PAHLAWAN NASIONAL NU
Tujuh Tahun Jelang
Wafat, KH Wahid Hasyim Berpuasa Tanpa Putus
Umur 21 tahun mampu
melakukan pembaruan pola pendidikan di pesantren yaitu memperkuat ilmu agama
dengan tidak menafikan ilmu-ilmu umum. Umur 26 tahun diangkat menjadi Ketua
MIAI. Umur 30 tahun menginisiasi pembentukan Laskar Hizbullah. Umur 34 tahun
menjadi Ketua PBNU, dan umur 35 hingga 38 tahun sudah menjabat Menteri Agama
RI.
Itulah sosok
fenomenal terkait kiprah KH Abdul Wahid Hasyim (1914-1953). Pengabdian,
perjuangan, dan jasa-jasanya tidak hanya berhenti pada jabatan-jabatan
mentereng pada usia masih relatif muda, tetapi diwujudkan dengan pergerakan
nyata. Dalam setiap perjuangannya, ayah KH Abdurrahman Wahid itu tidak mau
terlepas dari petuah dari guru-gurunya, di antaranya ayahnya sendiri KH Hasyim
Asy’ari.
Sebagai seorang ulama
muda, Kiai Wahid Hasyim tidak lepas dari tirakat dan riyadhah dengan
cara berpuasa. Bahkan, tujuh tahun menjelang embusan napas terakhirnya pada
1953, Kiai Wahid berpuasa tanpa putus. (Munawi Aziz, Pahlawan Santri: Tulang
Punggung Pergerakan Nasional, 2016).
Riyadhah lazim dilakukan oleh
para kiai. Apalagi dalam kondisi bangsa Indonesia masih terjajah. Bagi para
ulama, perjuangan tidak cukup hanya ikhtiar fisik, tetapi juga upaya batin agar
setiap pikiran dan sikap dalam upaya pergerakan nasional mendapat petunjuk dan
tuntunan dari Allah Yang Maha Kuasa. Bahkan, kekuatan dan kekebalan fisik kerap
didapatkan oleh para pejuang melalui karomah para kiai, misal penyepuhan bambu
runcing oleh Kiai Subchi Parakan.
Ikhtiar batin yang
dilakukan oleh Kiai Wahid Hasyim menunjukkan spiritualitasnya yang kokoh. Tidak
hanya perjuangan demi perjuangan melawan penjajah, sejumlah tanggung jawab
melalui beberap jabatan yang diembannya juga memerlukan pikiran dan pandangan
batin yang jernih. Sehingga berpuasa merupakan salah satu upayanya untuk
menajamkan nalar dan naluri.
Diriwayatkan oleh KH
Saifuddin Zuhri (Berangkat dari Pesantren, LKiS, 2013), pernah suatu
ketika, obrolan terjadi di pusat latihan Hizbullah di Cibarusa itu dikelola
oleh Markas Tertinggi Hizbullah yang dipimpin oleh KH Zainul Arifin. Sebagai
sebuah strategi perang, latihan ini perlu dilakukan oleh sebanyak-banyaknya
pemuda. Namun, disayangkan latihan Hizbullah ini diselenggarakan secara minim
sekali.
Kondisi ini menjadi
perhatian serius KH Wahid Hasyim sebagai penanggung jawab politik dalam Laskar
Hizbullah. “Kita dikejar waktu. Nippon sebenarnya mencurigai tujuan Hizbullah.
Yang menyetujui Hizbullah kan Cuma kita,” ucap Kiai Wahid mengemukakan
kegelisahannya.
Tetapi, ayah dari KH
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini tidak mau ketinggalan kereta. Walau bagaimana
pun, perjuangan kemerdekaan harus dipersiapkan, baik kekuatan militernya, di
samping kekuatan politiknya. Kekuatan politik yang dimaksud ialah politik kenegaraan
yang berkepentingan memerdekakan Indonesia dari kungkungan penjajah. Langkah
ini membutuhkan ongkos yang tidak sedikit.
Kegundahan Kiai Wahid
tersebut mendapat siraman petunjuk dari KH Abdul Wahab Chasbullah. Kiai Wahab
menilai, para kiai dan pemimpin laskar jangan hanya melihat dari ukuran lahir.
Karena menurutnya, belum tentu jika disediakan biaya besar akan berdampak pada
hasil yang maksimal. Artinya, pandangan dan langkah jernih Kiai Wahid Hasyim
juga didapatkan melalui kemuliaan orang-orang di sekitarnya.
Kisah dari Parakan
Temanggung, suatu ketika KH Wahid Hasyim, KH Masjkur, dan KH Zainul Arifin yang
memimpin barisan tentara santri dianter oleh KH Saifuddin Zuhri menemui KH
Subchi di Parakan. Namun, kiai sepuh ini kemudian menangis di hadapan Kiai
Wahid Hasyim. Karena terlampau banyak laskar yang datang kepadanya.
“Mengapa semua ini
datang kepada saya? Kok tidak datang ke kiai lain?” tutur Kiai Subchi dengan
suara lirihnya kepada Kiai Wahid Hasyim, dan kawan-kawan kiai lain sambil
menangis.
Menangisnya Kiai
Subchi ditangkap Kiai Wahid Hasyim sebagai keharuan melihat semangat para
pejuang untuk menyandarkan diri pada kekuatan Allah dalam berjihad melawan
penjajah. Namun, Kiai Wahid juga melihat dari sisi berbeda sehingga ia perlu
kembali membangkitkan semangat Kiai Subchi.
Hal itu dilakukan
Kiai Wahid Hasyim agar Kiai Subchi tidak merasa keberatan untuk memberikan
gemblengan lahir dan batin kepada ribuan laskar yang datang ke Parakan meminta
doa.
Namun, melihat ribuan
laskar yang bambu runcingnya harus disepuh satu per satu membuat Kiai Saifuddin
Zuhri tergerak agar Kiai Subchi beristirahat terlebih dahulu. Akhirnya, Kiai
Bambu Runcing itu bisa beristirahat karena adiknya, Kiai Nawawi, Kiai Mandur serta
cucunya Kiai Ali bersedia menggantikan tugas Kiai Subchi. (Guruku
Orang-orang dari Pesantren, LKiS, 2001)
Sedangkan Kiai Subchi
sesekali menampakkan diri jika memang sangat diperlukan. Doa yang diucapkan
oleh Kiai Subchi untuk menyepuh ribuan bambu runcing adalah sebagai berikut
(Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010: 132):
Bismillahi
Ya hafidhu, Allahu
Akbar
Dengan nama
Allah
Ya Tuhan Maha
Pelindung
Allah Maha Besar
Ratusan bahkan ribuan
tentara sabil, baik Hizbullah dan Sabilillah juga Tentara Keamanan Rakyat
selalu membanjiri rumah Kiai Subchi untuk menyepuh bambu runcingnya dengan doa.
Bahkan untuk keperluan menyemayamkan kekuatan spiritual ini, Jenderal Soedirman
dan anak buahnya juga berkunjung ke rumah Kiai Subchi.
Perumus Dasar Negara
Peran yang
diungkapkan di sini tentu saja hanya sekelumit dari pergerakan nasional yang
dilakukan oleh Kiai Wahid Hasyim. Pasca Proklamasi Kemerdekaan, Kiai Wahid
Hasyim bersama Soekarno, Muh. Hatta, A.A. Maramis, Abdul Kahar Muzakkir,
Abikusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim, Ahmad Subardjo, dan Muh. Yamin masuk ke
dalam Tim Sembilan perumus dasar negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945.
Tokoh ulama yang
berperan menegaskan konsep Ketuhanan yang akomodatif itu adalah KH Wahid
Hasyim. Menurut Kiai Wahid saat itu, “Ketuhanan Yang Esa” merupakan konsep
tauhid dalam Islam. Sehingga tidak ada alasan bagi umat Islam untuk menolak
konsep tersebut dalam Pancasila.
Artinya, dengan
konsep tersebut, umat Islam mempunyai hak menjalankan keyakinan agamanya tanpa
mendiskriminasi keyakinan agama lain. Di titik inilah, menjalankan Pancasila
sama artinya mempraktikan Syariat Islam dalam konsep hidup berbangsa dan
bernegara. Sehingga tidak ada sikap intoleransi kehidupan berbangsa atas nama
suku, agama, dan lain-lain.
Peran Kiai Wahid
Hasyim bukan hanya mampu menjabarkan Pancasila secara teologis dan filosofis
terhadap rumusan awal yang diajukan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945, tetapi juga
menegaskan bahwa umat Islam Indonesia sebagai mayoritas menunjukkan sikap
inklusivitasnya terhadap seluruh bangsa Indonesia yang majemuk sehingga
Pancasila merupakan dasar negara yang merepresentasikan seluruh bangsa
Indonesia.
Sejarawan NU Abdul
Mun’im DZ (2016) mengatakan, tidak bisa dipungkiri bahwa dalam menjabarkan
Pancasila, Kiai Wahid berangkat dari tradisi dan keilmuan pesantren, sehingga
bisa dikatakan bahwa Pancasila merupakan kristalisasi ajaran Ahlussunnah wal
Jamaah (Aswaja). Di titik inilah menurut Mun’im, NU dan seluruh bangsa
Indonesia bukan hanya wajib mengamalkan, tetapi juga wajib mengamankan
Pancasila.
Peran Kiai Wahid
Hasyim dalam mengembangkan ilmu agama di tingkat pendidikan tinggi juga tidak
kalah pentingnya. Tahun 1944 ia mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta
(cikal bakal UIN, IAIN) yang pengasuhannya ditangani oleh KH A. Kahar Muzakkir.
Saat pendudukan
Jepang yaitu tepatnya pada tanggal 24 Oktober 1943 ia ditunjuk menjadi Ketua
Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) menggantikan MIAI. Saat memimpin
Masyumi itulah ia merintis pembentukan Barisan Hizbullah yang membantu
perjuangan umat Islam mewujudkan kemerdekaan. Selain terlibat dalam gerakan
politik, Menjelang kemerdekaan tahun 1945 ia menjadi anggota BPUPKI dan PPKI.
[]
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar