Belajar Tak Gila
Jabatan dari Sahabat Abu Bakar
Kesedihan mendalam
menyelimuti umat Islam dan para sahabat saat Nabi Muhammad SAW, kekasih Allah
dan Rahmat bagi seluruh alam menghembuskan nafas terakhir. Di balik perdebatan
siapa sosok yang tepat untuk menggantikan kepemimpinan Rasulullah, sahabat Abu
Bakar As-Shiddiq dan Ali bin Abi Thalib kala itu sibuk mengurus jenazah
Rasulullah.
Kecintaan Abu Bakar
kepada Rasulullah tak diragukan lagi. Beliau satu-satunya sahabat yang menemani
Rasulullah bersembunyi di Gua Tsur saat dalam pengejaran oleh kaum kafir
quraisy dan terancam pembunuhan. Ia mencintai Nabi lebih daripada nyawanya
sendiri.
Abu Bakar dikenal
sebagai sosok sahabat Nabi yang lembut dan sabar. Ia menangis sesenggukan
ketika dikabari Nabi bahwa dirinya termasuk manusia yang dijanjikan masuk surga
oleh Allah SWT. Saat itulah, ia berjanji untuk terus bersama Rasulullah, apapun
yang terjadi.
Rasulullah tidak
menunjuk seorang sahabat pun untuk menggantikannya. Namun Rasul mewariskan
musyawarah (syura) dalam setiap pengambilan keputusan. Perdebatan siapa sosok
yang tepat untuk menjadi kepala negara menggantikan Rasulullah yang sudah wafat
terjadi antara sahabat Anshar dan sahabat Muhajirin. Perdebatan mengenai sosok
kepala negara tersebut juga terjadi antara suku Khazraj dan suku Aus.
Mengutip Ibnu Jarir
Al-Thabari dalam Tarikh al-Umam wa al-Mulk, Khamami Zada (2018) mengungkapkan
bahwa setelah Rasulullah wafat, kaum Anshar melakukan musyawarah di Saqifah
Bani Saidah untuk membicarakan siapa pengganti Rasulullah sebagai kepala
negara.
Dalam musyawarah
tersebut, suku Khazraj menunjuk Sa’ad bin Ubadah untuk menjadi khalifah. Tapi
suku Aus tidak bersedia menerima pencalonan Sa’ad karena mempertimbangkan
pencalonan dari kaum Muhajirin. Suku Khazraj bersikukuh atas pendirian mereka
untuk mengangkat khalifah meskipun dari kaum Muhajirin juga akan mempertahankan
pendiriannya.
Sekelompok suku Aus
ketika itu berkata, “Kalau demikian, kita akan katakan kepada mereka (kaum
Muhajirin) bahwa dari kaum Khazraj diangkat seorang ‘amir dan dari mereka pun
diangkat seorang ‘amir. Selain itu, kita tidak setuju.”
Menanggapi pendapat
tersebut, Sa’ad bin Ubadah menegaskan bahwa sikap demikian merupakan awal dari
kelemahan yang akan membawa perpecahan umat Islam itu sendiri. Saat kaum Anshar
masih berkumpul di Saqifah Bani Saidah, Abu Ubaidah bin Jarah dan beberapa kaum
Muslimin lainnya juga sibuk membicarakan wafatnya Rasulullah SAW.
Di saat Abu Bakar dan
Ali sibuk mengurus jenazah Rasulullah, ketika itulah Umar bin Khattab berpikir
tentang siapa pengganti Rasul. Umar langsung meminta Abu Ubaidah mengulurkan
tangannya untuk dibaiat karena Umar memandang Abu Ubaidah adalah orang yang
tepat menjadi khalifah. Tapi, Abu Ubaidah merasa keberatan karena dalam
pandangannya, Abu Bakar adalah sosok yang tepat menjadi kepala negara untuk
menggantikan Rasulullah.
Terpilihnya Abu Bakar
sebagai khalifah melalui pemilihan dan di dalamnya terdapat proses-proses yang
terbuka. Keterbukaan tersebut ditunjukkan lewat perdebatan antara kaum Anshar
dan Muhajirin. Namun akhirnya secara musyawarah mufakat yang terpilih ialah Abu
Bakar As-Shiddiq.
Terkait perdebatan
sengit tersebut yang berujung pada pengakuan kesukuan, akhirnya dapat ditengahi
oleh Abu Bakar dalam pidatonya yang menyejukkan. Abu Bakar berhasil menyatukan
kembali perbedaan dan perdebatan itu.
Substansi pidatonya
diterima oleh seluruh kaum Anshar dan Muhajirin karena kesucian hati Abu Bakar
yang tidak ada sedikit pun keinginannya untuk dilantik menjadi kepala negara.
[]
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar