Jumat, 13 September 2019

(Ngaji of the Day) Bisakah Sabun Menggantikan Debu untuk Menyucikan Najis Anjing?


Bisakah Sabun Menggantikan Debu untuk Menyucikan Najis Anjing?

Sebagaimana sudah maklum, najis terbagi menjadi tiga, yakni najis mughalladhah, yaitu najisnya anjing dan babi; najis mutawassithah atau najis standar yang jamak terjadi; dan terakhir najis mukhaffafah, najisnya anak laki-laki yang belum sampai berumur dua tahun dan baru meminum air susu ibu sebagai sumber makanan tunggal.

Status kenajisan anjing ini pernah disinggung dalam sabda Rasulullah

طُهُوْرُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُوْلَاهُنَّ بِالتُّرَابِ

Artinya: “Sucinya wadah salah satu di antara kalian ketika dijilat anjing adalah dengan cara dicuci sebanyak tujuh kali. Salah satunya dicampuri dengan debu.” (HR Muslim, Ahmad) 

Dari hadits di atas, menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali, najis dari anjing bukan hanya berasal dari jilatan atau air liurnya saja, namun seluruh bagian hewan tersebut adalah najis mughalladhah, sebab mulut adalah anggota badan paling bersih. Apabila anggota badan yang paling bersih saja dianggap najis apalagi anggota lain, terlebih kotorannya. Oleh karena itu, sebagaimana kaidah dalam qiyas aulawiy, menurut kedua mazhab tersebut, baik air liur, kotoran, bulu, kulit dan bahkan keturunan hewan keduanya adalah najis mughalladhah.

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ad-Dâru Quthni dan al-Hâkim mengisahkan, Rasulullah pernah diundang untuk mendatangi satu rumah di sebuah kompleks masyarakat, beliau datang. Kemudian pada waktu lain, beliau diundang lagi di rumah yang lain, tapi Rasulullah tidak mendatangi undangan tersebut. Kata Rasul, “Rumahnya si Fulan ada anjingnya.” Lalu ada sahabat yang berkata pada Nabi, “Lha itu di rumahnya si Fulan yang ini ada kucingnya, Ya Rasul.” Rasul pun menjawab, “Sesungguhnya kucing tidak najis.” 

Dari cerita ini memberikan pemahaman bahwa anjing secara keseluruhan adalah najis. Antara air liur, daging, kencing dan lain sebagainya mempunyai tingkatan najis yang sama yaitu najis mughalladhah. 

Perihal cara menyucikan najis mughalladhah, sebagaimana bunyi tekstual hadits, najis anjing atau babi hanya bisa suci dengan cara dicuci sebanyak tujuh kali. Salah satu dari air yang dibuat untuk mencuci tersebut, harus dicampur dengan debu.

Berbagai literatur klasik menyebutkan, sebenarnya ada perbedaan apakah sabun atau sejenisnya bisa menggantikan debu ataukah tidak? 

Setidaknya hal ini dibahas oleh Syekh Jalaluddin al-Mahalli dalam kitabnya al-Mahalli, Syekh Ahmad al-Hijâzi di dalam kitabnya Tuhfatul Habib, Syekh Taqiyuddin Abu Bakar dalam Kifayatul Akhyar, Imam Nawawi dalam kitab Raudhatuth Thâlibîn, Syekh Abdul Karim bin Muhammad ar-Râfi’I dalam kitab Fathul Aziz. Apa penjelasan mereka soal bisa tidaknya sabun menggantikan fungsi debu dalam hadits di atas? 

Pertama, ada ulama yang menyatakan tidak bisa menggantikan. Artinya, salah satu dari air yang dibuat mencuci harus memakai campuran debu. Sebab, alat yang bisa digunakan untuk bersuci hanya terdiri dari dua unsur, yakni air dan debu. Orang wudhu untuk menghilangkan hadats harus menggunakan air. Jika tidak ditemukan air, maka debu sebagai gantinya. Debu di sini tidak bisa digantikan dengan pasir atau tepung. Pendapat demikian merupakan pendapat al-adh-har. 

Kedua, ada ulama yang menyamakan penggunaan debu bisa diganti dengan sabun dengan alasan sebagaimana orang yang menyamak kulit. 

Kulit bangkai hewan seperti macan, jerapah dan lain sebagainya bisa menjadi suci dengan cara disamak. Setelah suci dapat digunakan untuk baju, shalat dan sebagainya Menyamak bisa dilakukan dengan cara membersikan kulit dari sisa daging, kotoran dan lain sebagainya lalu dicuci menggunakan air, dikasih tawas atau daun yang biasa untuk menghilangkan sisa-sisa kotoran, daging dan sejenisnya. Pada kasus menyamak ini, ulama memperbolehkan bahan penghilang kotoran tidak harus dengan tawas, namun bisa dengan sabun.

Jika pada masalah menyamak ini sabun bisa menduduki pengganti bahan baku yang telah disebut syara’, maka pada bab pencucian najis mughalladhah mestinya sabun bisa menduduki posisi yang sama dengan debu. 

Begitu pula saat orang istinja’. Dalam hadits yang disebutkan media yang bisa dibuat untuk istinja’ ada dua, yakni air dan batu. Namun para ulama sangat banyak yang memperbolehkan istinja’ menggunakan tisu atau apa pun bentuknya yang penting kasar, kesat, sebagai pengganti batu. Pendapat kedua dengan analogi seperti ini, oleh para ulama dikategorikan pendapat adh-har. 

Ketiga, sabun tidak bisa mengganti debu kecuali dalam keadaan darurat. Misalnya, ada orang Muslim tinggal di Hongkong, tempat domisilinya di apartemen lantai 35. Di sana adanya sabun, tidak ada debu. Andaipun ia turun ke lantai bawah, adanya hanya keramik atau bebatuan. Pada kondisi tersebut, orang baru boleh memakai sabun sebagai pengganti debu. 

هل يقوم الصابون والاشنان مقام التراب فيه ثلاثة أقوال أظهرها لا: لظاهر الخبر ولانها طهارة متعلقة فلا يقوم غيره مقامه كالتيمم والثاني نعم كالدباغ يقوم فيه غير الشب والقرظ مقامهما وكالاستنجاء يقوم فيه غير الحجارة مقامها. الثالث أن وجد التراب لم يعدل إلى غيره وان لم يجده جاز اقامة غيره مقامه للضرورة ومنهم من قال يجوز اقامة غير التراب مقامه فيما يفسد باستعمال التراب فيه كالثياب ولا يجوز فيما لا يفسد كالاواني

Artinya: “Apakah sabun dan kayu penghilang kotoran itu bisa menduduki posisi debu?. Di sini ada tiga pendapat. Pendapat al-adh-har adalah tidak bisa sebagaimana bunyi tekstual hadits dan karena ini berkaitan dengan aturan mencuci, maka sabun tidak bisa menggantikan debu sebagaimana tayammum. Kedua, iya, bisa. Hal ini sebagaimana menyamak. Selain tawas dan daun penghilang kotoran bisa digantikan yang lain. Pada saat istinja’, batu bisa digantikan dengan yang lain. Pendapat ketiga, selama masih ada debu tidak bisa digantikan apa pun. Namun apabila tidak ada debu, boleh. Karena darurat. Ada pula pendapat yang menyatakan, selain debu boleh digunakan asalkan seumpama memakai debu bisa merusak objek seperti pakaian. Kalau dengan debu tersebut tidak sampai bisa merusak objek, seperti pada wadah, maka debu tidak bisa digantikan sama sekali. (Abdul Karim bin Muhammad ar-Râfi’I, Fathul Azîz syarah al-Wajîz, [Dârul Fikr], juz 1, halaman 264)

Bagaimana menggunakan pendapat yang kedua, yaitu memperbolehkan sabun sebagai ganti debu?

Jika kita menggali lebih dalam pemakaian istilah al-adh-har pada pendapat yang pertama, maka pendapat dhahir maupun al-adh-har masing-masing merupakan pendapat mazhab Syafi’i, namun karena ada perbedaan pandangan yang tajam, maka yang kuat diistilahkan dengan al-adh-har, sedangkan lawan katanya adalah dhahir. 

Selama kita mampu, mari kita gunakan pendapat al-adh-har, namun jika mengalami kesusahan, kita bisa memilih pendapat dhahir. Menurut para ulama, menggunakan pendapat dhahir masih pada batas toleransi diperbolehkan. 

Berbeda kalau pendapat yang A menyatakan shahîh, maka lawan katanya adalah dlaîf. Mengikuti pendapat dlaif yang semacam ini tidak diperbolehkan. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar