Kisah Mbah Maemun
Zubair Jadi Buruh di Rumah Makan
Shalat itu boleh
dikata masih masuk akal. Gerakan-gerakannya jelas-jelas menggambarkan sikap
menyembah dan memuja. Belum lagi bacaan-bacaannya. Tapi haji?
Thawaf itu ya cuma
lenggang-kangkung mengelilingi sebuah kubus. Tak ada rukun lainnya. Tak ada
mantera atau doa apa pun yang diharuskan. Engkau bisa thawaf sambil ngerumpi
soal Jokowi tanpa menciderai keabsahannya. Wira-wiri Shafa-Marwah pergi-pulang?
Apalagi! Malah tak ada syarat bersuci. Dan wukuf? Kongkow di sebuah padang
gersang. Boleh sambil tidur atau pun pingsan. Sesudah itu apa? Melempari tembok
dengan kerikil! Apa yang masuk akal dari semua itu?
Dulu, pada masa
ketika Jumrah masih tiang yang ramping dan orang-orang harus berebut
mengincarnya, ada seorang jemaah haji yang sampai frustrasi. Sedang konsentrasi
mengincar, tangannya kesenggol hingga kerikilnya jatuh. Ia ulangi lagi,
kesenggol lagi jatuh lagi. Ia ulangi, begitu lagi. Terus sampai entah berapa
kali. Hingga di puncak kaku-hati, ia pun menjerit,
“Yaa Allaah
Gustiiiii!!! Ini ngibadah cap apaaaa!!!”
Tapi tak bisa
dijelaskan bukan berarti tak ada penjelasan. Engkau hanya tak tahu. Atau tak
menemukan kata-kata untuknya. Nyatanya, jika kau sungguh percaya, ada sejenis
rasa yang merembes dan mengendap ke dalam jiwamu saat kau melaksanakan laku
haji itu. Rasa yang terus menyertaimu hingga kapan saja. Menghangati jiwamu
dengan rindu. Dan mimpi abadi pengen balik lagi.
Saya sempat menduga,
panggilan haji itu layaknya sebuah tantangan. Sejauh mana engkau percaya,
hingga patuh disuruh apa saja. Bahkan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bagi
akal netral tak lebih dari omomg-kosong belaka.
Kalau kau tanya
alasan untuk percaya, alasannya adalah bukti. Sejak pertama kali kesana, nyaris
dua puluh tahuan yang lalu, semua hal duniawi yang saya minta dalam doa-doa
saya di Tanah Suci sudah diijabahi. Tuntas. Tanpa sisa. Mulai dari isteri
cantik sampai perubahan politik. Dituruti tanpa kecuali. Sekarang kalau akan
kesana lagi, saya harus memikirkan permintaan yang baru.
Maka tak ada yang
mengherankan kalau seorang seperti Simbah Kyai Maimun Zubair entah sejak kapan
beristiqomah berangkat haji setiap tahunnya. Keterbatasan quota ONH tak pernah
menghalangi beliau. Apa pun jalan yang mungkin, beliau tak ragu menempuhnya.
Visa jenis apa pun beliau mau. Tak ada visa haji, visa ziarah pun boleh. Bahkan
pernah beliau harus berangkat dengan visa tenaga kerja musiman. Yakni yang
khusus untuk dipekerjakan selama musim haji saja.
Demikianlah. Syahdan,
di gawang imigrasi Madinah, masalah datang. Petugas imigrasi tak percaya orang
setua itu datang sebagai tenaga kerja. Ya logis to. Lha wong usia beliau sudah
mendekati 90 tahun.
Mbah Maimun jelas tak
mau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dicecarkan saat interogasi. Kalau
beliau terang-terangan bicara bahasa Arab dengan fasih dan lancar sekali, itu
hanya berarti mementokkan kecurigaan petugas imigrasi. Maka beliau menyabarkan
diri bertawakkal walau tertahan berjam-jam. Sampai kemudian seorang santri
Sayyid Muhammad bin ‘Alawy Al Maliki, yang memang bertugas menjemput, menjadi
terlalu cemas karena kalamaan menunggu. Lalu menerobos ke kantor imigrasi untuk
mencari tahu. Dan cecaran pertanyaan petugas pun beralih kepadanya,
“Apa benar dia ini
tenaga kerja?”
“Masa?”
“Saumpritt!”
“Setua ini?”
“Memangnya nggak
boleh?”
“Kerja dimana coba?”
“Di rumah makan.”
“Orang setua ini mau
disuruh kerja bagian apa?”
“Bagian icip-icip!”
Entah percaya betulan
atau hanya karena kasihan atau karena karamah Mbah Maimun sendiri, petugas
imigrasi akhirnya meloloskan beliau dengan status buruh rumah makan bagian
mencicipi masakan. []
(KH Yahya Kholil
Staquf)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar