Selasa, 10 Oktober 2017

(Tokoh of the Day) KH. Abdul Adhim Cholil, Sumenep, Madura - Jawa Timur



KH Abdul Adhim Cholil, Pejuang Islam Aswaja dari Sumenep

KH Abdul Adhim Cholil Sumenep
Sejarah sering bertindak tidak adil. Ia merekam jejak perjuangan orang-orang kota. Sejarah seperti enggan meliput perjuangan tokoh-tokoh pinggiran yang tinggal di daerah-daerah pedalaman. Buku sejarah mana yang mencatat kiprah para kiai yang berjuang di pulau-pulau terpencil dan terbelakang. Padahal, kita memiliki ribuan kiai kampung yang konsisten berjuang di leval paling bawah, menopang tegaknya IslamAhlus Sunnah Waljamaah.

Publik Islam misalnya tak banyak mengenal nama KH Abdul Adhim Cholil (1930-1992). Padahal, beliau memiliki jasa besar dalam bidang dakwah dan pendidikan Islam. Dia salah satu kiai yang gigih menyebarkan Islam rahmatan lil alamin hingga ke pulau-pulau terpencil di Sumenep Kepulauan Madura. Jangan tanya berapa lama dia duduk di sadel sepeda motor apalagi sofa mobil-mobil mewah. Tapi, tanyalah berapa lama dia duduk di pelana kuda. Berapa ratus kali ia mual karena terlalu lama berada di perahu untuk mengunjungi umat Islam yang tinggal di pulau-pulau terisolir. 

Jangan tanya juga, keuntungan finansial yang bisa dicapai seperti umumnya para muballigh sekarang. Alih-alih mendapat apresiasi dan penghormatan, dalam banyak peristiwa Kiai Abdul Adhim bahkan mendapat hinaan dan cacian. Namun, semua cacian beliau hadapi dengan kesabaran. Ia selalu teringat dawuh gurunya, KH As’ad Syamsul Arifin Situbondo, “jika tak mau repot, jangan berjuang. Perjuangan selalu membutuhkan pengorbanan”. Dawuh gurunya itulah yang terpatri dalam hatinya sehingga dia tak berputus asa ketika mendakwahkan Islam ke mana-mana. 

Mantan Ketua MUI Arjasa Kangean, KH A. Ghazali Ahmadi, sering menceritakan suka duka dakwah perjuangan Kiai Abdul Adhim saat itu. Alkisah, ketika berdakwah ke berbagai desa, Kiai Abdul Adhim kerap membawa bekal sendiri. Di tasnya, tersedia nasi putih lengkap dengan lauk pauk kesukaannya. Ini, menurut Kiai Ghazali, karena tak setiap masyarakat yang dikunjungi Kiai Abdul Adhim menyediakan makanan buat para pendakwah Islam yang datang. Turun dari kuda yang ditungganginya, Kiai Abdul Adhim mengikat kudanya sendiri dan memberinya makan, sehingga selesai ceramah dan hendak pulang, sang kuda sudah siap menempuh perjalanan yang panjang dan melelahkan. 

Waktu terus berjalan. Hari berlalu, bulan bertukar, dan tahun pun berganti. Ghirah keislaman masyarakat kepulauan naik. Kecintaan mereka terhadap ilmu-ilmu keislaman mulai tumbuh. Semangat ingin belajar Islam lebih dalam menyebar. Sebagian masyarakat meminta agar Kiai Abdul Adhim segera mendirikan lembaga pendidikan. Pelan tapi pasti, Kiai Abdul Adhim pun merintis pendirian pesantren. Tepat pada tanggal 1 Januari 1967, persis di jantung kota Kecamatan Arjasa Kangean Sumenep, berdirilah Pondok Pesantren Al Hidayah. 

Masyarakat Kangean antusias menyambut kehadiran pesantren ini. Mereka datang bergotong royong membangun madrasah dan asrama pesantren. Ada yang menyumbang kayu, semen, bata, di samping tentu saja dana. Tak tanggung-tanggung, KH Syarfuddin Abdus Shomad (sahabat setia Kiai Abdul Adhim) menurunkan ratusan santri dan puluhan masyarakat binaannya untuk membantu pembangunan PP Al Hidayah. Tinggal di tempat yang sulit air, Kiai Syarfuddin mengerahkan para santrinya untuk mengirim air ke kediaman Kiai Abdul Adhim.

Dengan wadah-wadah kecil di pundak dan di kepala, santri-santri itu berjalan kaki menapaki pematang-pematang sawah, membawa air dalam jarak tempuh 2 km.Demikian setia Kiai Syarfuddin pada Kiai Abdul Adhim. Tak hanya air, Kiai Syarfuddin pun mengikhlaskan para santrinya sekiranya mereka mau melanjutkan ngaji pada Kiai Abdul Adhim. 

Dukungan masyarakat yang cukup besar menyebabkan PP Alhidayah bisa tumbuh dan berkembang pesat. Santrinya datang dari berbagai desa bahkan dari pulau-pulau terpencil yang dulu menjadi sasaran dakwah Kiai Abdul Adhim. Maka, di era kepemimpinan Kiai Abdul Adhim ini, berdirilah Madrasah Ibtida’iyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA). Bahkan, jumlah siswa madrasah di PP Al Hidayah ini tak kalah dengan jumlah siswa di sekolah-sekolah negeri yang sudah lebih dulu ada. Ini menunjukkan kepercayaan tinggi masyarakat pada Kiai Abdul Adhim sehingga mereka mempercayakan anaknya untuk dididik Kiai Abdul Adhim Cholil. 

Namun, seiring dengan makin bertambahnya ustadz-ustadz muda yang baru pulang mondok di Jawa, Kiai Abdul Adhim mulai mengurangi volume dakwahnya. Bukan hanya memberi kesempatan pada yang lebih belia, Kiai Abdul Adhim pun ikut mempromosikan tokoh-tokoh muda seperti KH Qasdussabil dan belakangan KH Ghazali Ahmadi. Majelis-majelis pengajian yang biasanya diisi Kiai Abdul Adhim didelegasikan ke Kiai Qasdussabil. Melaui tangan dingin Kiai Abdul Adhim, Kiai Qasdussabil yang memang alim itu mendapatkan panggung besar untuk berkiprah di masyarakat Kangean. 

Sambil menokohkan kiai-kiai muda, Kiai Abdul Adhim terus membenahi pesantrennya. Kiai Abdul Adhim mulai jarang pergi ke luar desa, karena waktunya sudah banyak dihabiskan untuk mengurus pembangunan pesantren, mengajarkan kitab kuning, membacakan sejumlah kitab fiqih ke para santri. Ia menjadi imam shalat sendiri buat para santrinya. Mendidik para santrinya untuk membiasakan shalat tahajjud. Beliau termasuk kiai yang mulazamah membaca wirid-wirid tertentu yang diijazahkan gurunya,yaitu Kiai Syamsul Arifin dan Kiai As’ad Syamsul Arifin, seperti  hizbul bahar, hizbun nashar, doa Sayyidina Ukasyah, dan lain-lain. 

Begitu besar jasa Kiai Abdul Adhim dalam “mengislamkan” masyarakat kepulauan Kangean Sumenep. Kini para santri tempaan Kiai Abdul Adhim sudah tersebar di mana-mana. Mengikuti jejak Kiai Abdul Adhim, tak jarang dari mereka yang menekuni dunia dakwah. Ada juga santri Kiai Abdul Adhim yang mendirikan madrasah dan pesantren terutama di desa-desa terpencil. Semoga pahala amal jariah ini senantiasa mengalir pada Almarhum KH Abdul Adhim Cholil. 

Akhirnya, kita hanya bisa mengenang jejak perjuangan Kiai Abdul Adhim, dan Allah SWT jualahyang akan membalas semua amal saleh beliau. Amin, ya mujibas sa’ilin. []

Abdul Moqsith Ghazali, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU, Wakil Sekretaris Komisi Kerukunan MUI Pusat, Dosen program Pascasarjana UNU Jakarta, dan Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar