Menentukan Waktu Ibadah
Bukan Berarti Bid’ah
Banyak kasus di mana beberapa tradisi yang
berlaku di masyarakat dianggap bid’ah oleh sebagian kalangan sebab di dalamnya
ada unsur ibadah yang diklaim waktunya ditentukan sendiri tanpa ada tuntunan
dari Allah dan Rasulullah ﷺ.
Dalam tradisi Tahlilan dan Yasinan misalnya, ada kegiatan membaca Al-Qur’an dan
dzikir yang waktunya ditentukan dalam hari-hari tertentu setelah kematian seseorang,
demikian juga dalam tradisi peringatan Maulid ada kegiatan membaca shalawat dan
sedekah di momen Maulid, padahal tak ada tuntunan dari Allah dan Rasul untuk
membaca al-Qur’an, shalawat, dan sedekah di hari-hari tersebut. Benarkah
penentuan waktu seperti ini masuk dalam kategori bid’ah?
Bila kita melihat contoh dari masa Rasulullah
dan para sahabatnya, akan kita dapati bahwa Sahabat Bilal telah memperbanyak
shalat sunnah di waktu yang ia tentukan sendiri sesuai kesempatan yang dia
punya. Kesempatan tersebut baginya adalah setiap selesai berwudhu sehingga
secara rutin beliau shalat sunnah setiap kali usai berwudhu. Tindakan sahabat
Bilal dilakukan tanpa adanya tuntunan spesifik dari Rasulullah ﷺ. Padahal, mudah bagi Bilal untuk bertanya dahulu pada Rasul
sebelum melakukannya namun ia memilih untuk berijtihad langsung dari ajaran
Rasul yang sudah ada lalu melakukannya tanpa ada restu dari Rasulullah ﷺ. Ternyata Nabi Muhammad bersabda pada Bilal:
فَإِنِّي
سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الجَنَّةِ
“Sesungguhnya aku mendengar suara kedua
sandalmu di depanku di surga.” (HR. Bukhari)
Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani dalam
Fath al-Bâri menjadikan hadits Bilal tersebut sebagai dalil kebolehan
menentukan waktu khusus untuk ibadah yang memang tak terikat waktu.
وَيُسْتَفَادُ
مِنْهُ جَوَازُ الِاجْتِهَادِ فِي تَوْقِيتِ الْعِبَادَةِ لِأَنَّ بِلَالًا
تَوَصَّلَ إِلَى مَا ذَكَرْنَا بِالِاسْتِنْبَاطِ فَصَوَّبَهُ النَّبِيُّ ﷺ
“Dipahami dari hadits tersebut adanya
kebolehan berijtihad dalam menentukan waktu ibadah karena Bilal sampai pada apa
yang telah kami sebutkan itu dengan ijtihadnya, kemudian Nabi ﷺ membenarkannya.”
(Ibnu Hajar, Fath al-Bâri, Juz III, halaman 34)
Hal yang sama juga dilakukan oleh sahabat
Khubaib bin Adiy. Ia membuat sebuah tradisi baru yang tak pernah diajarkan oleh
Rasulullah ﷺ berupa shalat sunnah
mutlak dua rakaat sebagai permintaan terakhir sebelum dibunuh. Dalam Shahih
Bukhari diceritakan:
فَكَانَ
أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الرَّكْعَتَيْنِ عِنْدَ القَتْلِ.
“Dia (Khubaib bin Adiy) adalah orang pertama
yang mentradisikan salat sunnah sebelum dihukum mati.” (HR. Bukhari)
Khubaib saat itu tak pernah bertanya kepada
Rasulullah apakah boleh shalat sunnah sebelum dihukum mati? Para Sahabat juga,
sepengetahuan penulis, juga tak tercatat menanyakan pada Rasulullah bagaimana
hukumnya meniru tindakan Khubaib itu yang hingga wafat tak sempat mengonfirmasi
tindakannya pada Rasulullah sebagaimana dilakukan Bilal itu. Namun tindakan
yang jelas-jelas baik dan tak bertentangan dengan syariat itu begitu saja
mentradisi setelah itu tanpa pernah Nabi menyebutnya sebagai bid’ah.
Penentuan waktu ibadah seperti yang dilakukan
oleh Bilal atau Khubaib di atas bukanlah bid'ah, terbukti Nabi kemudian
mengakuinya sebagai kebaikan meskipun jelas itu inovasi dalam hal agama. Andai
penentuan waktu bagi ibadah yang waktunya memang bebas itu dianggap bid’ah,
tentu Nabi akan melarangnya sebab seluruh bid’ah adalah terlarang. Di sini harus
dipahami bahwa istilah bid’ah sendiri dalam istilah Syariat hanya khusus bagi
segala hal baru yang buruk dalam arti melawan aturan syariat yang telah ada
sebelumnya. Imam az-Zarkasyi, dengan menukil pernyataan Syekh Ibnu Durustawaih,
menjelaskan maksud istilah bid’ah sebagai berikut:
هِيَ
فِي اللُّغَةِ إحْدَاثُ سُنَّةٍ لَمْ تَكُنْ، وَتَكُونُ فِي الْخَيْرِ
وَالشَّرِّ... فَأَمَّا فِي الشَّرْعِ فَمَوْضُوعَةٌ لِلْحَادِثِ الْمَذْمُومِ،
وَإِذَا أُرِيدَ الْمَمْدُوحُ قُيِّدَتْ، وَيَكُونُ ذَلِكَ مَجَازًا شَرْعِيًّا
حَقِيقَةً لُغَوِيَّةً.
“Bid’ah dalam perspektif kebahasaan adalah
melakukan sesuatu yang tak ada sebelumnya, baik berupa kebaikan atau keburukan
... Adapun dalam perspektif syariat, maka dipakai sebagai istilah bagi hal baru
yang tercela. Bila dimaksudkan adalah hal baru yang terpuji, maka harus diberi
batasan (embel-embel semisal hasanah). Istilah bid’ah dengan batasan ini adalah
secara syariat adalah ungkapan majazi (konotatif) dan secara kebahasaan adalah
ungkapan hakiki (denotatif).” (Badruddin az-Zarkasyi, al-Mantsûr Fî al-Qawâ’id
al-Fiqhiyah, juz I, halaman 217).
Jadi, menentukan waktu khusus bagi ibadah
yang memang dibebaskan oleh syariat untuk dilakukan kapan pun, seperti shalat
sunnah mutlak, membaca Al-Qur’an, sedekah dan lain sebagainya bukanlah hal yang
dilarang oleh syariat, justru hal seperti ini diakui oleh Rasulullah ﷺ. Hal semacam ini secara syariat tidak boleh disebut bid’ah.
Kalau pun mau dianggap bid’ah sebab secara kebahasaan memang hal baru, maka
harus diberi embel-embel seperti bid’ah hasanah, bid’ah mamdûhah atau bid’ah
mustahabbah. Istilah bid’ah dengan embel-embel seperti ini adalah istilah
kebahasaan, bukan istilah syariat.
Yang dianggap salah dan tercela adalah
apabila suatu ibadah telah mempunyai waktu khusus dari Syariat, misalnya shalat
wajib lima waktu, zakat fitrah, haji, dan sebagainya dipindah waktunya ke luar
dari waktu yang ditentukan, atau ibadah tersebut sebenarnya luas waktunya
tetapi sengaja dilakukan di waktu yang memang terlarang seperti shalat sunnah
mutlak tanpa sebab dilakukan setelah subuh sebelum matahari meninggi. Penentuan
waktu yang melanggar syariat inilah yang masuk kategori bid’ah dalam kacamata
syariat. Imam Mutawalli, mencontohkan kasus “bid’ah” dalam perspektif
kebahasaan yang tidak cocok dengan syariat dengan ungkapan: بِأَنْ يَتَعَبَّدَ فِي وَقْتِ الْكَرَاهَةِ (dengan cara dilakukan ibadah di
waktu yang tidak disukai oleh syariat). (Badruddin az-Zarkasyi, al-Mantsûr Fî
al-Qawâ’id al-Fiqhiyah, juz I, halaman 217).
Bila seseorang hendak melarang kegiatan
membaca surat Yasin, shalawat atau dzikir tertentu di saat kematian seseorang,
di saat bulan Rabiul Awwal dalam rangka Maulid Nabi, di saat tasyakuran atau
waktu-waktu lain sesuai tradisi masyarakat, maka dia dituntut untuk
mendatangkan dalil dari Al-Qur’an dan hadits yang menyatakan bahwa melakukan
ibadah-ibadah di atas memang dillarang di waktu-waktu tersebut. Bila dia tak
mampu melakukannya, maka tanpa sadar dia telah membuat-buat syariat baru alias
melakukan bid’ah yang tercela. Wallahu a'lam. []
Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember
dan Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jatim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar