Selasa, 31 Oktober 2017

Kang Komar: Pesona Tidore



Pesona Tidore
Oleh: Komaruddin Hidayat

SEBUAH ketidaksengajaan yang sangat mengesankan, akhirnya sampai juga saya menginjakkan kaki di Pulau Tidore setelah diskusi buku Building A Ship While Sailing bersama pengarangnya, SD Darmono, di Universitas Khairun, Ternate, pada 23 Oktober lalu.

Hanya 10 menit naik kapal boat dari Ternate, Anda akan sampai di Pulau Tidore, sebuah pulau di Maluku Utara seluas sekitar 40 km persegi dengan penduduk 100.000 jiwa. Alamnya subur, bangunan kantor, masjid, dan rumah berdiri di pinggir jalan menghadap ke laut di bawah kaki Gunung Matubu.

Hanya butuh waktu dua jam dengan naik mobil untuk berkeliling menelusuri jalan utama Tidore melihat keindahan alam dengan suasananya damai. Bangunan masjid terlihat di sepanjang perjalanan sehingga Pulau Tidore juga disebut Pulau Seribu Masjid.

Menurut Rifda Amarina, seseorang pengusaha putri Ternate alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) yang menjadi guide kami, masyarakat Tidore hidupnya santai, tenang, bahagia, tidak merasa dikejar-kejar waktu, tidak juga cemas menghadapi masa depan. Mereka tidak konsumtif, berpakaian sekadarnya, terpenting nyaman dan sopan.

Terlihat memang beberapa ibu dengan daster berjalan santai di jalan utama untuk belanja dan ada lagi yang naik motor. Saya melihat beberapa orang tua hanya mengenakan pakaian pendek tanpa baju duduk-duduk di depan rumah. Mereka hidup damai menyatu dengan alam. Kendaraan umum tidak boleh beroperasi di atas pukul 18.00 agar tidak mengganggu ketenangan malam.

Rifda menunjuk lembaran seribu rupiah, di sana ditampilkan Pulau Maitara yang sangat menawan dikelilingi laut yang jernih, ikut mempercantik pemandangan alam Tidore dan Ternate. Sejak dulu Pulau Tidore juga dikenal dengan komoditas cengkeh dan palanya yang membuat Belanda, Portugis, dan Spanyol berebut datang ke pulau ini.

Kami sempat mengunjungi peninggalan benteng Portugis di Ternate dan benteng Spanyol di Tidore, dua negara yang pernah bersaing menguasai rempah-rempah di sana. Namun, pedagang Arab datang lebih dahulu sambil menyebarkan Islam sehingga wilayah ini disebut jaziratul muluk, wilayah yang memiliki banyak raja atau sultan.

Saking indah alamnya dan kaya dengan ragam ikannya, banyak mereka yang hobi memancing untuk datang ke tempat ini. Di pengujung Oktober ini untuk yang pertama kali diselenggarakan turnamen memancing tingkat internasional di sekitar Pulau Widi.

Widi International Fishing Turnament 2017 ini diikuti 12 negara dengan jumlah peserta sekitar 250 orang. Para turis pemancing ini diharapkan nanti ikut mempromosikan fishing tour daerah Maluku Utara pada dunia, mengingat wilayah ini kaya dengan berbagai jenis ikan langka dengan airnya yang jernih serta ombaknya kecil karena dikelilingi pulau-pulau.

Berbeda dari pemancing masyarakat kita, peserta turnamen ini tidak akan membawa pulang ikannya. Kalau berhasil mendapatkan ikan, panitia atau juri akan menimbang dan menghitung bobotnya, lalu ikannya dilepas kembali ke laut. Jadi pemenang adalah yang terbanyak menangkap ikan.

Kata Rifda, penduduk Tidore akan merasa miskin dan malu jika tidak bisa menyediakan makan bagi setiap tamu yang berkunjung ke rumahnya. Kehidupan mereka ditopang oleh pertanian dan nelayan. Bangunan rumah dan masjidnya kokoh, bagus-bagus, tetapi penduduk sedikit.

Kesultanan Ternate dan Tidore masih dilestarikan sampai hari ini. Dulu di antara sultan itu kadang terjadi perseteruan. Misalnya, pada tahun 1521, Sultan Mansur Tidore menerima Spanyol sebagai sekutu untuk mengimbangi Kesultanan Ternate yang bersekutu dengan Portugis. Namun, pada masa Sultan Nuku (1780–1805), Kesultanan Tidore dan Ternate bisa dipersatukan untuk melawan Belanda yang dibantu Inggris.

Hari ini Kesultanan Tidore dipegang oleh Sultan Husain Syah. Ketika kami berkunjung ke istananya hanya sempat berbicara lewat telepon karena Sultan sedang di Jakarta. Sedangkan Kesultanan Ternate dipegang Mudzafar Shah.

Di antara sultan Ternate yang terkenal adalah Sultan Babullah (1528–1583) yang namanya diabadikan sebagai nama Airport Ternate, sedangkan ayahnya, Sultan Hairun, namanya diabadikan sebagai Universitas Negeri Khairun, Ternate.

Melihat dari dekat kekayaan dan keindahan alam Maluku Utara, sungguh merupakan potensi industri pariwisata amat sangat besar. Mengingatkan kita pada industri wisata Yunani yang memberikan devisa tertinggi pada kas negara.

Tetapi sangat disayangkan potensi ini tidak atau belum diberdayakan oleh pemerintah pusat dan daerah secara optimal. Saya kira turis asing, seperti Jepang atau Belanda, akan sangat menikmati tinggal berlama-lama di Pulau Tidore yang sepi dengan pemandangan alamnya yang memesona sambil menapak tilas sejarah. []

KORAN SINDO, 27 Oktober 2017
Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar