksi
Konvensional. Namun, jika barier tersebut ditujukan untuk menghindari
terjadinya konflik horizontal dengan pelaku perusahaan monopoli yang sudah
lebih dulu ada, maka masih bisa dibenarkan sebab unsur dlarurat dan
kemaslahatan pelaku jasa Taksi Online dan pengguna jasanya. Al-Daraini
menjelaskan:
انفرد
الدريني بذكر شروط التسعير بأن تكون السلع أو المنافع أو الأعمال مما اشتدت حاجة
الناس أو الحيوان أو الدولة إليها، واحتبسها أهلها مع عدم احتياجهم إليها. وكأن
التسعير عنده لا يكون إلا في حالة الاحتكار
Artinya: “Al-Daraini secara terpisah
menyebutkan bahwa syarat tas’ir boleh dilakukan manakala barang, manfaat dan
jasa merupakan bagian dari hal yang sangat dibutuhkan oleh manusia atau hewan,
atau negara. Namun, kebolehan ini hilang manakala masyarakat menjadi tidak lagi
membutuhkan. Seolah-olah, tas’ir hanya diperbolehkan manakala situasi pasar
adalah pasar monopolistik.” (Muhammad Fathy al-Darainy, Buhūthun Muqâranah fi
Fiqhi al-Islâmy wa Ushūlih, Beirut: Muassisah Al-Risâlah, 1994: 1/542)
Jasa transportasi merupakan kebutuhan mendasar
manusia. Menurut al-Muzany, hukum asal penetapan barier ini adalah dilarang,
sebab manusia memiliki kebebasan dalam menggunakan harta miliknya. Demikian
juga, pengguna jasa memiliki kebebasan melakukan khiyar terhadap jasa yang
hendak dipergunakannya berdasarkan prinsip kemudahan dan layanan yang
diperankan. Seharusnya, pihak penyedia jasa transportasi konvensional juga
diharuskan mengadopsi kemajuan teknologi informasi sebagaimana yang dilakukan
oleh penyedia jasa transportasi online. Bukan malah sebaliknya, mereka memaksa pemerintah
untuk mencabut izin jasa transportasi online, atau bahkan bekerja sama dengan
aparat menerapkan ta’zir bagi pelaku jasa transportasi. Hal ini sama sekali
tidak dibenarkan oleh syariat disebabkan melanggar hak asasi pelaku pasar dan
pengguna jasa. Demikian pula, pihak aparat yang menganak emaskan pihak jasa
transportasi konvensional dengan membantunya melakukan ta’zir bagi pelaku taksi
online dengan jalan mengelilingi bandara hingga habis bahan bakar kendaraannya,
adalah bagian dari kedhaliman. Sebuah hadits riwayat Anas bin Malik:
غلا
السعبر على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالوا يارسول الله لوسعرت؟ فقال: إن
الله هو القابض الباسط الرزاق المسعر، وإن لأرجو أن ألقى الله عز وجل ولايطلبني
احد بمظلمة ظلمتها اياه في دم ولامال رواه الخمسة الا النسائي وصححه الترمذي
Artinya: "Suatu ketika terjadi krisis di
zaman Rasulullah saw, kemudian para sahabat meminta kepada beliau menetapkan
harga² barang: "Andaikan tuan mahu menetapkan harga barang?" Beliau
menjawab: Sesungguhnya Allah swt Dzat Yang Maha Mengendalikan, Maha membeber,
Maha Pemberi Rizki dan Maha Penentu Harga. Sesungguhnya aku juga berharap jika
Allah swt menjatuhkan keputusan, maka jangan ada seorang pun yang memintaku
untuk melakukan suatu kedhaliman yang aku perbuat atas diri seseorang terhadap
darah dan juga hartanya." (HR Imam lima selain al Nasai. Dishahihkan oleh
al Tirmidzy)
Wajah dalil dari hadits ini adalah larangan
menerapkan barier tersebut, apalagi membantu menerapkan sanksi guna melindungi
kepentingan monopoli dari salah satu pengusaha jasa transportasi taksi bandara
atau terminal publik. Jadi, membantu menetapkan ta’zir adalah tidak dapat
dibenarkan. Salah satu solusi yang memungkinkan dilakukan adalah membagi
wilayah operasi. Namun, hal ini semata adalah untuk memenuhi maksud dlarurat,
yaitu mencegah konflik horizontal semata. Solusi paling baik adalah, pihak jasa
penyedia taksi konvensional hendaknya menyesuaikan diri dalam terjun di wilayah
kompetisi usaha seiring tuntutan zaman. Mematikan usaha orang lain dengan
mengajukan pemaksaan pembagian ruang gerak kepada jasa penyedia yang lain
adalah haram. Wallâhu a’lam bi al-shawâb. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan
dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, JATIM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar