Benarkah Nabi Marah Jika
Agama Allah Dihina?
Beredar di media sosial (medsos) potongan
gambar yang berisi keterangan sebagai berikut:
كان صلى الله عليه وسلم لا يغضب لنفسه
فإذا ا تنتهكت حرمات الله لم يقم لغضبه شيء
Diberi penjelasan bahwa ini ucapan Sayyid
Thantawi, yang disarikan dari Hadits riwayat Hindun bin Abi Halah, yang
dikeluarkan oleh Imam al-Thabarani dan Imam al-Tirmidzi. Lantas teks Arabnya
diberi terjemahan sebagai berikut:
"Nabi SAW tidak marah untuk
kepentingan (pribadinya). Namun jika agama Allah dihina (ajaranNya dilanggar),
maka tidak ada sesuatu apapun yang bisa tegak di hadapan kemarahan
beliau."
Pernyataan lewat gambar dan video diviralkan
untuk melegitimasi bahwa wajar orang Islam marah kalau ajaran agamanya dihina.
Benarkah keterangan di atas? Mari kita ngaji bersama.
Pertama, terjemahan teks di
atas cukup tendensius. Kalimat yang benar justru yang di dalam kurung "jika
ajaranNya dilanggar", bukan "jika agama Allah dihina".
Pengembangan makna (untuk tidak mengatakan terjemahan ini sudah dipelintir) ini
yang bermasalah. Jadi terjemahan yang tepat adalah:
"Nabi SAW tidak marah untuk
kepentingan (pribadinya). Namun jika ajaranNya dilanggar, maka tidak ada
sesuatu apapun yang bisa tegak di hadapan kemarahan beliau."
Apa maksudnya? Kita akan jelaskan di bawah
ini setelah membahas soal sumber kutipan teks di atas.
Kedua, teks ini
diriwayatkan dari Hindun bin Abi Halah. Siapa beliau? Abi Halah adalah suami
Siti Khadijah sebelum menikah dengan Rasulullah SAW. Jadi Hindun itu adalah
anak tiri Nabi Muhammad. Sewaktu Siti Khadijah menikah dengan Nabiyullah,
Hindun ini berusia remaja dan tinggal bersama Nabi Muhammad dan ibunda Siti
Khadijah.
Itulah sebabnya Hindun tahu persis
seluk-beluk perilaku keseharian Nabi. Dalam riwayat panjang yang dikutip Sayyid
Thantawi, seperti yang saya akan jelaskan di bawah, Sayyidina Hasan bertanya
kepada pamannya, yaitu Hindun bin Abi Halah mengenai sosok sang Datuk.
Ketiga, entah mengapa yang
diedarkan di atas adalah teks ucapan Sayyid Thantawi, mantan Grand Syekh
al-Azhar dan Mufti Mesir, kok bukan teks Haditsnya langsung? Apa karena
khawatir ada pertanyaan mengenai kesahihan status hadits dari Imam al-Thabarani
dan Imam al-Tirmidzi? Maklum ada kecenderungan untuk menganggap seolah hanya
Hadits dari Bukhari-Muslim saja yang sahih. Tentu tidak demikian.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam at Tirmidzi
dengan lengkap dalam kitab asy-Syama'il. Saya tidak menemukannya dalam kitab
Sunan al-Tirmidzi. Kitab Syama'il ini berkisah tentang sosok Rasulullah SAW.
Ini dalam konteks pembahasan mengenai adab atau etika, bukan berkenaan dengan
hukum agama. Kita bisa bandingkan kitab Syama'il ini dengan kitab Adab
al-Mufrad yang ditulis oleh Imam Bukhari, selain beliau menulis kitab Sahih
Bukhari yang terkenal itu.
Riwayat lengkap penuturan mengenai akhlak
Nabi ini juga dicantumkan oleh Ibn Katsir dalam kitab al Bidayah wan Nihayah
(6/33). Sanad hadits ini disebutkan oleh al-Hakim dalam kitab al Mustadrak
(3/640). Hadits itu juga dikeluarkan oleh Imam Thabarani dan Ibnu Asakir
seperti yang terdapat dalam kitab Kanzul Ummal (4/32) dan oleh Baghawi dalam
kitab al-Ishabah (3/611).
Saya kutipkan teks terkait untuk memahami
konteks pernyataan Hindun bin Abi Halah:
لا يتكلم في غير حاجة، طويل السكوت،
يفتتح الكلام ويختمه بأشداقه، يتكلم بجوامع الكلم، فصل لا فضول ولا تقصير، دمث ليس
بالجافي ولا المهين، يعظم النعمة وإن دقت لا يذم منها شيئا ولا يمدحه، ولا يقوم
لغضبه إذا تعرض للحق شيء حتى ينتصر له.
"Rasulullah SAW tidak
berkata-kata kecuali seperlunya, beliau lebih sering diam. Beliau memulai dan
menyudahi pembicaraan dengan sepenuhnya, dan tidak bicara dengan bibir saja.
Perkataannya singkat tetapi mempunyai makna dan hikmah yang dalam. Tidak
mencela dan tidak pula memuji dengan berlebihan. Tidak ada seorangpun yang bisa
melawan kemarahannya jika kebenaran didustakan sehingga beliau memenangkan
kebenaran itu."
وفي رواية: لا تغضبه الدنيا وما كان
لها، فإذا تعرض للحق لم يعرفه أحد، ولم يقيم لغضبه شيء حتى ينتصر له، لا يغضب
لنفسه ولا ينتصر لها، إذا أشار أشار بكفه كلها، وإذا تعجب قلبها،
Dalam riwayat lain dikatakan,
"Rasulullah SAW tidak marah disebabkan urusan duniawi, tetapi apabila
kebenaran didustakan, beliau SAW akan marah tanpa ada seorangpun yang bisa
tegak dihadapan kemarahan beliau, sehingga beliau memenangkan kebenaran itu
baginya.
Beliau tidak marah berkaitan dengan
kepentingannya sendiri, dan tidak pernah memberikan hukuman karena dirinya
sendiri. Apabila beliau menunjuk atau memberi isyarat ke arah sesuatu, beliau
akan menunjuknya dengan seluruh telapak tangannya. Apabila beliau merasa
takjub, beliau akan membalikan telapak tangannya."
Maka jelas konteks marahnya Rasul itu bukan
karena soal dihina, tapi karena soal kebenaran yang dilanggar atau didustakan.
Sebenarnya teks senada juga tercantum dalam kitab Sahih Bukhari (hadits no
6288), Sahih Muslim (4294) dan Sunan Abi Dawud (4153).
Saya cantumkan teks dari Sahih Bukhari:
٦٢٨٨ - حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ مَا خُيِّرَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا اخْتَارَ
أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَأْثَمْ فَإِذَا كَانَ الْإِثْمُ كَانَ أَبْعَدَهُمَا
مِنْهُ وَاللَّهِ مَا انْتَقَمَ لِنَفْسِهِ فِي شَيْءٍ يُؤْتَى إِلَيْهِ قَطُّ
حَتَّى تُنْتَهَكَ حُرُمَاتُ اللَّهِ فَيَنْتَقِمُ لِلَّهِ
"Rasul memilih perkara yg ringan
jika ada dua pilihan selama tidak mengandung dosa. Jika mengandung dosa, Rasul
akan menjauhinya. Demi Allah, beliau tidak pernah marah karena urusan pribadi,
tapi jika ajaran Allah dilanggar maka beliau menjadi marah karena Allah
(lillah)."
Jadi sekali lagi jelas bahwa ini konteksnya
Rasulullah bukan marah karena agama Allah dihina. Tapi marah kalau
kebenaran/ajaran Allah dinodai dengan cara melanggar atau mendustai ajaran
Islam itu sendiri. Jadi marahnya Rasul itu semata karena Allah, bukan karena
dendam pribadi apalagi karena urusan politik pilpres dan pilkada di TPS (tempat
pemungutan suara).
Yang banyak terjadi sekarang ini lain lagi.
Kita marah, terus kita --mengutip Gus Mus -- sok penting seakan-akan Allah juga
ikutan marah. Emang siapa kita sih?!
Terus kita marah-marah dengan kutip
sana-pelintir sini, biar disangka Allah ikutan marah juga. Kok teganya Nabi
yang diutus untuk menyempurnakan akhlak dan Allah Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang itu dianggap sedikit-sedikit marah, sedikit-sedikit terhina.
Bersabda Rasulullah SAW:
لَمَّا
قَضَى اللهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِي كِتَابِهِ فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ اْلعَرْشِ :
إِنَّ رَحْمَتِيْ غَلَبَتْ غَضَبِيْ
Tatkala Allah menciptakan makhluk-Nya,
Dia menulis dalam kitab-Nya, yang kitab itu terletak di sisi-Nya di atas ‘Arsy,
“Sesungguhnya rahmat-Ku lebih mengalahkan kemurkaan-Ku.” (HR. Bukhari no.
7404 dan Muslim no. 2751)
Luar biasa kan, kasih sayang Allah itu
melebihi murkaNya! Kalau kita terbalik: marahnya kita sampai ke ubun-ubun
hingga lepas kontrol mengeluarkan kosa kata yang tidak pantas, dan marahnya
terus berkepanjangan dari 2014 sampai 2019 --boro-boro kita mau belajar menahan
amarah agar bisa menyayangi dan menebar rahmat untuk semesta. Duh,
Gusti....[]
Nadirsyah Hosen, Rais Syuriyah Pengurus
Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia-New Zealand.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar