Menyoal ‘Andai Itu Baik
Tentu Generasi Salaf Sudah Melakukannya’ (I)
Ada sebuah ungkapan yang dijadikan sebagai
kaidah fiqih oleh sebagian kelompok untuk menentukan bid'ah tidaknya suatu
tindakan, yakni:
لو كان
خيرا لسبقونا إليه
“Kalau itu memang baik tentu ulama salaf sudah
mendahului kita melakukannya.”
Logika mereka di balik “kaidah” itu adalah
ulama salaf adalah yang paling getol untuk melakukan kebaikan sehingga semua
telah mereka lakukan. Ketika mereka tak melakukan suatu perbuatan, maka berarti
hal tersebut terlarang. Sepintas logika ini masuk akal, padahal sejatinya jauh
dari realitas kebenaran.
Sejarah Lahirnya Ungkapan Ini
Awal mula kemunculan ungkapan ini adalah
ketika Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat berikut:
وَقَالَ
الَّذِينَ كَفَرُوا لِلَّذِينَ آمَنُوا لَوْ كَانَ خَيْرًا مَا سَبَقُونَا
إِلَيْهِ وَإِذْ لَمْ يَهْتَدُوا بِهِ فَسَيَقُولُونَ هَذَا إِفْكٌ قَدِيمٌ
"Dan orang-orang kafir berkata kepada
orang-orang yang beriman: ‘Kalau sekiranya Al-Qur’an adalah suatu yang baik,
tentulah mereka (kaum muslimin) tiada mendahului kami mengimaninya. Dan karena
mereka (kaum musyrik) tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan
berkata: "Ini adalah dusta yang lama." (QS. Al-Ahqaf: 11)
Jadi sebenarnya ungkapan itu adalah logika
akal-akalan orang musyrik untuk mengejek kaum muslimin. Mereka mengatakan kalau
saja Al-Qur’an itu baik tentu para pemimpin Quraisy musyrikin itu tidak akan
didahului mengimaninya oleh kalangan kelas bawah seperti Bilal, 'Ammar, Suhaib
dan sahabat lainnya. Bagi kaum musyrikin, yang menjadi patokan kebenaran adalah
para elit mereka sehingga kalau para elit tersebut tidak melakukan suatu hal
maka berarti hal itu buruk.
Argumen akal-akal kaum musyrik itu akhirnya
dibalas oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya sebagai berikut:
وَأَمَّا
أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ فَيَقُولُونَ فِي كُلِّ فِعْلٍ وَقَوْلٍ لَمْ
يَثْبُتْ عَنِ الصَّحَابَةِ: هُوَ بِدْعَةٌ؛ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ خَيْرًا لسبقونا
إليه، لأنهم لَمْ يَتْرُكُوا خَصْلَةً مِنْ خِصَالِ الْخَيْرِ إِلَّا وَقَدْ
بَادَرُوا إِلَيْهَا
"Adapun Ahlussunnah wal Jamaah maka
mereka mengatakan tentang segala perbuatan dan ucapan yang tidak dilakukan oleh
sahabat bahwa itu adalah bid'ah karena kalau memang baik tentu para sahabat
sudah mendahului kita melakukannya sebab sesungguhnya mereka tidak meninggalkan
sesuatu kebaikan pun kecuali langsung mengerjakannya." (Ibnu Katsir, Tafsîr
Ibnu Katsîr, juz VII, 278)
Jadi, logika kaum musyrik tersebut dibalik;
awalnya yang dijadikan patokan kebenaran adalah kaum elite Quraisy lalu dibalik
menjadi para sahabat nabi. Dari sini kita tahu bahwa sebenarnya ini hanyalah
ungkapan dialektis untuk mematahkan argumen lawan.
Kelemahan Pemberlakuan Ungkapan Ini sebagai
Suatu Kaidah:
Sebenarnya ucapan Imam Ibnu Katsir ini ada
benarnya sebagai suatu argumen dalam perdebatan. Tetapi apabila ia dijadikan
sebagai kaidah universal dalam hal bid'ah maka akan sangat tidak akurat dan
bahkan absurd. Berikut ini tujuh kelemahan dari ungkapan Ibnu Katsir tersebut
bila dijadikan kaidah universal:
Pertama, klaim bahwa segala
perbuatan dan ucapan yang tidak dilakukan oleh sahabat adalah bid'ah merupakan
sebuah generalisir yang tak berdasar. Untuk mengatakan hal tak lumrah seperti
ini perlu dalil dari Al-Qur’an dan hadits sahih tetapi tak ada satu pun dalil
yang mendukung pernyataan general yang tidak realistis ini.
Tak terhitung ucapan dan tindakan di era
tabi'in dan seterusnya yang tidak pernah dilakukan oleh sahabat tetapi
disepakati sebagai kebaikan. Baca saja kitab apapun, maka dalam tiap paragrafnya
akan didapati ucapan yang tidak pernah diucapkan satu pun sahabat. Pergi saja
ke pasar, maka akan didapati tindakan baik yang tak pernah dilakukan satu pun
sahabat. Apakah itu semua berarti bid'ah? tentu saja tidak sesederhana
itu.
Hal-hal baru yang baik selalu ada, baik dalam
ranah mu’amalah, tradisi atau pun ibadah sekalipun. Misalnya kesepakatan para
sahabat di era Abu Bakar untuk mengodifikasi mushaf, kesepakatan mereka di era
Umar untuk shalat Tarawih berjamaah selama sebulan penuh, kesepakatan mereka di
era Utsman untuk menambah adzan Jumat, kepakatan para ulama untuk memberi
tambahan harakat dan titik di mushaf Al-Qur’an dan banyak lagi hal baru yang
tak ada di sama sebelumnya.
Kedua, klaim bahwa para
sahabat tidak meninggalkan sesuatu kebaikan pun kecuali langsung mengerjakannya
adalah klaim tanpa bukti. Siapapun takkan mungkin menghitung jumlah jenis
kebaikan, apalagi jumlah teknis untuk melakukannya. Akan absurd bila kemudian
jenis kebaikan dikesankan sudah habis tak tersisa dilakukan oleh para sahabat.
Padahal realitasnya, Nabi Muhammad bersabda:
خَيْرُ
النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
(متفق عليه) ـ
"Manusia terbaik adalah manusia di
masaku lalu yang setelah mereka lalu setelah mereka". (HR. Bukhari –
Muslim)
Hadits di atas menegaskan bahwa kebaikan itu
dicapai di tiga kurun awal, yakni; kurun di mana sahabat hidup, kurun di masa
Tabi'in dan kurun di masa Atbâ' at-Tâbi'in (orang-orang berjumpa dengan
tabi'in). Tiga kurun inilah yang dikenal sebagai generasi salaf yang menjadi
generasi emas dalam hal agama. Ini berarti kebaikan tak habis dilakukan di masa
sahabat saja, tetapi juga ada kebaikan lain yang adanya di dua kurun
selanjutnya bahkan terus ada hingga kiamat meskipun secara umum generasi emas
tetaplah tiga generasi di atas.
Begitu banyak hal-hal baru dalam bidang agama
yang tak ada di masa sahabat, semisal pembukuan hadits secara besar-besaran,
perkembangan ilmu pengetahuan keislaman juga tak terhitung jumlahnya. Namun
semua kaum muslimin menyepakati hal itu sebagai kebaikan yang tak boleh
dipermasalahkan, atas nama bid'ah atau atas nama apapun.
Metode-metode baru dalam dunia ibadah mahdlah
juga berkembang, seperti metode membaca dan menghapal Al-Qur’an dengan cepat
serta metode shalat khusyuk yang disosialisasikan bahkan dikomersilkan oleh
sebagian kalangan. Menjadikan kata "sunnah" sebagai ajang marketing
juga tak pernah dilakukan para sahabat. Baju sunnah, celana sunnah, perumahan
sunnah adalah hal yang seluruhnya baru. Apakah menjual kata sunnah seperti ini
diajarkan atau dilakukan para sahabat? Bila memakai logika ungkapan Ibnu Katsir
di atas, kalau memonetisasi sunnah adalah baik tentu para sahabat sudah lebih
dahulu melakukannya bukan?
Ketiga, andai kita pakai
kaidah ini sebagai hakim bagi semua hal baru, maka jadinya akan seperti
berikut:
• Kita mengatakan ke Sayyidina Abu Bakar,
andai memerangi orang yang tak mau membayar zakat itu baik, maka Rasulullah
sudah lebih dahulu melakukannya sebab beliau lebih semangat atas kebaikan namun
kenyataannya tidak demikian.
• Kita mengatakan ke Sayyidina Abu Bakar,
andai menunjuk khalifah pengganti sebelum meninggal (seperti anda menunjuk Umar
sebagai pengganti) adalah baik, tentu Rasulullah sudah mendahului anda
melakukannya namun kenyataannya tidak.
• Kita mengatakan ke Sayyidina Umar, andai
menyuruh orang untuk selalu tarawih setiap malam Ramadhan di awal isya' dan
mendirikan baitul mal adalah tindakan baik, tentu Abu Bakar sudah mendahului
anda melakukannya namun kenyataannya tidak.
• Kita mengatakan ke Sayyidina Utsman, andai
pembakaran manuskrip Al-Qur’an selain versi resmi dan penambahan azan Jumat
adalah baik, tentu Abu Bakar dan Umar sudah mendahului anda melakukannya namun
kenyataannya tidak.
Kita mengatakan ke semua tokoh yang punya
inisiatif baru dalam hal agama yang bertujuan untuk mencari ridha Allah dengan
berbagai cara, andai memang itu baik tentu orang sebelum anda sudah mendahului
anda melakukannya. Bukan pencerahan yang didapat dengan cara seperti ini tetapi
kesalahpahaman akut. []
Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember
dan Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jatim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar