Senin, 16 September 2019

Tujuh Tahun Jelang Wafat, KH Wahid Hasyim Berpuasa Tanpa Putus


PAHLAWAN NASIONAL NU
Tujuh Tahun Jelang Wafat, KH Wahid Hasyim Berpuasa Tanpa Putus

Umur 21 tahun mampu melakukan pembaruan pola pendidikan di pesantren yaitu memperkuat ilmu agama dengan tidak menafikan ilmu-ilmu umum. Umur 26 tahun diangkat menjadi Ketua MIAI. Umur 30 tahun menginisiasi pembentukan Laskar Hizbullah. Umur 34 tahun menjadi Ketua PBNU, dan umur 35 hingga 38 tahun sudah menjabat Menteri Agama RI.

Itulah sosok fenomenal terkait kiprah KH Abdul Wahid Hasyim (1914-1953). Pengabdian, perjuangan, dan jasa-jasanya tidak hanya berhenti pada jabatan-jabatan mentereng pada usia masih relatif muda, tetapi diwujudkan dengan pergerakan nyata. Dalam setiap perjuangannya, ayah KH Abdurrahman Wahid itu tidak mau terlepas dari petuah dari guru-gurunya, di antaranya ayahnya sendiri KH Hasyim Asy’ari.

Sebagai seorang ulama muda, Kiai Wahid Hasyim tidak lepas dari tirakat dan riyadhah dengan cara berpuasa. Bahkan, tujuh tahun menjelang embusan napas terakhirnya pada 1953, Kiai Wahid berpuasa tanpa putus. (Munawi Aziz, Pahlawan Santri: Tulang Punggung Pergerakan Nasional, 2016).

Riyadhah lazim dilakukan oleh para kiai. Apalagi dalam kondisi bangsa Indonesia masih terjajah. Bagi para ulama, perjuangan tidak cukup hanya ikhtiar fisik, tetapi juga upaya batin agar setiap pikiran dan sikap dalam upaya pergerakan nasional mendapat petunjuk dan tuntunan dari Allah Yang Maha Kuasa. Bahkan, kekuatan dan kekebalan fisik kerap didapatkan oleh para pejuang melalui karomah para kiai, misal penyepuhan bambu runcing oleh Kiai Subchi Parakan.

Ikhtiar batin yang dilakukan oleh Kiai Wahid Hasyim menunjukkan spiritualitasnya yang kokoh. Tidak hanya perjuangan demi perjuangan melawan penjajah, sejumlah tanggung jawab melalui beberap jabatan yang diembannya juga memerlukan pikiran dan pandangan batin yang jernih. Sehingga berpuasa merupakan salah satu upayanya untuk menajamkan nalar dan naluri.

Diriwayatkan oleh KH Saifuddin Zuhri (Berangkat dari Pesantren, LKiS, 2013), pernah suatu ketika, obrolan terjadi di pusat latihan Hizbullah di Cibarusa itu dikelola oleh Markas Tertinggi Hizbullah yang dipimpin oleh KH Zainul Arifin. Sebagai sebuah strategi perang, latihan ini perlu dilakukan oleh sebanyak-banyaknya pemuda. Namun, disayangkan latihan Hizbullah ini diselenggarakan secara minim sekali.

Kondisi ini menjadi perhatian serius KH Wahid Hasyim sebagai penanggung jawab politik dalam Laskar Hizbullah. “Kita dikejar waktu. Nippon sebenarnya mencurigai tujuan Hizbullah. Yang menyetujui Hizbullah kan Cuma kita,” ucap Kiai Wahid mengemukakan kegelisahannya.

Tetapi, ayah dari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini tidak mau ketinggalan kereta. Walau bagaimana pun, perjuangan kemerdekaan harus dipersiapkan, baik kekuatan militernya, di samping kekuatan politiknya. Kekuatan politik yang dimaksud ialah politik kenegaraan yang berkepentingan memerdekakan Indonesia dari kungkungan penjajah. Langkah ini membutuhkan ongkos yang tidak sedikit.

Kegundahan Kiai Wahid tersebut mendapat siraman petunjuk dari KH Abdul Wahab Chasbullah. Kiai Wahab menilai, para kiai dan pemimpin laskar jangan hanya melihat dari ukuran lahir. Karena menurutnya, belum tentu jika disediakan biaya besar akan berdampak pada hasil yang maksimal. Artinya, pandangan dan langkah jernih Kiai Wahid Hasyim juga didapatkan melalui kemuliaan orang-orang di sekitarnya.

Kisah dari Parakan Temanggung, suatu ketika KH Wahid Hasyim, KH Masjkur, dan KH Zainul Arifin yang memimpin barisan tentara santri dianter oleh KH Saifuddin Zuhri menemui KH Subchi di Parakan. Namun, kiai sepuh ini kemudian menangis di hadapan Kiai Wahid Hasyim. Karena terlampau  banyak laskar yang datang kepadanya.

“Mengapa semua ini datang kepada saya? Kok tidak datang ke kiai lain?” tutur Kiai Subchi dengan suara lirihnya kepada Kiai Wahid Hasyim, dan kawan-kawan kiai lain sambil menangis.

Menangisnya Kiai Subchi ditangkap Kiai Wahid Hasyim sebagai keharuan melihat semangat para pejuang untuk menyandarkan diri pada kekuatan Allah dalam berjihad melawan penjajah. Namun, Kiai Wahid juga melihat dari sisi berbeda sehingga ia perlu kembali membangkitkan semangat Kiai Subchi.

Hal itu dilakukan Kiai Wahid Hasyim agar Kiai Subchi tidak merasa keberatan untuk memberikan gemblengan lahir dan batin kepada ribuan laskar yang datang ke Parakan meminta doa.

Namun, melihat ribuan laskar yang bambu runcingnya harus disepuh satu per satu membuat Kiai Saifuddin Zuhri tergerak agar Kiai Subchi beristirahat terlebih dahulu. Akhirnya, Kiai Bambu Runcing itu bisa beristirahat karena adiknya, Kiai Nawawi, Kiai Mandur serta cucunya Kiai Ali bersedia menggantikan tugas Kiai Subchi. (Guruku Orang-orang dari Pesantren, LKiS, 2001) 

Sedangkan Kiai Subchi sesekali menampakkan diri jika memang sangat diperlukan. Doa yang diucapkan oleh Kiai Subchi untuk menyepuh ribuan bambu runcing adalah sebagai berikut (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010: 132):

Bismillahi
Ya hafidhu, Allahu Akbar

Dengan nama Allah 
Ya Tuhan Maha Pelindung
Allah Maha Besar

Ratusan bahkan ribuan tentara sabil, baik Hizbullah dan Sabilillah juga Tentara Keamanan Rakyat selalu membanjiri rumah Kiai Subchi untuk menyepuh bambu runcingnya dengan doa. Bahkan untuk keperluan menyemayamkan kekuatan spiritual ini, Jenderal Soedirman dan anak buahnya juga berkunjung ke rumah Kiai Subchi.

Perumus Dasar Negara

Peran yang diungkapkan di sini tentu saja hanya sekelumit dari pergerakan nasional yang dilakukan oleh Kiai Wahid Hasyim. Pasca Proklamasi Kemerdekaan, Kiai Wahid Hasyim bersama Soekarno, Muh. Hatta, A.A. Maramis, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim, Ahmad Subardjo, dan Muh. Yamin masuk ke dalam Tim Sembilan perumus dasar negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945.

Tokoh ulama yang berperan menegaskan konsep Ketuhanan yang akomodatif itu adalah KH Wahid Hasyim. Menurut Kiai Wahid saat itu, “Ketuhanan Yang Esa” merupakan konsep tauhid dalam Islam. Sehingga tidak ada alasan bagi umat Islam untuk menolak konsep tersebut dalam Pancasila.

Artinya, dengan konsep tersebut, umat Islam mempunyai hak menjalankan keyakinan agamanya tanpa mendiskriminasi keyakinan agama lain. Di titik inilah, menjalankan Pancasila sama artinya mempraktikan Syariat Islam dalam konsep hidup berbangsa dan bernegara. Sehingga tidak ada sikap intoleransi kehidupan berbangsa atas nama suku, agama, dan lain-lain.

Peran Kiai Wahid Hasyim bukan hanya mampu menjabarkan Pancasila secara teologis dan filosofis terhadap rumusan awal yang diajukan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945, tetapi juga menegaskan bahwa umat Islam Indonesia sebagai mayoritas menunjukkan sikap inklusivitasnya terhadap seluruh bangsa Indonesia yang majemuk sehingga Pancasila merupakan dasar negara yang merepresentasikan seluruh bangsa Indonesia. 

Sejarawan NU Abdul Mun’im DZ (2016) mengatakan, tidak bisa dipungkiri bahwa dalam menjabarkan Pancasila, Kiai Wahid berangkat dari tradisi dan keilmuan pesantren, sehingga bisa dikatakan bahwa Pancasila merupakan kristalisasi ajaran Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). Di titik inilah menurut Mun’im, NU dan seluruh bangsa Indonesia bukan hanya wajib mengamalkan, tetapi juga wajib mengamankan Pancasila.

Peran Kiai Wahid Hasyim dalam mengembangkan ilmu agama di tingkat pendidikan tinggi juga tidak kalah pentingnya. Tahun 1944 ia mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta (cikal bakal UIN, IAIN) yang pengasuhannya ditangani oleh KH A. Kahar Muzakkir.

Saat pendudukan Jepang yaitu tepatnya pada tanggal 24 Oktober 1943 ia ditunjuk menjadi Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) menggantikan MIAI. Saat memimpin Masyumi itulah ia merintis pembentukan Barisan Hizbullah yang membantu perjuangan umat Islam mewujudkan kemerdekaan. Selain terlibat dalam gerakan politik, Menjelang kemerdekaan tahun 1945 ia menjadi anggota BPUPKI dan PPKI. []

(Fathoni)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar