Pergeseran Konflik
Oleh: Komaruddin Hidayat
SEMASA Orde Baru, jika muncul konflik biasanya yang berhadapan adalah aparat negara versus rakyat. Misalnya yang terjadi di Aceh, Papua, Timor Timur, dan beberapa tempat lain seperti kekerasan di Tanjung Priok dan sebagainya. Pemerintah menganggap sekelompok masyarakat telah melakukan pembangkangan ideologis antiideologi Pancasila dan melawan pemerintah pusat.
Maka waktu itu peran ABRI begitu menonjol dengan alasan untuk menjaga stabilitas politik demi menjaga keberlangsungan pembangunan serta memberikan rasa aman pada pemodal asing. Sedemikian kuat peran negara dengan melibatkan ABRI masuk ranah politik praktis agar stabilitas nasional tercipta, sekalipun pada urutannya ABRI mesti keluar dari gelanggang politik praktis setelah Pak Harto lengser dari kursi kepresidenan pada 21 Mei 1998.
Memasuki era Reformasi, pola konflik bergeser, dari yang tadinya vertikal berubah menjadi horizontal, rakyat versus rakyat. Namun, tidak berarti konflik horizontal ini tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan akar-akar masalah pada masa lalu.
Era Reformasi yang ditandai keterbukaan dan kebebasan berserikat serta bersuara, sebagai antitesis era sebelumnya, bahkan diberlakukan desentralisasi kekuasaan, maka rakyat yang tadinya terlihat diam tiba-tiba bangkit dan tampil ke panggung politik secara terbuka dan lantang menyuarakan aspirasinya. Mereka yang tadinya merasa tertekan dan terpinggirkan tidak berani bersuara mengkritik pemerintah, di era Reformasi mereka tampil bicara paling lantang seakan hendak memuntahkan uneg-unegnya yang terpendam bertahun-tahun.
Kita merasakan kekagetan. Semboyan, pujian, dan kekaguman terhadap rajutan dan mozaik bangsa yang majemuk dengan moto "Bhinneka Tunggal Ika" terkena interupsi. Bahwa ternyata bangsa ini menyimpan potensi konflik antarsesama anak bangsa yang tersembunyi di balik karpet yang terlihat indah tertata rapi.
Demokrasi liberal dan kehadiran media sosial (medsos) telah membuka ruang lebar dan leluasa bagi siapa saja untuk bersuara menyampaikan perasaan dan pikirannya, baik sebagai pribadi, kelompok etnis, ikatan profesi, organisasi politik, maupun komunitas agama. Maka langit sosial-politik semakin gaduh dan berpotensi merobek mozaik dan mematahkan pigura kesatuan bangsa.
Setiap menjelang pilkada dan pemilu, lebih khusus lagi Pilkada DKI dan Pemilu 2019 ini, terlihat sekali terjadinya gesekan dan konflik horizontal yang memperlemah eksistensi dan peran negara. Sentimen etnis dan agama telah dieksploitasi untuk memperkuat identitas dan solidaritas kelompok untuk menggalang massa partai politik, namun tidak terkonsolidasikan secara optimal untuk memajukan bangsa dan negara.
Bahkan, muncul kelompok yang memanfaatkan identitas agama untuk melawan pemerintah dan negara. Ini semua sekadar contoh kecil terjadinya pergeseran pola konflik yang tadinya negara berhadapan dengan masyarakat, belakangan ini sekelompok masyarakat versus masyarakat.
Gejolak masyarakat dan mahasiswa Papua yang terjadi belakangan ini dan menyuarakan referendum untuk lepas dari NKRI, tentu saja tak lepas dari konflik masa lalu, antara kekuatan negara berhadapan kekuatan rakyat. Masyarakat Papua belum merasa terintegrasikan secara penuh sehingga tingkat pendidikan dan ekonomi mereka masih jauh tertinggal dari etnis yang lain.
Sisa-sisa kenangan pahit dari konflik masa lalu ini ternyata memberi andil bagi terciptanya konflik horizontal. Beda dari masa Orde Baru di mana peran negara dan pemerintah begitu kuat, saat ini kekuatan politik dan ekonomi telah terfragmentasi dan terdesentralisasi sehingga jika tidak terkonsolidasi dan terarahkan sepenuhnya untuk memperkuat dan memajukan bangsa, sulit bangsa ini untuk maju.
Terlalu banyak energi bangsa dan negara hanya untuk merajut kembali serta menjaga kerukunan nasional. Lagi-lagi, agama, ormas, dan parpol kehilangan daya kreasi, inovasi, dan kekuatan kohesi untuk meneruskan cita-cita kemerdekaan yang masih jauh jaraknya. []
KORAN SINDO, 13 September 2019
Komaruddin Hidayat | Rektor Universitas Islam Internasional
Indonesia (UIII)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar