KH Abdul Adhim
Cholil, Pejuang Islam Aswaja dari Sumenep
KH Abdul Adhim Cholil Sumenep |
Publik Islam misalnya
tak banyak mengenal nama KH Abdul Adhim Cholil (1930-1992). Padahal, beliau
memiliki jasa besar dalam bidang dakwah dan pendidikan Islam. Dia salah satu
kiai yang gigih menyebarkan Islam rahmatan lil alamin hingga ke pulau-pulau
terpencil di Sumenep Kepulauan Madura. Jangan tanya berapa lama dia duduk di
sadel sepeda motor apalagi sofa mobil-mobil mewah. Tapi, tanyalah berapa lama
dia duduk di pelana kuda. Berapa ratus kali ia mual karena terlalu lama berada
di perahu untuk mengunjungi umat Islam yang tinggal di pulau-pulau
terisolir.
Jangan tanya juga,
keuntungan finansial yang bisa dicapai seperti umumnya para muballigh sekarang.
Alih-alih mendapat apresiasi dan penghormatan, dalam banyak peristiwa Kiai
Abdul Adhim bahkan mendapat hinaan dan cacian. Namun, semua cacian beliau
hadapi dengan kesabaran. Ia selalu teringat dawuh gurunya, KH As’ad Syamsul
Arifin Situbondo, “jika tak mau repot, jangan berjuang. Perjuangan selalu
membutuhkan pengorbanan”. Dawuh gurunya itulah yang terpatri dalam hatinya
sehingga dia tak berputus asa ketika mendakwahkan Islam ke mana-mana.
Mantan Ketua MUI
Arjasa Kangean, KH A. Ghazali Ahmadi, sering menceritakan suka duka dakwah
perjuangan Kiai Abdul Adhim saat itu. Alkisah, ketika berdakwah ke berbagai
desa, Kiai Abdul Adhim kerap membawa bekal sendiri. Di tasnya, tersedia nasi
putih lengkap dengan lauk pauk kesukaannya. Ini, menurut Kiai Ghazali, karena
tak setiap masyarakat yang dikunjungi Kiai Abdul Adhim menyediakan makanan buat
para pendakwah Islam yang datang. Turun dari kuda yang ditungganginya, Kiai
Abdul Adhim mengikat kudanya sendiri dan memberinya makan, sehingga selesai
ceramah dan hendak pulang, sang kuda sudah siap menempuh perjalanan yang
panjang dan melelahkan.
Waktu terus berjalan.
Hari berlalu, bulan bertukar, dan tahun pun berganti. Ghirah keislaman
masyarakat kepulauan naik. Kecintaan mereka terhadap ilmu-ilmu keislaman mulai
tumbuh. Semangat ingin belajar Islam lebih dalam menyebar. Sebagian masyarakat
meminta agar Kiai Abdul Adhim segera mendirikan lembaga pendidikan. Pelan tapi
pasti, Kiai Abdul Adhim pun merintis pendirian pesantren. Tepat pada tanggal 1
Januari 1967, persis di jantung kota Kecamatan Arjasa Kangean Sumenep,
berdirilah Pondok Pesantren Al Hidayah.
Masyarakat Kangean
antusias menyambut kehadiran pesantren ini. Mereka datang bergotong royong
membangun madrasah dan asrama pesantren. Ada yang menyumbang kayu, semen, bata,
di samping tentu saja dana. Tak tanggung-tanggung, KH Syarfuddin Abdus Shomad
(sahabat setia Kiai Abdul Adhim) menurunkan ratusan santri dan puluhan
masyarakat binaannya untuk membantu pembangunan PP Al Hidayah. Tinggal di
tempat yang sulit air, Kiai Syarfuddin mengerahkan para santrinya untuk
mengirim air ke kediaman Kiai Abdul Adhim.
Dengan wadah-wadah
kecil di pundak dan di kepala, santri-santri itu berjalan kaki menapaki pematang-pematang
sawah, membawa air dalam jarak tempuh 2 km.Demikian setia Kiai Syarfuddin pada
Kiai Abdul Adhim. Tak hanya air, Kiai Syarfuddin pun mengikhlaskan para
santrinya sekiranya mereka mau melanjutkan ngaji pada Kiai Abdul Adhim.
Dukungan masyarakat yang
cukup besar menyebabkan PP Alhidayah bisa tumbuh dan berkembang pesat.
Santrinya datang dari berbagai desa bahkan dari pulau-pulau terpencil yang dulu
menjadi sasaran dakwah Kiai Abdul Adhim. Maka, di era kepemimpinan Kiai Abdul
Adhim ini, berdirilah Madrasah Ibtida’iyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan
Madrasah Aliyah (MA). Bahkan, jumlah siswa madrasah di PP Al Hidayah ini tak
kalah dengan jumlah siswa di sekolah-sekolah negeri yang sudah lebih dulu ada.
Ini menunjukkan kepercayaan tinggi masyarakat pada Kiai Abdul Adhim sehingga
mereka mempercayakan anaknya untuk dididik Kiai Abdul Adhim Cholil.
Namun, seiring dengan
makin bertambahnya ustadz-ustadz muda yang baru pulang mondok di Jawa, Kiai
Abdul Adhim mulai mengurangi volume dakwahnya. Bukan hanya memberi kesempatan
pada yang lebih belia, Kiai Abdul Adhim pun ikut mempromosikan tokoh-tokoh muda
seperti KH Qasdussabil dan belakangan KH Ghazali Ahmadi. Majelis-majelis
pengajian yang biasanya diisi Kiai Abdul Adhim didelegasikan ke Kiai Qasdussabil.
Melaui tangan dingin Kiai Abdul Adhim, Kiai Qasdussabil yang memang alim itu
mendapatkan panggung besar untuk berkiprah di masyarakat Kangean.
Sambil menokohkan
kiai-kiai muda, Kiai Abdul Adhim terus membenahi pesantrennya. Kiai Abdul Adhim
mulai jarang pergi ke luar desa, karena waktunya sudah banyak dihabiskan untuk
mengurus pembangunan pesantren, mengajarkan kitab kuning, membacakan sejumlah
kitab fiqih ke para santri. Ia menjadi imam shalat sendiri buat para santrinya.
Mendidik para santrinya untuk membiasakan shalat tahajjud. Beliau termasuk kiai
yang mulazamah membaca wirid-wirid tertentu yang diijazahkan gurunya,yaitu Kiai
Syamsul Arifin dan Kiai As’ad Syamsul Arifin, seperti hizbul bahar,
hizbun nashar, doa Sayyidina Ukasyah, dan lain-lain.
Begitu besar jasa
Kiai Abdul Adhim dalam “mengislamkan” masyarakat kepulauan Kangean Sumenep.
Kini para santri tempaan Kiai Abdul Adhim sudah tersebar di mana-mana.
Mengikuti jejak Kiai Abdul Adhim, tak jarang dari mereka yang menekuni dunia
dakwah. Ada juga santri Kiai Abdul Adhim yang mendirikan madrasah dan pesantren
terutama di desa-desa terpencil. Semoga pahala amal jariah ini senantiasa
mengalir pada Almarhum KH Abdul Adhim Cholil.
Akhirnya, kita hanya
bisa mengenang jejak perjuangan Kiai Abdul Adhim, dan Allah SWT jualahyang akan
membalas semua amal saleh beliau. Amin, ya mujibas sa’ilin. []
Abdul Moqsith
Ghazali, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU, Wakil Sekretaris Komisi
Kerukunan MUI Pusat, Dosen program Pascasarjana UNU Jakarta, dan Dosen Tetap
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar