Ketabahan Hati
Seorang Istri
Judul Buku
: Hati Suhita
Penulis
: Khilma Anis
Penerbit
: Telaga Aksara Yogyakarta & Mazaya Media
Jember
Cetakan I
: Maret 2019
Halaman
: 405 + x
ISBN
: 978 – 602 – 51017 – 4 – 8
Peresensi
: Rosidi, Pemimpin
Redaksi Buletin Suara Nahdliyin dan Suaranahdliyin.com, bergiat di Gubug
Literasi Tansaro Kudus serta Staf Akademik Bidang Media dan Publikasi pada
Ma'had Aly TBS Kudus.
Aku harus menanggung
lukaku sendiri. Tabah mengobati dukaku sendiri, karena ini adalah tirakatku.
Karena ini adalah jalan menuju kemuliaanku.
Demikian, Alina
Suhita, menguatkan hatinya menghadapi perihnya hidup lantaran tak dianggap oleh
suaminya sendiri, Abu Raihan Al – Birruni (Gus Birru). Suaminya hasil
perjodohan antara orang tua.
Perjodohan yang
dijalaninya, dengan keikhlasan, kendati luka hati senantiasa dirasa. Alina
Suhita ''tak pernah diterima'' oleh suaminya sendiri, bahkan meski hidup tak
hanya dalam satu atap, melainkan tidur di kamar yang sama.
Sebagai wanita pada
umumnya, terkadang Alina Suhita ingin mengadukan perihal kecamuk keluarga dan
suasana hatinya pada orang tuanya. Namun dia selalu ingat ajaran kakeknya untuk
mikul duwur mendem jero. Dan pepatah Jawa bahwa wanita itu harus berani bertapa
(wani tapa), menjadi penguat hatinya untuk menghadapi badai kehidupan rumah
tangganya dengan penuh ketabahan dan ketegaran. (hal. 16)
Pelajaran menarik
bagaimana ketabahan seorang istri menghadapi badai kehidupan dalam rumah
tangganya, itu ternarasikan secara apik dalam novel keren Hati Suhita' karya
Khilma Anis.
Sebuah novel yang
tidak saja mengajak pembacanya untuk mengeja narasi-narasi apik dengan beragam
keteladanan yang sangat dahsyat, melainkan juga penuh filosofi hidup yang
sangat dahsyat.
Suhita, misalnya,
senantiasa mengingat ajaran Begawan Wiyasa dalam cerita pewayangan, bahwa
orang-orang yang dapat menaklukkan dunia, adalah orang-orang yang sabar
menghadapi caci maki orang lain. Orang yang dapat mengendalikan emosi, ibarat
kusir yang dapat menaklukkan dan mengendalikan kuda liar. (hal. 61)
Pelajaran lain yang
sangat dahsyat dalam novel ini adalah falsafah tebu. Betapa untuk memberikan
rasa manis terlebih dulu harus digiling, diperas, bahkan diinjak-injak sampai
benar-benar mengeluarkan sarinya.
Itu menjadi penanda
dan tuladha terkait jerih payah dalam menjalani kehidupan: untuk mencapai
kenikmatan, butuh perjuangan yang panjang. (hal. 126)
Dan di luar itu
semua, hikmah menarik yang tak bisa diabaikan adalah betapa doa orang tua,
khususnya ibu –tak terkecuali mertua- mengambil peran maksimal bagi seseorang
untuk tegar dan tabah menghadapi segala cobaan dan dera kehidupan.
''... Ummiku.
Mertuaku. Anugerah terbesar dalam hidupku. Yang mencintai sedalam ibuku
sendiri. Ummiklah satu-satunya alasanku bertahan di rumah ini''.
Ya, banyak sekali
pelajaran dan hikmah dalam mengarungi bahtera kehidupan yang bisa ditelisik
dalam novel Hati Suhita ini. Namun tentunya, pelajaran dan hikmah itu hanya
akan ''menguap'' dan tidak bernilai apapun, jika kita tak mau menghayati dan
mengamalkannya dalam hidup. Wallahu a'lam. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar