Sejumlah Propaganda
Jepang yang Memantik Perlawanan Rakyat Indonesia
Kalangan pesantren
tidak henti-hentinya mengobarkan perlawanan kepada penjajah. Pada era
penjajahan Belanda selama ratusan tahun, para kiai beserta santrinya mampu
mempertahankan martabat pribumi melalui perlawanan simbolik maupun substantif.
Bahkan segala cara
dilakukan oleh Belanda untuk dapat menundukkan para kiai pesantren. Pada tahun
1937 misalnya, pernah datang kepada Kiai Hasyim Asy’ari seorang amtenar (utusan
pemerintah Hindia-Belanda) bermaksud memberikan tanda jasa berupa Bintang Jasa
yang terbuat dari perak dan emas. Tetapi dengan tegas kakek KH Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) menolak pemberian itu.
Pondok pesantren
dengan komitmen cinta tanah airnya yang membuncah membuat Belanda tak berkutik.
Begitu pun ketika bangsa Indonesia mulai dijajah oleh Jepang (Nippon) pada
tahun 1942. Rakyat pribumi tak sedikit yang harus mengikuti peraturan Jepang
karena konsekuensi pedih akan didapat jika melawan.
Namun tidak demikian
dengan kalangan pesantren. Tidak ada sedikit pun rasa gentar dari para kiai dan
santri ketika harus menghadapi fitnah dan propaganda Jepang untuk menundukkan
pesantren. Termasuk yang menjadi target utama Jepang, yaitu KH Hasyim Asy’ari.
Mereka menuduh Kiai Hasyim sebagai dalang pemberontakan rakyat kepada Jepang di
desa Cukir, sekitar Jombang, Jawa Timur. Padahal Kiai Hasyim tidak tahu menahu.
Bukan hanya Kiai
Hasyim, tragedi pada tahun 1943 tersebut sejumlah kiai yang mengkomandoi
Jam’iyah Nahdlatul Ulama juga ditangkap yaitu KH Mahfudz Shiddiq. Hal ini
memantik perlawanan ribuan santri kepada Jepang untuk membebaskan Sang Kiai.
Sedangkan KH Abdul Wahab Chasbullah dan KH Abdul Wahid Hasyim berupaya keras
melakukan diplomasi dengan tujuan yang sama.
Meskipun Kiai Hasyim
pada akhirnya bebas, namun tahun pertama dalam masa pendudukan tentara Nippon,
Maret 1942-Maret 1943 ditandai oleh tumbuhnya kebencian rakyat kepada tingkah
serdadu-serdadu Nippon dan rasa muak terhadap propaganda Nippon. KH Saifuddin
Zuhri (Berangkat dari Pesantren, 2013) mengungkap sejumlah penyebab kebencian
dan rasa muak rakyat Indonesia kepada Jepang sebagai berikut:
Pertama, terbukanya
kebohongan propaganda Tokyo bahwa Nippon berkehendak memperbaiki nasib rakyat
Indonesia yang sebangsa dan seketurunan dengan bangsa Nippon.
Kedua, mendirikan
ketenteramana yang teguh atas dasar mempertahankan Asia Raya, tak lain dan tak
bukan hanya menjadikan Indonesia sebagai tanah jajahan sekaligus sebagai daerah
garis belakang (home front) sumber tenaga manusia dan bahan mentah serta gudang
logistik bagi tentara Nippon di medan perang Pasifik dan Asia Tenggara.
Ketiga, kebencian
rakyat adalah spontanitas akibat keserakahan Nippon merampas bahan makanan dan
harta benda rakyat. Suatu slogan berbunyi: “padi untuk saya, untuk kami, dan
untuk kita sekalian” membuka kedok keserakahan mereka.
Nippon harus mendapat
makan tiga kali. Pertama kali sebagai saya (Nippon), kedua sebagai kami (Nippon
ikut mendapat bagian kedua), ketiga sebagai kita (Nippon ikut mendapat bagian
yang ketiga). Sedangkan untuk engkau dan kamu (rakyat Indonesia) tidak dipikirkan.
Keempat, kerja paksa
berupa romusha. Kendati dirayu dengan sebutan “prajurit ekonomi” pada
hakikatnya adalah kuli paksa. Hal ini tak ubahnya pekerjaan rodi di zaman
Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Herman Willem Daendels pada 1762-1818, yang memaksa
rakyat di Jawa membuat jalan raya sepanjang Anyer-Banyuwangi dengan pengawasan
tangan besi, bahkan romusha lebih kejam lagi dibanding rodi.
Daendels hanya
mengerahkan rakyat untuk proyek di Tanah Jawa. Tapi romusha adalah kuli-kuli
paksa yang diperintahkan dengan tangan besi untuk mengerjakan proyek-proyek
peperangan bukan hanya di Jawa dan di Indonesia, tetapi juga di Burma
(Myanmar), Indochina, Malaya, Kepulauan Pasifik, dan tempat-tempat lain yang
dirahasiakan.
Tragedi ini
memisahkan mereka dengan keluarga. Bahkan tidak sedikit yang tidak diketahui
nasibnya. Hal ini membuat rakyat Indonesia yang menjadi romusha juga banyak
yang menetap di Thailand dan Burma serta menjadi warga negara tetap di sana.
Kelima, tenaga kerja
perempuan yang dijanjikan Nippon untuk tugas palang merah, kenyataanya banyak
yang dijadikan alat pemuas nafsu serdau-serdadu Nippon di medan perang.
Terakhir keenam yaitu
perkosaan lebih dahsyat lagi adalah dari segi akidah, keyakinan Islam. Karena
saat itu rakyat Indonesia tanpa kecuali diwajibkan setiap pagi menghadap ke
arah istana Kaisar Jepang di Tokyo untuk melakukan upacara saikeirei, menyembah
kaisar Jepang yang disebut Tenno Heika. Menurut kepercayaan Jepang, Tenno Heika
adalah keturunan dari Dewa Matahari, Amaterasu O. Mikami yang mahakuasa.
Saikeirei dilakukan
dengan cara membungkukan badan 90 derajat, persis seperti rukuk di dalam
sholat. Sedangkan membungkuk dengan tujuan menyembah tersebut di dalam Islam
hukumnya kufur dan haram sehingga wajib ditentang. Hal ini juga terjadi ketika
Kiai Hasyim Asy’ari meringkuk di penjara Jepang selama lima bulan. Setiap pagi
seluruh tahanan harus melakukan saikeirei, namun Kiai Hasyim dengan tegas
menolak. []
(Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar