Khalifah
Hisyam bin Abdul Malik: Nepotisme dan Peperangan yang Tak Terhindarkan
Oleh:
Nadirsyah Hosen
Ini kisah
khalifah kesepuluh Dinasti Umayyah. Khalifah Hisyam bin Abdul Malik
menggantikan Abang tirinya (berlainan ibu), yaitu Yazid bin Abdul Malik. Saat
Yazid wafat, Hisyam sedang berada di luar Damaskus, tepatnya di villanya yang
berada di area Zaitunah. Seorang utusan datang membawa surat pemberitahuan
ihwal wafatnya Khalifah Yazid dan membawa cincin khalifah serta mengabarkan
bahwa Yazid telah mewasiatkan Hisyam sebagai penggantinya.
Hisyam,
yang ibunya telah dicerai ayahnya saat dulu melahirkannya, segera berangkat
dikawal menuju Damaskus untuk menerima bai’at sebagai khalifah.
Dalam
tulisan Khalifah Ketujuh Umayyah: Sulaiman yang Narsis, saya telah mengisahkan
bahwa saat Umar bin Abdul Azis diumumkan sebagai khalifah, wajah Hisyam
tertunduk lemas karena berharap dialah yang diangkat sebagai khalifah. Namun
ternyata Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik malah menyebutkan nama Umar dan
kemudian Yazid bin Abdul Malik. Jadi, Hisyam menunggu sekitar 6-7 tahun,
diselingi dua khalifah, Umar dan Yazid, sebelum akhirnya dia berkuasa pada usia
34 tahun.
Dari
jalur ibunya, Hisyam merupakan keturunan al-Walid bin al-Mughirah, seorang
pembesar Quraisy yang sangat anti-Islam. Beberapa ayat al-Qur’an secara tidak
langsung merujuk pada peristiwa yang melibatkan al-Walid bin al-Mughirah.
Misalnya, Surat Abbasa yang turun di saat Rasulullah SAW sedang berusaha
menarik hati pembesar Quraisy, termasuk al-Walid bin al-Mughirah ke dalam
Islam, lalu datang Ibn Umm Maktum, seorang buta yang hendak bebricara dengan
Rasulullah.
Atau
Surat al-Kafirun yang turun di saat sejumlah pembesar Quraisy, termasuk
al-Walid al-Mughirah, menawarkan agar Rasul mau berkompromi dengan cara hari
ini menyembah Allah, dan esoknya menyembah Tuhan mereka, lantas turun ayat yang
sangat terkenal, “lakum dinukum waliyadin”. Kesemuanya itu melibatkan
al-Walid bin al-Mughirah.
Saat
Hisyam menjadi Khalifah, dia mengangkat pamannya dari jalur ibu Ibrahim bin
Hisyam bin Ismail sebagai gubernur di Madinah dan memilihnya sebagai Amirul
Hajj (pemimpin jamaah haji). Imam al-Thabari menceritakan beberapa anekdot
bagaimana Ibrahim yang tidak mengerti apa-apa memimpin jamaah haji.
Misalnya,
pada tahun 105 Hijriah, Ibrahim (paman Khalifah Hisyam) membuat kehebohan
karena berkhutbah sebelum zuhur di hari tarwiyah. Padahal tradisi saat itu
berkhutbah setelah matahari tergelincir. Ulama Mekkah saat itu, Atha bin Abi
Rabah, sudah mengingatkan Ibrahim akan waktu berkhutbah namun Ibrahim salah
paham dan akhirnya gagal paham.
Pada
tahun 109, Ibrahim bin Hisyam membuat kehebohan lagi saat kembali memimpin
jamaah haji. Pada 11 Zulhijjah, dia memberi khutbah dengan membanggakan
keturunanya, “Tanyalah apa saja kepadaku, aku akan bisa menjawabnya karena aku
lebih tahu dari kalian. Akulah keturunan seorang yang tersendiri dan sangat
unik (al-wahid).” Nepotisme keluarga membuat Khalifah Hisyam memilih pamannya
ketimbang memilih orang terbaik sebagai gubernur Madinah dan amirul hajj.
Sadar
bahwa banyak desas-desus akan kebodohannya, maka Ibrahim bin Hisyam ingin
membuktikan pada khalayak bahwa dia orang yang sangat pintar. Bahkan dengan
mengandalkan menyebut keturunannya, yaitu al-Walid bin al-Mughirah, yang
disebut dalam Surat al-Mudatssir ayat 11 sebagai “wahidan”.
Celakanya,
Ibrahim yang sangat bodoh ini tidak paham bahwa konteks ayat 11 Surat
al-Mudatssir menyebut a-Walid bin al-Mughirah itu dengan kehinaan bukan dalam
konteks membanggakan atau memuliakannya. Karenanya menjadi tambah lucu ketika
Ibrahim justru membanggakan “kepandaian”-nya dengan menunjukkan “ketidaktahuannya”
atas kecaman al-Qur’an terhadap kakeknya.
Apa boleh
buat, memang dari dulu ada orang yang hanya mengandalkan satu ayat tanpa paham
tafsir dan asbabun nuzul-nya dan tidak malu mempertontonkan kebodohannya itu.
Diriwayatkan
dan disahihkan oleh al-Hakim, yang bersumber dari Ibnu‘Abbas. Sanad hadits ini
sahih menurut syarat al-Bukhari. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi
Hatim bahwa al-Walid bin al-Mughirah datang kepada Nabi. Kemudian beliau
membaca al-Qur’an kepadanya sehingga ia pun tertarik. Berita ini sampai kepada
Abu Jahl, sehingga dia sengaja datang kepada al-Walid sambil berkata: “Hai
Paman! Sesungguhnya kaummu akan mengumpulkan harta untuk diberikan kepadamu
dengan maksud agar engkau mengganggu Muhammad.”
Al-Walid berkata: “Bukankah kaum
Quraisy telah mengetahui bahwa aku yang paling kaya di antara mereka dan paling
punya banyak anak?” Selanjutnya Abu Jahl berkata: “Kalau demikian, ucapkanlah
sebuah perkataan yang menunjukkan bahwa engkau ingkar dan benci kepadanya
(Muhammad).”
Al-Walid
berkata: “Apa yang harus aku katakan? Demi Allah tidak ada seorang pun di
antara kalian yang lebih tinggi syairnya, sajaknya, ataupun kasidahnya daripada
gubahanku, bahkan syair-syair jin pun tidak ada yang mengungguli aku. Demi
Allah, sepanjang yang aku ketahui, tidak ada yang menyerupai ucapan Muhammad
sedikit pun (maksudnya ayat al-Qur’an). Demi Allah, ucapannya manis, bagus,
indah, gemilang dan cemerlang. Ucapannya tinggi, tak ada yang lebih tinggi
daripadanya.”
Abu Jahl
berkata: “Kaummu tidak akan senang sebelum engkau menunjukkan kebencianmu
kepada Muhammad.” Al-Walid berkata: “Baiklah aku akan berfikir dahulu.” Setelah
berfikir dia pun berkata: “Benar, ucapan Muhammad itu hanyalah sihir yang
berkesan, yang memberi pengaruh jelek kepada yang lainnya.”
Maka,
turunlah ayat ini (Al-Muddatstsir: 11: “Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang
yang Aku telah menciptakannya sendirian” sebagai ancaman kepada al-Walid bin
al-Mughirah. Ayat 26 tegas mengatakan “Kelak Aku akan memasukkanya ke dalam
(neraka) Saqar.”
Imam
al-Qurtubi, Imam Suyuthi, dan Imam Ibn Katsir sepakat mengatakan rangkaian ayat
11-26 Surat al-Mudatssir ditujukan kepada al-Walid bin al-Mughirah.
Jadi,
jangan cepat bangga kalau nenek moyang Anda dirujuk oleh ayat al-Qur’an.
Jangan-jangan Anda orang Arab keturunan Abu Lahab dan Abu Jahal. Namun demikian
perlu disebut juga, tidak otomatis keturunan al-Walid bin al-Mughirah akan
masuk neraka. Contohnya, Khalid in Walid, panglima perang pasukan Rasulullah,
merupakan salah satu anak al-Walid bin al-Mughirah, yang berjasa untuk islam.
Hanyalah tradisi jahiliyah belaka yang membuat kita membanggakan keturunan
kita.
Kembali
kepada Ibrahim bin Hisyam yang diangkat Khalifah Hisyam bin Abdul Malik.
Selepas dia menantang khalayak untuk mengajukan pertanyaan, seseorang bangkit
dan kemudian bertanya kepada Ibrahim mengenai kewajiban berkurban. Ibrahim
tidak menyangka akan ada yang akhirnya berani menyambut tantangannya. Ibrahim
terdiam dan kemudian duduk kembali karena dia tidak tahu jawaban atas
pertanyaan itu.
Demikianlah kalau kekhilafahan
berdasarkan nepotisme kekeluargaan, sehingga orang bodoh pun bisa diangkat
menjadi Gubernur Madinah dan diserahi tanggung jawab untuk memimpin jamaah
haji.
Imam Suyuthi mengabarkan bahwa
karakter Khalifah Hisyam ini berbeda dengan Yazid bin Abdul Malik, khalifah
yang digantikannya. Dalam tulisan Khalifah Yazid bin Abdul Malik: Instabilitas
dan Pertumpahan Darah, saya sudah ceritakan bagaimana berbagai peperangan
pada masa Khalifah Yazid bin Abdul Malik terjadi. Namun, menurut Imam Suyuthi,
Khalifah Hisyam ini tidak haus darah.
Dia
berusaha menstabilkan kondisi dengan sedapat mungkin tidak menumpahkan darah.
Dia berkuasa cukup lama, yaitu 19 tahun. Dia berusaha keras untuk mengembalikan
suasana pemerintahan seperti pada masa Khalifah Umar bin Abdul Azis.
Namun,
pertempuran demi pertempuran tidak bisa dielakkan. Pasukan Hisyam berhasil
menaklukkan pemberontakan di India, sehingga kekuasaan Islam bertahan di India
pada masanya. Peperangan juga berlanjut melawan kekaisaran Romawi. Dia dibantu
oleh Maslamah bin Abdul Malik, saudaranya yang dia angkat sebagai jenderal.
Dia juga
dibantu oleh Mu’awiyah bin Hisyam, anak kandungnya. Kelak anak Mu’awiyah yang
bernama Abdur Rahman yang berhasil meneruskan kekhalifahan Umayyah di Cordoba.
Pertempuran lain juga terjadi dengan Khawarij di masa Khalifah Hisyam. Di masa
beliaulah Islam berhasil menaklukkan Romawi.
Salah
satu korban pertempuran di masa Khalifah Hisyam adalah Zaid bin Ali, cucu
Sayyidina Husein bin Ali bin Abi Thalib. Zaid bin Ali ini adalah pendiri aliran
Syi’ah Zaidiyah, yang pahamnya cukup dekat dengan Sunni, dibanding aliran
Syi’ah lainnya. Zaid kena tipu penduduk Kufah yang seolah hendak menolong dia
merebut kekuasaan. Namun kemudian mereka membiarkannya bertempur.
Kejadian
yang menimpa Datuknya, Sayyidina Husein, terulang kembali, meski tidak
sedramatis yang dialami Datuknya. Kepalanya kemudian dikirim ke Khalifah
Hisyam.
Memang,
ada sejumlah keberhasilan ekspedisi militer di masa Khalifah Hisyam. Sementara
itu, cikal bakal Dinasti Abbasiyah terus mengumpulkan kekuatan menunggu saat
yang tepat untuk mengambil alih kekuasaan dari Dinasti Umayyah. Masih ada empat
Khalifah Dinasti Umayyah lagi yang akan kita bahas sebelum memasuki periode
Dinasti Abbasiyah. Jum’at depan insya Allah. []
GEOTIMES,
18 Agustus 2017
Nadirsyah
Hosen | Rais Syuriah NU Australia – Selandia Baru dan dosen senior di Faculty
of Law, Monash University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar