Ketika PKI Mengelabui
Mata Rakyat
Sepuluh tahun sebelum
Partai Komunis Indonesia (PKI) secara nyata bughot (memberontak) terhadap
pemerintah RI, mereka ikut menjadi kontestan dalam Pemilihan Umum (Pemilu)
tahun 1955 yang melibatkan 13 partai lain termasuk Partai Nahdlatul Ulama (NU).
Pemilu pertama dalam
sejarah Indonesia ini disebut-sebut berjalan demokratis. Namun demikian, PKI
memunculkan kegaduhan dengan menyalahi ketetapatan Menteri Dalam Negeri Mr. R.
Sunaryo perihal lambang partai. Semua partai menyepakati ketetapan Mendagri,
kecuali PKI.
Tanda gambar PKI
berupa palu arit dibubuhi tulisan “PKI dan orang-orang tak berpartai” diprotes
oleh NU namun PKI tetap bertahan. Terjadi silang pendapat di antara NU dan PKI
yang berujung pada Mr. R. Sunaryo untuk memanggil perwakilan dari kedua partai.
Dilakukanlah
musyawarah yang menghadirkan wakil-wakil NU dan PKI disaksikan Mendagri dan
Ketua Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) S. Hadikusumo. Partai NU mengutus Idham
Chalid dan Munir Abisudjak, sedangkan PKI mengirim DN. Aidit dan Sudisman.
Terjadilah perdebatan sengit di antara mereka seperti yang diungkap KH
Saifuddin Zuhri dalam memoarnya Berangkat dari Pesantren sebagai berikut:
Mr. R. Sunaryo: Saya
persilakan wakil NU untuk mengemukakan keberatan-keberatannya.
Idham Chalid: Menurut
NU, tanda gambar atau simbol PKI selama ini cuma palu arit, tak ada embel-embel
kalimat, ‘dan orang-orang tak berpartai’.
DN. Aidit: PKI
berpendapat bahwa banyak sekali orang-orang tak berpartai tetapi memercayakan
perjuangan politiknya kepada PKI. Karena hasrat yang mulia itu kami
tampung.
Idham Chalid: Tetapi
tidak semua orang tak berpartai simpati kepada PKI. Dengan menyamaratakan semua
orang tak berpartai seolah-olah simpati PKI jelas bahwa ada niat PKI mencatut
nama rakyat bahkan hendak mengelabui mata rakyat.
DN. Aidit: Saya
protes saudara menuduh PKI mencatut nama rakyat bahkan mengelabui mata rakyat.
Idham Chalid: Protes
saudara saya tolak. Saya sekadar menyatakan kenyataan yang saya rasakan.
Sudisman: Dari mana
saudara merasakan PKI mengelabui mata rakyat?
Idham Chalid: Dari
kenyataan yang ada dalam masyarakat. Di sana banyak orang-orang tak berpartai
yang bersimpati kepada NU, kepada Masyumi, kepada PNI dan sebagainya. Kalau
terhadap mereka yang pandangan hatinya berbeda-beda lalu dituntut seolah-olah
mereka juga ikut PKI semua, apakah ini bukan mencatut nama rakyat dan
mengelabui mereka?
Karena situasi
musyawarah semakin panas, Mendagri Sunaryo mengambil alih dan menyela
perdebatan.
Mr. R. Sunaryo: Saya
harap saudara Aidit mengindahkan keberatan pihak lain!
S. Hadikusumo: Saya
kira PKI tidak boleh mengikuti kehendak sendiri. Semua tanda gambar dalam
pemilu harus diputuskan melalui kebulatan bersama.
DN. Aidit: Kalau
begitu saya usulkan agar NU juga menambah kalimat, ‘NU dan semua orang Islam’
di bawah tanda gambarnya.
Idham Chalid: Tidak
bisa! Bagaimana saya harus melakukan hal-hal yang saya sendiri memprotesnya?
Orang-orang Islam yang tidak berpartai itu hati kecilnya mempunyai simpati
kepada partai tertentu. Ada yang bersimpati pada Masyumi, PSII, Perti, dan ada
yang kepada PNI maupun IPKI dan sebagainya. Saya tidak ingin NU mencatut nama
orang-orang tak berpartai seolah-olah pro NU semua.
DN. Aidit dan
Sudisman akhirnya tidak mempunyai argumen-argumen lain untuk membantah Idham
Chalid. Pada kesempatan ini, akhirnya Mendagri Mr. R. Sunaryo dan Ketua PPI S.
Hadikusumo memutuskan bahwa PKI dilarang menyematkan kalimat ‘orang-orang tak
berpartai’, kecuali tanda gambar palu arit.
Setelah pertarungan
dalam pemilu usai, berikut perolehan suara partai-partai dalam pemilu 1955
tersebut: PNI (57 suara), Masyumi (57 suara), NU (45 suara), PKI (39 suara),
PSII (8 suara), Parkindo (8 suara), Partai Katolik (6 suara), PSI (5 suara),
Perti (4 suara), IPKI (4 suara), Murba (2 suara), Partai Buruh (2 suara), dan
Gerakan Pembela Pancasila (2 suara). []
(Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar