Kamis, 12 September 2019

(Hikmah of the Day) Belajar Tak Gila Jabatan dari Sahabat Abu Bakar


Belajar Tak Gila Jabatan dari Sahabat Abu Bakar

Kesedihan mendalam menyelimuti umat Islam dan para sahabat saat Nabi Muhammad SAW, kekasih Allah dan Rahmat bagi seluruh alam menghembuskan nafas terakhir. Di balik perdebatan siapa sosok yang tepat untuk menggantikan kepemimpinan Rasulullah, sahabat Abu Bakar As-Shiddiq dan Ali bin Abi Thalib kala itu sibuk mengurus jenazah Rasulullah.

Kecintaan Abu Bakar kepada Rasulullah tak diragukan lagi. Beliau satu-satunya sahabat yang menemani Rasulullah bersembunyi di Gua Tsur saat dalam pengejaran oleh kaum kafir quraisy dan terancam pembunuhan. Ia mencintai Nabi lebih daripada nyawanya sendiri.

Abu Bakar dikenal sebagai sosok sahabat Nabi yang lembut dan sabar. Ia menangis sesenggukan ketika dikabari Nabi bahwa dirinya termasuk manusia yang dijanjikan masuk surga oleh Allah SWT. Saat itulah, ia berjanji untuk terus bersama Rasulullah, apapun yang terjadi.

Rasulullah tidak menunjuk seorang sahabat pun untuk menggantikannya. Namun Rasul mewariskan musyawarah (syura) dalam setiap pengambilan keputusan. Perdebatan siapa sosok yang tepat untuk menjadi kepala negara menggantikan Rasulullah yang sudah wafat terjadi antara sahabat Anshar dan sahabat Muhajirin. Perdebatan mengenai sosok kepala negara tersebut juga terjadi antara suku Khazraj dan suku Aus.

Mengutip Ibnu Jarir Al-Thabari dalam Tarikh al-Umam wa al-Mulk, Khamami Zada (2018) mengungkapkan bahwa setelah Rasulullah wafat, kaum Anshar melakukan musyawarah di Saqifah Bani Saidah untuk membicarakan siapa pengganti Rasulullah sebagai kepala negara.

Dalam musyawarah tersebut, suku Khazraj menunjuk Sa’ad bin Ubadah untuk menjadi khalifah. Tapi suku Aus tidak bersedia menerima pencalonan Sa’ad karena mempertimbangkan pencalonan dari kaum Muhajirin. Suku Khazraj bersikukuh atas pendirian mereka untuk mengangkat khalifah meskipun dari kaum Muhajirin juga akan mempertahankan pendiriannya.

Sekelompok suku Aus ketika itu berkata, “Kalau demikian, kita akan katakan kepada mereka (kaum Muhajirin) bahwa dari kaum Khazraj diangkat seorang ‘amir dan dari mereka pun diangkat seorang ‘amir. Selain itu, kita tidak setuju.”

Menanggapi pendapat tersebut, Sa’ad bin Ubadah menegaskan bahwa sikap demikian merupakan awal dari kelemahan yang akan membawa perpecahan umat Islam itu sendiri. Saat kaum Anshar masih berkumpul di Saqifah Bani Saidah, Abu Ubaidah bin Jarah dan beberapa kaum Muslimin lainnya juga sibuk membicarakan wafatnya Rasulullah SAW.

Di saat Abu Bakar dan Ali sibuk mengurus jenazah Rasulullah, ketika itulah Umar bin Khattab berpikir tentang siapa pengganti Rasul. Umar langsung meminta Abu Ubaidah mengulurkan tangannya untuk dibaiat karena Umar memandang Abu Ubaidah adalah orang yang tepat menjadi khalifah. Tapi, Abu Ubaidah merasa keberatan karena dalam pandangannya, Abu Bakar adalah sosok yang tepat menjadi kepala negara untuk menggantikan Rasulullah.

Terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah melalui pemilihan dan di dalamnya terdapat proses-proses yang terbuka. Keterbukaan tersebut ditunjukkan lewat perdebatan antara kaum Anshar dan Muhajirin. Namun akhirnya secara musyawarah mufakat yang terpilih ialah Abu Bakar As-Shiddiq.

Terkait perdebatan sengit tersebut yang berujung pada pengakuan kesukuan, akhirnya dapat ditengahi oleh Abu Bakar dalam pidatonya yang menyejukkan. Abu Bakar berhasil menyatukan kembali perbedaan dan perdebatan itu. 

Substansi pidatonya diterima oleh seluruh kaum Anshar dan Muhajirin karena kesucian hati Abu Bakar yang tidak ada sedikit pun keinginannya untuk dilantik menjadi kepala negara. []

(Fathoni)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar