Senin, 16 September 2019

(Buku of the Day) Hati Suhita


Ketabahan Hati Seorang Istri


Judul Buku         : Hati Suhita
Penulis              : Khilma Anis
Penerbit            : Telaga Aksara Yogyakarta & Mazaya Media Jember
Cetakan I           : Maret 2019
Halaman            : 405 + x
ISBN                 : 978 – 602 – 51017 – 4 – 8
Peresensi          : Rosidi, Pemimpin Redaksi Buletin Suara Nahdliyin dan Suaranahdliyin.com, bergiat di Gubug Literasi Tansaro Kudus serta Staf Akademik Bidang Media dan Publikasi pada Ma'had Aly TBS Kudus. 

Aku harus menanggung lukaku sendiri. Tabah mengobati dukaku sendiri, karena ini adalah tirakatku. Karena ini adalah jalan menuju kemuliaanku.

Demikian, Alina Suhita, menguatkan hatinya menghadapi perihnya hidup lantaran tak dianggap oleh suaminya sendiri, Abu Raihan Al – Birruni (Gus Birru). Suaminya hasil perjodohan antara orang tua.

Perjodohan yang dijalaninya, dengan keikhlasan, kendati luka hati senantiasa dirasa. Alina Suhita ''tak pernah diterima'' oleh suaminya sendiri, bahkan meski hidup tak hanya dalam satu atap, melainkan tidur di kamar yang sama.

Sebagai wanita pada umumnya, terkadang Alina Suhita ingin mengadukan perihal kecamuk keluarga dan suasana hatinya pada orang tuanya. Namun dia selalu ingat ajaran kakeknya untuk mikul duwur mendem jero. Dan pepatah Jawa bahwa wanita itu harus berani bertapa (wani tapa), menjadi penguat hatinya untuk menghadapi badai kehidupan rumah tangganya dengan penuh ketabahan dan ketegaran. (hal. 16)

Pelajaran menarik bagaimana ketabahan seorang istri menghadapi badai kehidupan dalam rumah tangganya, itu ternarasikan secara apik dalam novel keren Hati Suhita' karya Khilma Anis.

Sebuah novel yang tidak saja mengajak pembacanya untuk mengeja narasi-narasi apik dengan beragam keteladanan yang sangat dahsyat, melainkan juga penuh filosofi hidup yang sangat dahsyat.

Suhita, misalnya, senantiasa  mengingat ajaran Begawan Wiyasa dalam cerita pewayangan, bahwa orang-orang yang dapat menaklukkan dunia, adalah orang-orang yang sabar menghadapi caci maki orang lain. Orang yang dapat mengendalikan emosi, ibarat kusir yang dapat menaklukkan dan mengendalikan kuda liar. (hal. 61)

Pelajaran lain yang sangat dahsyat dalam novel ini adalah falsafah tebu. Betapa untuk memberikan rasa manis terlebih dulu harus digiling, diperas, bahkan diinjak-injak sampai benar-benar mengeluarkan sarinya.

Itu menjadi penanda dan tuladha terkait jerih payah dalam menjalani kehidupan: untuk mencapai kenikmatan, butuh perjuangan yang panjang. (hal. 126)

Dan di luar itu semua, hikmah menarik yang tak bisa diabaikan adalah betapa doa orang tua, khususnya ibu –tak terkecuali mertua- mengambil peran maksimal bagi seseorang untuk tegar dan tabah menghadapi segala cobaan dan dera kehidupan.

''... Ummiku. Mertuaku. Anugerah terbesar dalam hidupku. Yang mencintai sedalam ibuku sendiri. Ummiklah satu-satunya alasanku bertahan di rumah ini''.

Ya, banyak sekali pelajaran dan hikmah dalam mengarungi bahtera kehidupan yang bisa ditelisik dalam novel Hati Suhita ini. Namun tentunya, pelajaran dan hikmah itu hanya akan ''menguap'' dan tidak bernilai apapun, jika kita tak mau menghayati dan mengamalkannya dalam hidup. Wallahu a'lam. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar