Bisakah Sabun Menggantikan
Debu untuk Menyucikan Najis Anjing?
Sebagaimana sudah maklum, najis terbagi
menjadi tiga, yakni najis mughalladhah, yaitu najisnya anjing dan babi; najis
mutawassithah atau najis standar yang jamak terjadi; dan terakhir najis
mukhaffafah, najisnya anak laki-laki yang belum sampai berumur dua tahun dan
baru meminum air susu ibu sebagai sumber makanan tunggal.
Status kenajisan anjing ini pernah disinggung
dalam sabda Rasulullah ﷺ:
طُهُوْرُ
إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ
مَرَّاتٍ أُوْلَاهُنَّ بِالتُّرَابِ
Artinya: “Sucinya wadah salah satu di antara
kalian ketika dijilat anjing adalah dengan cara dicuci sebanyak tujuh kali.
Salah satunya dicampuri dengan debu.” (HR Muslim, Ahmad)
Dari hadits di atas, menurut mazhab Syafi’i
dan Hanbali, najis dari anjing bukan hanya berasal dari jilatan atau air
liurnya saja, namun seluruh bagian hewan tersebut adalah najis mughalladhah, sebab
mulut adalah anggota badan paling bersih. Apabila anggota badan yang paling
bersih saja dianggap najis apalagi anggota lain, terlebih kotorannya. Oleh
karena itu, sebagaimana kaidah dalam qiyas aulawiy, menurut kedua mazhab
tersebut, baik air liur, kotoran, bulu, kulit dan bahkan keturunan hewan
keduanya adalah najis mughalladhah.
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh
Ad-Dâru Quthni dan al-Hâkim mengisahkan, Rasulullah pernah diundang untuk
mendatangi satu rumah di sebuah kompleks masyarakat, beliau datang. Kemudian
pada waktu lain, beliau diundang lagi di rumah yang lain, tapi Rasulullah tidak
mendatangi undangan tersebut. Kata Rasul, “Rumahnya si Fulan ada anjingnya.”
Lalu ada sahabat yang berkata pada Nabi, “Lha itu di rumahnya si Fulan yang ini
ada kucingnya, Ya Rasul.” Rasul pun menjawab, “Sesungguhnya kucing tidak
najis.”
Dari cerita ini memberikan pemahaman bahwa
anjing secara keseluruhan adalah najis. Antara air liur, daging, kencing dan
lain sebagainya mempunyai tingkatan najis yang sama yaitu najis
mughalladhah.
Perihal cara menyucikan najis mughalladhah,
sebagaimana bunyi tekstual hadits, najis anjing atau babi hanya bisa suci
dengan cara dicuci sebanyak tujuh kali. Salah satu dari air yang dibuat untuk
mencuci tersebut, harus dicampur dengan debu.
Berbagai literatur klasik menyebutkan,
sebenarnya ada perbedaan apakah sabun atau sejenisnya bisa menggantikan debu
ataukah tidak?
Setidaknya hal ini dibahas oleh Syekh
Jalaluddin al-Mahalli dalam kitabnya al-Mahalli, Syekh Ahmad al-Hijâzi di dalam
kitabnya Tuhfatul Habib, Syekh Taqiyuddin Abu Bakar dalam Kifayatul Akhyar,
Imam Nawawi dalam kitab Raudhatuth Thâlibîn, Syekh Abdul Karim bin Muhammad
ar-Râfi’I dalam kitab Fathul Aziz. Apa penjelasan mereka soal bisa tidaknya
sabun menggantikan fungsi debu dalam hadits di atas?
Pertama, ada ulama yang menyatakan tidak bisa
menggantikan. Artinya, salah satu dari air yang dibuat mencuci harus memakai
campuran debu. Sebab, alat yang bisa digunakan untuk bersuci hanya terdiri dari
dua unsur, yakni air dan debu. Orang wudhu untuk menghilangkan hadats harus
menggunakan air. Jika tidak ditemukan air, maka debu sebagai gantinya. Debu di
sini tidak bisa digantikan dengan pasir atau tepung. Pendapat demikian
merupakan pendapat al-adh-har.
Kedua, ada ulama yang menyamakan penggunaan
debu bisa diganti dengan sabun dengan alasan sebagaimana orang yang menyamak
kulit.
Kulit bangkai hewan seperti macan, jerapah
dan lain sebagainya bisa menjadi suci dengan cara disamak. Setelah suci dapat
digunakan untuk baju, shalat dan sebagainya Menyamak bisa dilakukan dengan cara
membersikan kulit dari sisa daging, kotoran dan lain sebagainya lalu dicuci
menggunakan air, dikasih tawas atau daun yang biasa untuk menghilangkan
sisa-sisa kotoran, daging dan sejenisnya. Pada kasus menyamak ini, ulama
memperbolehkan bahan penghilang kotoran tidak harus dengan tawas, namun bisa
dengan sabun.
Jika pada masalah menyamak ini sabun bisa
menduduki pengganti bahan baku yang telah disebut syara’, maka pada bab
pencucian najis mughalladhah mestinya sabun bisa menduduki posisi yang sama
dengan debu.
Begitu pula saat orang istinja’. Dalam hadits
yang disebutkan media yang bisa dibuat untuk istinja’ ada dua, yakni air dan
batu. Namun para ulama sangat banyak yang memperbolehkan istinja’ menggunakan
tisu atau apa pun bentuknya yang penting kasar, kesat, sebagai pengganti batu.
Pendapat kedua dengan analogi seperti ini, oleh para ulama dikategorikan
pendapat adh-har.
Ketiga, sabun tidak bisa mengganti debu
kecuali dalam keadaan darurat. Misalnya, ada orang Muslim tinggal di Hongkong,
tempat domisilinya di apartemen lantai 35. Di sana adanya sabun, tidak ada
debu. Andaipun ia turun ke lantai bawah, adanya hanya keramik atau bebatuan.
Pada kondisi tersebut, orang baru boleh memakai sabun sebagai pengganti
debu.
هل
يقوم الصابون والاشنان مقام التراب فيه ثلاثة أقوال أظهرها لا: لظاهر الخبر ولانها
طهارة متعلقة فلا يقوم غيره مقامه كالتيمم والثاني نعم كالدباغ يقوم فيه غير الشب
والقرظ مقامهما وكالاستنجاء يقوم فيه غير الحجارة مقامها. الثالث أن وجد التراب لم
يعدل إلى غيره وان لم يجده جاز اقامة غيره مقامه للضرورة ومنهم من قال يجوز اقامة
غير التراب مقامه فيما يفسد باستعمال التراب فيه كالثياب ولا يجوز فيما لا يفسد
كالاواني
Artinya: “Apakah sabun dan kayu penghilang
kotoran itu bisa menduduki posisi debu?. Di sini ada tiga pendapat. Pendapat
al-adh-har adalah tidak bisa sebagaimana bunyi tekstual hadits dan karena ini
berkaitan dengan aturan mencuci, maka sabun tidak bisa menggantikan debu
sebagaimana tayammum. Kedua, iya, bisa. Hal ini sebagaimana menyamak. Selain
tawas dan daun penghilang kotoran bisa digantikan yang lain. Pada saat
istinja’, batu bisa digantikan dengan yang lain. Pendapat ketiga, selama masih
ada debu tidak bisa digantikan apa pun. Namun apabila tidak ada debu, boleh.
Karena darurat. Ada pula pendapat yang menyatakan, selain debu boleh digunakan
asalkan seumpama memakai debu bisa merusak objek seperti pakaian. Kalau dengan
debu tersebut tidak sampai bisa merusak objek, seperti pada wadah, maka debu
tidak bisa digantikan sama sekali. (Abdul Karim bin Muhammad ar-Râfi’I, Fathul
Azîz syarah al-Wajîz, [Dârul Fikr], juz 1, halaman 264)
Bagaimana menggunakan pendapat yang kedua,
yaitu memperbolehkan sabun sebagai ganti debu?
Jika kita menggali lebih dalam pemakaian
istilah al-adh-har pada pendapat yang pertama, maka pendapat dhahir maupun
al-adh-har masing-masing merupakan pendapat mazhab Syafi’i, namun karena ada
perbedaan pandangan yang tajam, maka yang kuat diistilahkan dengan al-adh-har,
sedangkan lawan katanya adalah dhahir.
Selama kita mampu, mari kita gunakan pendapat
al-adh-har, namun jika mengalami kesusahan, kita bisa memilih pendapat dhahir.
Menurut para ulama, menggunakan pendapat dhahir masih pada batas toleransi
diperbolehkan.
Berbeda kalau pendapat yang A menyatakan
shahîh, maka lawan katanya adalah dlaîf. Mengikuti pendapat dlaif yang semacam
ini tidak diperbolehkan. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar