Senin, 16 September 2019

(Ngaji of the Day) Hukum Mengambil Barang Toko saat Darurat Bencana


Hukum Mengambil Barang Toko saat Darurat Bencana

Gempa Palu yang berujung gelombang tsunami telah memporak-porandakan Palu, Donggala dan Sigi, salah satu kabupaten di Pulau Sulawesi. Banyak fasilitas transportasi publik menjadi rusak sehingga mengakibatkan sulitnya wilayah diakses oleh bantuan. Sementara gempa dan tsunami terjadi pada waktu sore hari, saat Maghrib. Akibatnya, praktis banyak harta benda yang tidak bisa diselamatkan oleh warga, bahkan untuk sekedar air minum. Akibatnya, praktis semalaman para korban yang selamat tidak mendapatkan suplai makanan dan minuman dari dermawan. 

Pagi hari saat matahari terbit, para pengungsi masih belum mendapatkan suplai bantuan makanan, minuman, dan obat-obatan. Setelah semalaman menahan lapar, melihat kondisi bangunan rumah yang sudah tidak bisa ditempati lagi, dan tidak ada persediaan barang lain yang bisa diambil, akhirnya mulai timbul masalah baru yaitu upaya mempertahankan diri dari kelaparan tersebut. Yang terlihat dan tersedia di depan mata hanyalah puing-puing reruntuhan bangunan, termasuk bekas minimarket yang di dalamnya tentu tersedia sejumlah barang kebutuhan pokok. Bolehkah bagi korban bencana ini mengambil barang yang ada di balik reruntuhan tersebut dalam rangka mempertahankan hidup? 

Sejumlah informasi simpang siur beredar di media sosial. Ada yang membolehkan dan ada yang tidak. Bahkan, salah satu ulama kenamaan dengan tajam menyerang pemerintah yang terakhir tersebar informasi bahwa pemerintah memperbolehkan masyarakat korban bencana mengambil barang minimarket dan pemerintah yang akan menjamin pembayarannya. Mendengar informasi ini, dengan tanpa mengecek kebenaran dan tidaknya, akhirnya sejumlah warga korban bencana bergerak menuju puing-puing reruntuhan minimarket dan menjarah barang yang ada untuk keperluan mempertahankan hidup. 

Apa yang dilakukan oleh masyarakat ini tidak bisa serta merta disalahkan, seiring upaya mempertahankan diri. Seandainya informasi jaminan bahwa pemerintah yang akan mengganti rugi barang yang diambil masyarakat, adalah benar adanya, maka dalam hal ini keputusan hukum secara fiqih penjarahan minimarket oleh masyarakat adalah boleh tanpa adanya khilaf, karena pemerintah adalah ibarat wali anak yatim bagi rakyatnya. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa:

السلطان ولي من لاولي له رواه أبو داود

Artinya: “Sulthan (negara) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Dawud)

Hadits ini merupakan hadits masyhur yang sering dijadikan dasar wali nikah bagi perempuan yatim, atau perempuan yang sama sekali tidak memiliki wali. Inilah sebabnya Al-Mawardi menyebut bahwa sulthan terhadap rakyatnya adalah menempati manzilah wali bagi anak yatim. 

Tugas sebagai wali adalah melakukan tasharruf (pengelolaan) untuk kemaslahatan harta pihak yang diwaliinya. 

أنه إذا عدم الولي المناسب والمولى المعتق، كان إمام المسلمين ولياً للمرأة في النكاح؛ لأنه منوط به القيام بمصالح المسلمين، وتعارف المسلمون على أن نوابه بمثابته، فإن كان السلطان فاسقاً والقاضي عدلاً كان القاضي أولى بالتزويج، وإن كان العكس فالعكس، وإن كانا عدلين فالسلطان أولى. والله أعلم

Artinya: “Apabila tidak ada wali yang sesuai, dan sayid yang memerdekakan budak, maka pemimpin kaum muslimin merupakan pihak yang bertindak selaku wali bagi perempuan yang hendak nikah, karena status pemimpin adalah menerima mandat melaksanakan kebijakan untuk kemaslahatan umat. Umat Islam biasa menganggap bahwa wakil sulthan memiliki mandat yang sama dengan sulthan. Jika seorang sulthan merupakan seorang yang fasiq, sementara hakim wilayah adalah seorang yang adil, maka hakim lebih utama untuk dijadikan wali yang menikahkan. Namun, jika kondisinya adalah kebalikannya, maka berlaku hukum kebalikannya pula. Jika kedua-duanya seorang yang adil, maka sulthan adalah yang paling utama.” (Izzuddin bin Abdu al-Salam, Al-Fatawi al-Mishriyah, Beirut: Daru al-Fikr, tt.: 122)

Berdasarkan keterangan di atas, mandat dari seorang pemimpin adalah mengupayakan kemaslahatan masyarakatnya. Dalam kondisi dlarurat, seorang wali yatim boleh mengambil harta yatim yang diwaliinya untuk keperluan nafkah, atau untuk kemaslahatan yang lain yang ditimbang perlu diambil kebijakannya, namun dengan catatan bahwa apa yang diambil tersebut adalah “hutang yang harus dibayar kembali” oleh wali kepada pihak yang memiliki. Kecuali harta tersebut diperuntukkan untuk nafkah atau sekedar ujrah dari menjalankan harta si yatim. Pada kasus terakhir, pihak wali tidak memiliki kewajiban untuk mengembalikannya sebagai hutang. Yang mutlak dan penting untuk diperhatikan adalah pertimbangan kadar dlarurat. Tentu dalam hal ini banyak hal yang menjadi bahan pertimbangan. 

Dalam kasus bencana, dengan menimbang bahwa manzilah pemimpin adalah diumpamakan wali anak yatim, maka ia diperkenankan untuk memerintahkan tasharuf harta orang yang dipimpinnya secara jabr (paksa) dalam kondisi darurat. Namun, poin pentingnya adalah dengan tetap memberikan jaminan sebagai hutang yang harus dibayar. 

Bagaimana apabila tidak ada pemimpin yang menjamin pengambilan barang? Bolehkah masyarakat mengambil barang dari lokasi bencana atas nama dlarurat mempertahankan hidup?

Bagaimanapun juga, hukum asal penjarahan adalah haram. Pengambilan barang yang asalnya haram menjadi boleh dilakukan manakala kondisinya adalah dlarurat. Ukuran batas disebut dlarurat adalah sebatas mempertahankan hidup dirinya dan orang yang wajib dinafkahinya. Adapun bila mengambil perkara haram tersebut dengan niat berlebih-lebihan, atau menumpuk harta, maka hukumnya adalah haram dan disamakan dengan pencurian. Allah SWT berfirman di dalam QS. Al-Baqarah: 173:

إنما حرم عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وماأهل به لغير الله فمن اضطر غير باغ ولاعاد فلا إثم عليه إن الله غفور رحيم

Artinya: “Sesungguhnya diharamkan atas kalian memakan bangkai, darah dan daging babi, serta hewan yang disembelih untuk selain Allah. Barang siapa terpaksa memakannya tanpa niat membangkang atau berlebih-lebihan, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah SWT Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 173)

Menjarah gudang/tempat penyimpanan harta dalam fiqih disamakan dengan hukum saraqah (pencurian) dan disamakan dengan quthā’u al-thariq, yaitu ahli begal jalan/perampokan bila disertai dengan pembunuhan atau penghilangan nyawa. Jika dalam kondisi bencana, apakah juga termasuk bagian yang harus dikenai pidana penjarahan?

Dalam situasi bencana besar sehingga fasilitas umum rusak berat dan hampir seluruh tempat tinggal atau pemukiman penduduk rusak berat sehingga tersisa puing-puing, ada beberapa kondisi barang yang bisa ditemui di lokasi bencana, antara lain:

1. Barang yang tertimbun reruntuhan dan masih bisa dikenali batas-batas tanahnya. Hukum barang yang tertimbun reruntuhan bisa dibedakan menjadi dua, yaitu:

- Barang yang tidak mungkin dibiarkan dalam jangka waktu lama. Misalnya terdiri atas makanan basah dan cepat basi/cepat berubah. Hukumnya disamakan dengan barang luqathah (barang temuan) yang terdiri atas barang mudah rusak. Orang yang menemukan wajib mengambilnya untuk menghindari mubadzir. Menjaga agar barang tidak mubadzir ini hukumnya adalah wajib, dan justru berdosa jika membiarkannya terbengkalai karena termasuk tindakan tadlyi’ul amwal (menyia-nyiakan harta). Bagi orang yang mengambil tetap memiliki kewajiban mengembalikan apabila pemilik barang mencarinya.

- Barang yang bisa dipertahankan dalam jangka waktu sedang atau lama, seperti beras atau bahan-bahan semacam elektronik. Hukum mengambilnya adalah tidak boleh dan dilarang / haram. Hukum pengambilan barang adalah disamakan dengan kasus pencurian atau penjarahan.

2. Barang yang tercecer dan tidak diketahui pemiliknya serta tidak dikenali batas-batasnya. Dalam kondisi banjir atau perkampungan terkena wabah Tsunami, banyak barang yang berpindah tempat dari lokasi tempat penyimpanannya. Jika barang itu terdiri atas barang yang mudah rusak, seperti makanan atau bahan makanan, maka masyarakat yang menemukan wajib mengambilnya sekira barang itu masih bisa dipergunakan. Hukum mengambil barang tersebut disamakan dengan barang luqathah (temuan). 

3. Barang yang tercecer dan dapat dikenali oleh pemiliknya. Untuk barang yang masih bisa dikenali pemiliknya, maka sepenuhnya masih menjadi hak pemilik. Orang yang menemukan barang seperti ini, maka boleh menyimpan barang tersebut dan mengumumkannya. Bila setelah mencapai satu tahun, tidak ada pemilik yang mengakui kepemilikannya, maka barang tersebut boleh dikuasainya. 

Bagaimana hukum mengambil barang di gudang saat bencana dengan jenis yang tidak memberi efek mempertahankan hidup?

Sebagaimana yang sudah disebutkan di awal, bahwa pada dasarnya hukum kebolehan mengambil sesuatu yang haram adalah karena darurat untuk mempertahankan hidup. Dengan demikian, perihal yang dibolehkan untuk diambil atas seizin pemerintah dan menjadi tanggung jawab pemerintah adalah barang-barang yang sifatnya berguna untuk mempertahankan hidup dan memberi kekuatan tubuh. Adapun untuk barang yang tidak bisa secara langsung bisa dipergunakan untuk mempertahankan hidup, seperti ban, kulkas, dan barang-barang lain yang sejenis, maka hukumnya adalah haram mengambilnya dan Imam bisa memberikan ta’zir (sangsi hukuman) kepada pelakunya. Wallāhu a’lam bish shawab. []

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar