Lima Faktor yang Bisa
Menumbuhkan Sifat Zuhud
Selama ini banyak
orang yang salah paham atau salah mengartikan sifat zuhud. Zuhud bukan berarti
tidak boleh kaya. Zuhud juga bukan harus hidup miskin dan meninggalkan segala
gemerlap kehidupan dunia. Karena bagaimanapun tidak ada larangan bagi umat
Islam untuk meraih kekayaan setinggi-tingginya. Asal cara memperoleh dan
penggunaannya sesuai dengan ajaran Islam.
Sikap zuhud harus
menjadi pondasi kuat manusia di tengah kehidupan duniawi yang penuh dengan rasa
cinta dan ambisi terhadap materi. Menurut Wahib bin Ward, zuhud terhadap dunia
adalah tidak merasa putus asa manakala ada dunia (harta benda) terlepas dari
genggaman dan tidak merasa senang bila ada dunia datang. Sementara Ibnu ‘Ajibah
memaknai zuhud sebagai terbebasnya hati dari ketergantungan selain kepada
Allah.
Sederhananya, zuhud
adalah melenyapkan keterkaitan hati dengan harta. Sehingga zuhud bukan berarti
tidak kaya. Juga tidak identik dengan miskin. Orang kaya belum tentu tidak
zuhud. Orang miskin juga belum pasti memiliki sikap zuhud. Karena zuhud adalah
pekerjaan hati, bukan pekerjaan lahiriyah. Sehingga yang mengetahui
apakah dia zuhud atau tidak adalah dirinya sendiri, dan tentu saja Allah
swt.
“Jangan kalian
mengatakan bahwa seseorang mempunyai sifat zuhud. Karena keberadaan zuhud
adalah di hati,” kata Abu Sulaiman ad-Darani.
Imam Ahmad membagi
zuhud ke dalam tiga tingkatan. Pertama. Tingkatan zuhud orang awam. Pada
tingkatan ini, seseorang dianggap zuhud manakal dia meninggalkan keharaman.
Kedua, tingkatan zuhud orang-orang istimewa (khawash). Yaitu meninggalkan
hal-hal –bahkan yang halal sekalipun- yang melebihi kebutuhannya. Jadi dia
hanya mengambil sesuatu yang menjadi kebutuhannya saja. Ketiga, tingkatan zuhud
orang yang sangat istimewa (al-‘arifin). Pada tingkatan ini, seseorang akan
meninggalkan segala sesuatu yang mengganggunya untuk ingat kepada Allah.
Lalu bagaimana
caranya agar sifat zuhud bisa tumbuh di hati seseorang? Mengutip buku Akhlak
Rasul menurut Al-Bukhari dan Muslim (Abdul Mun’im al-Hasyimi, 2018), setidaknya
ada lima faktor yang bisa menumbuhkan sifat zuhud di dalam hati seseorang.
Pertama, memikirkan kehidupan akhirat. Di dalam Islam, kehidupan di dunia
adalah ladang akhirat. Jika dia beramal baik, maka dia akan mendapatkan pahala
dan ganjaran. Juga sebaliknya. Bila dia berlaku buruk selama di dunia, maka ia
akan mendapatkan siksa. Di akhirat kelak. Dengan senantiasa memikirkan
kehidupan akhirat, maka dia akan selalu ingat bahwa amal yang dia kerjakan di
dunia akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Sehingga dia tidak tertartik
lagi dengan kenikmatan di kehidupan dunia yang sementara ini.
Kedua, menumbuhkan
kesadaran bahwa kenikmatan di dunia bisa memalingkan hati dari ingat kepada
Allah. Di samping itu, perlu juga ditumbuhkan dalam hati bahwa kenikmatan dunia
membuat seseorang akan lama berdiri di hadapan Allah untuk
mempertanggungjawabkan semuanya kepada-Nya.
Ketiga, menumbuhkan
kesadaran bahwa memburu dunia sangatlah melelahkan. Tidak jarang seseorang
saling sikut, berbuat keji dan hina, untuk mendapatkan dunia. Hal itu tentu
saja membuat derajat manusia semakin rendah di hadapan Allah, meskipun mungkin
derajatnya tinggi di hadapan manusia.
Keempat, menyadari
bahwa dunia itu terlaknat. Sebagaimana keterangan dalam hadits nabi, dunia dan
yang ada di dalamnya adalah terlaknat kecuali dzikir kepada Allah, belajar atau
mengajar, dan pekerjaan yang ditujukan hanya kepada Allah. Jadi apapun itu,
jika membuat seseorang menjadi jauh dari Allah maka terlaknat.
Kelima, merasa bahwa
dunia adalah hina dan godaannya bisa membahayakan kehidupan manusia, baik di dunia
maupun di akhirat. Hal ini selaras dengan firman Allah dalam QS. Al-A’laa ayat
16-17; "Sedangkan kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan dunia,
padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal."
Sekali lagi zuhud
bukan berarti anti-harta benda. Juga bukan harus hidup miskin atau identik
dengan kemiskinan. Namun melepaskan keterkaitan hati dengan harta. Contohnya,
banyak sahabat Nabi Muhammad saw. yang kaya namun tetap zuhud seperti
Abduraahman bin Auf, Zubair binAwwam, Zaid bin Tsabit, dan lainnya. Mereka
memiliki harta yang melimpah, namun hartanya tidak membutakan mata dan hati
mereka sehingga melupakan akhirat. []
(A Muchlishon
Rochmat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar