Bahaya Salah Memahami
Hadits ‘Memerangi Orang-orang Musyrik’
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ وَيُقِيمُوا
الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي
دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى
اللهِ
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa
Rasulullah ﷺ telah bersabda:
"Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi; tidak
ada Ilah (Tuhan) kecuali Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah
utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka lakukan yang
demikian maka mereka telah memelihara darah dan harta mereka dariku kecuali
dengan haq Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah." (HR.
Bukhari-Muslim)
Sebagian orang mempunyai pemahaman yang
kurang baik terhadap hadits ini. Mereka memahami hadits ini sebagai perintah
dari agama untuk memerangi semua orang musyrik (non-Muslim) hingga mereka
mengucapkan syahadat. Efeknya, sering terjadi kekerasan atau penyerangan
terhadap non-Muslim dengan berdalih pada hadits ini. Mereka meyakini apa yang
dilakukannya itu merupakan sesuatu yang benar dan diperintahkan oleh agama.
Tidak heran jika Syekh Muhammad al-Ghazali menyebut hadits ini sebagai hadits
yang madhlûm (terzalimi).
Benarkah demikian? Mari kita pahami hadits
ini dengan baik, sesuai dengan pemahaman bahasa Arab yang baik, sesuai dengan
petunjuk Al-Qur’an dan sesuai dengan latar belakang munculnya (asbabul wurud)
hadits ini.
Siapakah An-Naas (Manusia) yang Dimaksud
dalam Hadits itu?
Redaksi hadits di atas bila kita terjemahkan
secara literal akan berbunyi: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga
mereka bersaksi: tidak ada ilah (Tuhan) kecuali Allah dan bahwa sesungguhnya
Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka
lakukan yang demikian maka mereka telah memelihara darah dan harta mereka
dariku kecuali dengan haq Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah."
Siapakah yang dimaksud dengan an-nâs (manusia) pada hadits di atas?
Apakah semua manusia, non-Muslim, atau siapa?
Untuk memahami sabda Nabi yang baik kita
harus mengacu pada pemahaman bahasa di mana Nabi ﷺ menggunakan bahasa
itu, yaitu bahasa Arab, bahasa Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an ketika disebutkan
kata an-nâs, maka yang dimaksud adalah sebagian manusia, baik dalam
jumlah kecil, maupun dalam jumlah besar. Bahkan terkadang ada yang dikehendaki
hanyalah satu orang saja. Bukan semua manusia. Mau bukti? Simak penjelasan
berikut ini.
Dalam surat Al-Hajj: 27, Allah ﷻ berfriman:
وَأَذِّنْ
فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ.
“Dan berserulah kepada an-nâs
(manusia) untuk mengerjakan haji.” (QS. Al-Hajj: 27)
Siapakah yang di maksud dengan an-nâs pada
ayat ini? Yang dimaksud adalah orang-orang Muslim saja. Non-Muslim tidak masuk
dalam kata an-nâs ini.
Pada ayat yang lain, Allah ﷻ berfirman:
وَيُكَلِّمُ
النَّاسَ فِي الْمَهْدِ وَكَهْلًا وَمِنَ الصَّالِحِينَ.
“Dan dia berbicara dengan an-nâs (manusia)
dalam buaian dan ketika sudah dewasa dan dia adalah termasuk orang-orang yang
saleh." (QS. Ali ‘Imraan : 46)
Siapa yang dimaksud dengan an-nâs pada
ayat ini? Yang dimaksud adalah orang-orang yang berbicara kepada Maryam tentang
anaknya (Nabi ‘Isa ‘alaihis salâm). Hanya sebagian orang, bukan semua
manusia.
Allah ﷻ juga berfirman:
يُوسُفُ
أَيُّهَا الصِّدِّيقُ أَفْتِنَا فِي سَبْعِ بَقَرَاتٍ سِمَانٍ يَأْكُلُهُنَّ
سَبْعٌ عِجَافٌ وَسَبْعِ سُنْبُلَاتٍ خُضْرٍ وَأُخَرَ يَابِسَاتٍ لَعَلِّي
أَرْجِعُ إِلَى النَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَعْلَمُونَ.
“(Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf
dia berseru): "Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada
kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh
ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan
(tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada an-nâs (orang-orang
itu), agar mereka mengetahuinya." (QS. Yusuf: 46)
Siapakah yang dimaksud dengan an-nâs pada
ayat ini? Yang dimaksud adalah Raja Mesir dan para pengikutnya yang mengutus
pelayan itu untuk menemui Nabi Yusuf AS.
Allah ﷻ berfirman:
الَّذِينَ
قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ
فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ.
“(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan
Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya an-nâs
(manusia) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu
takutlah kepada mereka", maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan
mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah
sebaik-baik Pelindung." (QS. Ali ‘Imraan: 173)
Siapakah an-nâs pada ayat ini? An-nâs
pada ayat ini menurut Mujâhid, Muqâtil, Ikrimah dan Al-Kalbiy adalah Nu’aim
bin Mas’ud. (Tafsir Al-Qurthubiy: 4: 279).
Allah ﷻ juga berfirman:
أَمْ
يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَى مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ.
“Ataukah mereka dengki kepada manusia
(Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya?” (QS. An
Nisaa’: 54)
An-nâs (manusia) yang
dimaksud pada ayat di atas adalah Nabi Muhammad ﷺ.
Dengan demikian, penggunaan kata an-nâs pada
beberapa ayat di atas, meskipun redaksinya umum, namun yang dikehendai adalah
orang-orang tertentu, bukan semua manusia. Demikian juga pada hadits di atas,
yang dimaksud dengan an-nâs (manusia) yang harus diperangi adalah
kelompok manusia tenrtentu, bukan semua manusia. Lalu siapakah an-nâs yang
layak diperangi pada hadits di atas?
Para ulama berbeda pendapat dalam menafsiri
kata an-nâs yang terdapat pada hadits di atas. Pertama, an-nâs yang
dimaksud pada hadits di atas adalah orang-orang musyrik, karena dalam riwayat
yang lain ada hadits yang berbunyi: “Aku diperintahkan untuk membunuh
orang-orang musyrik.”
Kedua, yang dimaksud dengan an-nâs pada
hadits di atas adalah orang-orang yang memerangi umat Islam. Kelompok ini tidak
sepakat jika an-nâs pada hadits di atas yang dimaksud adalah orang-orang
musyrik. Kelompok kedua ini di antaranya adalah Ibnul ‘Arabi al-Maliki. Ia
berpendapat bahwa ayat-ayat yang berbunyi “faqtulû al-musyrikîn”
(perangilah orang-orang musyrik) harus dipahami bahwa yang dimaksud di situ
adalah orang-orang musyrik yang memerangi umat Islam, bukan semua orang
musyrik. Hal ini karena beberapa hadits telah menjelaskan bahwa perempuan, anak
kecil, pendeta, dan orang-orang yang lemah tidak boleh untuk diperangi. Dengan
demikian lafadh an-nâs (manusia yang boleh diperangi) pada hadits
di atas adalah orang-orang musyrik yang memerangi umat Islam.
Pendapat kedua ini juga di dukung oleh Ibnu
Taimiyah. Ia berpendapat, manusia yang boleh diperangi hanyalah orang-orang
musyrik yang menghunuskan pedang mereka untuk menyerang umat Islam, bukan
orang-orang musyrik yang berdamai dengan orang Islam. Ibnu Taimiyah menguatkan
pendapatnya ini dengan firman Allah ﷻ yang artinya: “Dan
perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah
kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah: 190). Mereka ini adalah orang-orang musyrik
yang menyiapkan dirinya untuk berperang. Adapun orang-orang musyrik yang tidak
memerangi umat Islam, seperti para pendeta, orang-orang yang sudah tua renta,
perempuan dan anak-anak, mereka semua tidak boleh diperangi. Pendapat ini juga
didukung oleh Ibnul Qayyim Al-Jawziyah, Ibnu Rajab Al-Hanbali, Al-Amir Ash
Shan’ani, Syekh Muhammad al-Ghazali, Syekh ‘Abdullah bin Zaid (ulama Qatar) dan
Syekh Yusuf Al-Qardlawi.
Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa yang
dimaksud dengan an-nâs (manusia) yang boleh diperangi pada hadits di
atas adalah orag-orang musyrik yang mengangkat senjata memerangi umat Islam.
Pemahaman seperti ini sesuai dengan manhaj yang mengkompromikan semua dalil,
baik dari Al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi ﷺ, sehingga tidak terjadi pertentangan di antara dalil-dalil itu.
Juga tidak menggugurkan sebagian dalil-dalil itu.
Di sisi lain, redaksi hadits sejenis dengan
berbagai macam jalur riwayatnya tidak ada yang menggunakan redaksi “umirtu an
aqtula”. Semua hadits yang sejenis dengan hadits di atas menggunakan redaksi
“umirtu an uqaatila”. Dua redaksi “an aqtula” dengan “an uqaatila” mempunyai
perbedaan makna yang signifikan. Redaksi “an uqaatila” menunjukkan bahwa
perbuatan penyerangan itu dilakukan oleh dua pihak. Ini berbeda dengan “an
aqtula” yang hanya dilakukan oleh satu pihak. Ini artinya, perintah memerangi
orang-orang musyrik pada hadits di atas adalah ketika orang-orang musyrik itu
terlebih dahulu memerangi umat Islam.
Prinsip Kebebasan Beragama dalam Islam
Memahami hadits di atas sebagai perintah
untuk memerangi non-Muslim merupakan pemahaman yang tidak benar dan akan
bertentangan dengan sekian ayat Al-Qur’an yang memberikan pilihan kepada
manusia untuk memilih agama sesuai yang diyakininya. Allah ﷻ berfirman: “Dan
katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir)
biarlah ia kafir." (QS. Al-Kahfi: 29), “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki,
tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu
(hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman
semuanya?” (QS. Yuunus: 99), “Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu
hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas
mereka.” (QS. Al-Ghasyiyah: 21-22).
Ayat-ayat ini menjadi bukti yang nyata bahwa
dalam urusan memilih keyakinan, Islam sama sekali tidak pernah memaksa seorang
pun untuk memeluk Islam. Islam sangat menghargai kebebasan memeluk agama sesuai
dengan yang diyakini oleh pemeluk agama itu.
Fakta Sejarah Menunjukkan Nabi Tidak Pernah
Memerangi Atau Membunuh Orang-Orang Musyrik Hanya Karena Kemusrikannya
Sejarah mencatat Rasulullah ﷺ tidak pernah membunuh
seorang musyrik pun hanya karena ia seorang musyrik. Dalam Shahih Bukhari
dikisahkan dari Abu Hurairah RA, beliau berkata: "Rasulullah ﷺ mengirim pasukan
menuju Nejed, lalu mereka menangkap seseorang dari Bani Hanifah, Tsumamah bin
Utsal pemimpin penduduk Yamamah, kemudian mereka mengikatnya pada salah satu
tiang masjid, lalu Rasulullah ﷺ menemuinya dan
bersabda kepadanya: "Apa yang kamu miliki hai Tsumamah?"
Ia menjawab, "Wahai Muhammad, aku
memiliki apa yang lebih baik, jika engkau membunuhnya maka engkau telah
membunuh yang memiliki darah, dan jika engkau memberi maka engkau memberi orang
yang bersyukur, namun jika engkau menginginkan harta maka mintalah niscaya
engkau akan diberi apa saja yang engkau inginkan."
Kemudian Rasulullah ﷺ meninggalkannya,
hingga keesokan harinya beliau bertanya, "Apa yang engkau miliki wahai
Tsumamah?" Ia menjawab, "Seperti yang aku katakan, jika engkau
memberi maka engkau memberi orang yang bersyukur, jika engkau membunuh maka
engkau membunuh yang memiliki darah, jika engkau menginginkan harta maka
mintalah niscaya engkau akan diberi apa yang engkau mau."
Lalu Rasulullah ﷺ meninggalkannya,
hingga keesokan harinya beliau bertanya lagi: "Apa yang engkau miliki
wahai Tsumamah?" Ia menjawab, "Seperti yang aku katakan, jika engkau
memberi maka engkau memberi orang yang bersyukur, jika engkau membunuh maka
engkau membunuh yang memiliki darah, jika engkau menginginkan harta maka
mintalah niscaya engkau akan diberi apa yang engkau mau."
Rasulullah ﷺ kemudian bersabda
kepada sahabatnya; "Bawalah Tsumamah" lalu mereka pun membawanya ke
sebatang pohon kurma di samping masjid, ia pun mandi dan masuk masjid kembali,
kemudian berkata; "Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang patut disembah
melainkan hanya Allah dan bahwasanya Muhammad itu utusan Allah, demi Allah, dahulu
tidak ada wajah di atas bumi ini yang lebih aku benci selain wajahmu, namun
sekarang wajahmu menjadi wajah yang paling aku cintai dari pada yang lain, dan
demi Allah, dahulu tidak ada agama yang lebih aku benci selain dari agamamu,
namun saat ini agamamu menjadi agama yang paling aku cintai di antara yang
lain, demi Allah dahulu tidak ada wilayah yang paling aku benci selain
tempatmu, namun sekarang ia menjadi wilayah yang paling aku cintai di antara
yang lain, sesungguhnya utusanmu telah menangkapku dan aku hendak melaksanakan
umrah, bagaimana pendapatmu?"
Maka Rasulullah ﷺ memberinya kabar
gembira dan memerintahkannya untuk melakukan umrah, ketika ia sampai di Makkah
seseorang berkata kepadanya; "Apakah engkau telah murtad?" Ia
menjawab; "Tidak, tetapi aku telah masuk Islam bersama Muhammad ﷺ, dan demi Allah tidaklah kalian akan mendapatkan gandum dari
Yamamah kecuali mendapatkan izin dari Rasulullah ﷺ." Seandainya Rasulullah diperintahkan untuk membunuh
orang-orang musyrik, niscaya Rasulullah ﷺ sudah membunuh
Tsumamah saat ia pertama kali tertangkap.
Saat perang Badar selesai dan dimenangkan
oleh umat Islam, pihak Muslim mendapatkan banyak tawanan dari orang-orang kafir
Quraisy, sebagian tawanan-tawanan itu adalah para tokoh-tokoh utama Quraisy,
seperti Suhail bin ‘Amr. Terhadap tawanan-tawanan itu Rasulullah berpesan
kepada para sahabatnya agar memperlakukan mereka dengan baik. Rasulullah ﷺ juga meminta tebusan
kepada keluarga tawanan tersebut jika ingin bebas. Jika tawanan itu tidak ada
yang menjamin, maka tebusan agar dapat bebas adalah dengan mengajarkan baca
tulis kepada umat Islam. Jika Nabi ﷺ diperintahkan untuk
membunuh orang musyrik secara umum, maka tentunya Nabi tidak akan memperlakukan
tawanan-tawanan musyrik dengan sebaik itu, bahkan tidak mungkin Nabi ﷺ meminta tebusan untuk
para tawanan itu dengan mengajarkan baca tulis.
Masih banyak lagi bukti-bukti sejarah yang
menunjukkan bahwa Nabi ﷺ tidak pernah
memerangi atau membunuh orang-orang musyrik hanya karena kemusrikannya. Praktik
adanya muamalah atau transaksi jual beli di zaman Nabi ﷺ antara umat Islam
dengan orang-orang musyrik juga menunjukkan bahwa Nabi ﷺ dan umat Islam pada
waktu itu tidak memerangi mereka.
Dalam tinjauan asbbabu wurudil hadits, para
ulama menegaskan bahwa hadits di atas muncul berkaitan dengan orang-orang
musyrik Arab yang saat itu memerangi dakwah Nabi ﷺ. Mereka memusuhi dakwah Nabi ﷺ sejak pertama kali
beliau berdakwah mengajak orang-orang untuk menyembah Allah ﷻ tanpa
menyekutukannya. Orang-orang musyrik Arab ini juga menyiksa kaum Muslimin yang
lemah selama tiga belas tahun lamanya dan memerangi Nabi ﷺ selama sembilan tahun
saat beliau berada di Madinah. Mereka juga melanggar perjanjian damai yang
telah disepakati bersama orang-orang Muslim. Jadi, ketika Nabi ﷺ bersabda: "Aku
diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi; tidak ada Ilah
(Tuhan) kecuali Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah”,
sasaran dari sabda Nabi itu ditujukan untuk orang-orang musyrik Arab yang
memerangi umat Islam, bukan orang-orangmusyrik secara umum. Wallahu A’lam. []
Muhammad Kudhori, Dosen STAI Al-Fithrah
Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar