Hukum Mengambil Barang Toko
saat Darurat Bencana
Gempa Palu yang berujung gelombang tsunami
telah memporak-porandakan Palu, Donggala dan Sigi, salah satu kabupaten di
Pulau Sulawesi. Banyak fasilitas transportasi publik menjadi rusak sehingga
mengakibatkan sulitnya wilayah diakses oleh bantuan. Sementara gempa dan
tsunami terjadi pada waktu sore hari, saat Maghrib. Akibatnya, praktis banyak
harta benda yang tidak bisa diselamatkan oleh warga, bahkan untuk sekedar air
minum. Akibatnya, praktis semalaman para korban yang selamat tidak mendapatkan
suplai makanan dan minuman dari dermawan.
Pagi hari saat matahari terbit, para
pengungsi masih belum mendapatkan suplai bantuan makanan, minuman, dan
obat-obatan. Setelah semalaman menahan lapar, melihat kondisi bangunan rumah
yang sudah tidak bisa ditempati lagi, dan tidak ada persediaan barang lain yang
bisa diambil, akhirnya mulai timbul masalah baru yaitu upaya mempertahankan
diri dari kelaparan tersebut. Yang terlihat dan tersedia di depan mata hanyalah
puing-puing reruntuhan bangunan, termasuk bekas minimarket yang di dalamnya
tentu tersedia sejumlah barang kebutuhan pokok. Bolehkah bagi korban bencana
ini mengambil barang yang ada di balik reruntuhan tersebut dalam rangka
mempertahankan hidup?
Sejumlah informasi simpang siur beredar di
media sosial. Ada yang membolehkan dan ada yang tidak. Bahkan, salah satu ulama
kenamaan dengan tajam menyerang pemerintah yang terakhir tersebar informasi
bahwa pemerintah memperbolehkan masyarakat korban bencana mengambil barang
minimarket dan pemerintah yang akan menjamin pembayarannya. Mendengar informasi
ini, dengan tanpa mengecek kebenaran dan tidaknya, akhirnya sejumlah warga
korban bencana bergerak menuju puing-puing reruntuhan minimarket dan menjarah
barang yang ada untuk keperluan mempertahankan hidup.
Apa yang dilakukan oleh masyarakat ini tidak
bisa serta merta disalahkan, seiring upaya mempertahankan diri. Seandainya
informasi jaminan bahwa pemerintah yang akan mengganti rugi barang yang diambil
masyarakat, adalah benar adanya, maka dalam hal ini keputusan hukum secara
fiqih penjarahan minimarket oleh masyarakat adalah boleh tanpa adanya khilaf,
karena pemerintah adalah ibarat wali anak yatim bagi rakyatnya. Dalam sebuah
hadits disebutkan bahwa:
السلطان
ولي من لاولي له رواه أبو داود
Artinya: “Sulthan (negara) adalah wali
bagi orang yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Dawud)
Hadits ini merupakan hadits masyhur yang
sering dijadikan dasar wali nikah bagi perempuan yatim, atau perempuan yang
sama sekali tidak memiliki wali. Inilah sebabnya Al-Mawardi menyebut bahwa
sulthan terhadap rakyatnya adalah menempati manzilah wali bagi anak
yatim.
Tugas sebagai wali adalah melakukan tasharruf
(pengelolaan) untuk kemaslahatan harta pihak yang diwaliinya.
أنه
إذا عدم الولي المناسب والمولى المعتق، كان إمام المسلمين ولياً للمرأة في النكاح؛
لأنه منوط به القيام بمصالح المسلمين، وتعارف المسلمون على أن نوابه بمثابته، فإن
كان السلطان فاسقاً والقاضي عدلاً كان القاضي أولى بالتزويج، وإن كان العكس
فالعكس، وإن كانا عدلين فالسلطان أولى. والله أعلم
Artinya: “Apabila tidak ada wali yang sesuai,
dan sayid yang memerdekakan budak, maka pemimpin kaum muslimin merupakan pihak
yang bertindak selaku wali bagi perempuan yang hendak nikah, karena status
pemimpin adalah menerima mandat melaksanakan kebijakan untuk kemaslahatan umat.
Umat Islam biasa menganggap bahwa wakil sulthan memiliki mandat yang sama
dengan sulthan. Jika seorang sulthan merupakan seorang yang fasiq, sementara
hakim wilayah adalah seorang yang adil, maka hakim lebih utama untuk dijadikan
wali yang menikahkan. Namun, jika kondisinya adalah kebalikannya, maka berlaku
hukum kebalikannya pula. Jika kedua-duanya seorang yang adil, maka sulthan
adalah yang paling utama.” (Izzuddin bin Abdu al-Salam, Al-Fatawi
al-Mishriyah, Beirut: Daru al-Fikr, tt.: 122)
Berdasarkan keterangan di atas, mandat dari
seorang pemimpin adalah mengupayakan kemaslahatan masyarakatnya. Dalam kondisi
dlarurat, seorang wali yatim boleh mengambil harta yatim yang diwaliinya untuk
keperluan nafkah, atau untuk kemaslahatan yang lain yang ditimbang perlu
diambil kebijakannya, namun dengan catatan bahwa apa yang diambil tersebut
adalah “hutang yang harus dibayar kembali” oleh wali kepada pihak yang
memiliki. Kecuali harta tersebut diperuntukkan untuk nafkah atau sekedar ujrah
dari menjalankan harta si yatim. Pada kasus terakhir, pihak wali tidak memiliki
kewajiban untuk mengembalikannya sebagai hutang. Yang mutlak dan penting untuk
diperhatikan adalah pertimbangan kadar dlarurat. Tentu dalam hal ini banyak hal
yang menjadi bahan pertimbangan.
Dalam kasus bencana, dengan menimbang bahwa
manzilah pemimpin adalah diumpamakan wali anak yatim, maka ia diperkenankan
untuk memerintahkan tasharuf harta orang yang dipimpinnya secara jabr
(paksa) dalam kondisi darurat. Namun, poin pentingnya adalah dengan tetap memberikan
jaminan sebagai hutang yang harus dibayar.
Bagaimana apabila tidak ada pemimpin yang
menjamin pengambilan barang? Bolehkah masyarakat mengambil barang dari lokasi
bencana atas nama dlarurat mempertahankan hidup?
Bagaimanapun juga, hukum asal penjarahan
adalah haram. Pengambilan barang yang asalnya haram menjadi boleh dilakukan
manakala kondisinya adalah dlarurat. Ukuran batas disebut dlarurat adalah
sebatas mempertahankan hidup dirinya dan orang yang wajib dinafkahinya. Adapun
bila mengambil perkara haram tersebut dengan niat berlebih-lebihan, atau
menumpuk harta, maka hukumnya adalah haram dan disamakan dengan pencurian.
Allah SWT berfirman di dalam QS. Al-Baqarah: 173:
إنما
حرم عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وماأهل به لغير الله فمن اضطر غير باغ ولاعاد
فلا إثم عليه إن الله غفور رحيم
Artinya: “Sesungguhnya diharamkan atas kalian
memakan bangkai, darah dan daging babi, serta hewan yang disembelih untuk
selain Allah. Barang siapa terpaksa memakannya tanpa niat membangkang atau
berlebih-lebihan, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah SWT Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 173)
Menjarah gudang/tempat penyimpanan harta
dalam fiqih disamakan dengan hukum saraqah (pencurian) dan disamakan dengan
quthā’u al-thariq, yaitu ahli begal jalan/perampokan bila disertai
dengan pembunuhan atau penghilangan nyawa. Jika dalam kondisi bencana, apakah
juga termasuk bagian yang harus dikenai pidana penjarahan?
Dalam situasi bencana besar sehingga
fasilitas umum rusak berat dan hampir seluruh tempat tinggal atau pemukiman
penduduk rusak berat sehingga tersisa puing-puing, ada beberapa kondisi barang
yang bisa ditemui di lokasi bencana, antara lain:
1. Barang yang tertimbun reruntuhan dan masih
bisa dikenali batas-batas tanahnya. Hukum barang yang tertimbun reruntuhan bisa
dibedakan menjadi dua, yaitu:
- Barang yang tidak mungkin dibiarkan dalam
jangka waktu lama. Misalnya terdiri atas makanan basah dan cepat basi/cepat
berubah. Hukumnya disamakan dengan barang luqathah (barang temuan) yang
terdiri atas barang mudah rusak. Orang yang menemukan wajib mengambilnya untuk
menghindari mubadzir. Menjaga agar barang tidak mubadzir ini hukumnya adalah
wajib, dan justru berdosa jika membiarkannya terbengkalai karena termasuk
tindakan tadlyi’ul amwal (menyia-nyiakan harta). Bagi orang yang
mengambil tetap memiliki kewajiban mengembalikan apabila pemilik barang
mencarinya.
- Barang yang bisa dipertahankan dalam jangka
waktu sedang atau lama, seperti beras atau bahan-bahan semacam elektronik.
Hukum mengambilnya adalah tidak boleh dan dilarang / haram. Hukum pengambilan
barang adalah disamakan dengan kasus pencurian atau penjarahan.
2. Barang yang tercecer dan tidak diketahui
pemiliknya serta tidak dikenali batas-batasnya. Dalam kondisi banjir atau
perkampungan terkena wabah Tsunami, banyak barang yang berpindah tempat dari
lokasi tempat penyimpanannya. Jika barang itu terdiri atas barang yang mudah
rusak, seperti makanan atau bahan makanan, maka masyarakat yang menemukan wajib
mengambilnya sekira barang itu masih bisa dipergunakan. Hukum mengambil barang
tersebut disamakan dengan barang luqathah (temuan).
3. Barang yang tercecer dan dapat dikenali
oleh pemiliknya. Untuk barang yang masih bisa dikenali pemiliknya, maka sepenuhnya
masih menjadi hak pemilik. Orang yang menemukan barang seperti ini, maka boleh
menyimpan barang tersebut dan mengumumkannya. Bila setelah mencapai satu tahun,
tidak ada pemilik yang mengakui kepemilikannya, maka barang tersebut boleh
dikuasainya.
Bagaimana hukum mengambil barang di gudang
saat bencana dengan jenis yang tidak memberi efek mempertahankan hidup?
Sebagaimana yang sudah disebutkan di awal,
bahwa pada dasarnya hukum kebolehan mengambil sesuatu yang haram adalah karena
darurat untuk mempertahankan hidup. Dengan demikian, perihal yang dibolehkan
untuk diambil atas seizin pemerintah dan menjadi tanggung jawab pemerintah
adalah barang-barang yang sifatnya berguna untuk mempertahankan hidup dan
memberi kekuatan tubuh. Adapun untuk barang yang tidak bisa secara langsung
bisa dipergunakan untuk mempertahankan hidup, seperti ban, kulkas, dan
barang-barang lain yang sejenis, maka hukumnya adalah haram mengambilnya dan
Imam bisa memberikan ta’zir (sangsi hukuman) kepada pelakunya. Wallāhu
a’lam bish shawab. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar