Pesan Kiai Hasyim
Asy’ari saat Menolak Bintang Jasa dari Belanda
Lembaga pendidikan
tertua di Indonesia, pondok pesantren, selain sebagai tempat menimba ilmu
agama, juga sebagai tempat menempa akhlak dan basis perjuangan rakyat dalam
melawan serta mengusir penjajah. Bahkan seluruh rentetan perjuangan di setiap
era pergerakan nasional tidak lepas dari peran utama para ulama pesantren.
Hal itu ditunjukkan
ketika Soekarno dan Jenderal Soedirman kerap meminta pandangan para kiai ketika
ingin mengadakan perlawanan terhadap penjajah. Melihat potensi pondok pesantren
dengan kuatnya jiwa keagamaan dan nasionalismenya itu, penjajah secara khusus
menyoroti pergerakan pesantren dan para kiai.
Bahkan strategi
politik dalam bentuk segala cara dilakukan penjajah agar para kiai tunduk.
Dengan tunduknya kiai yang dinilai mempunyai pengaruh kuat di tengah
masyarakat, penjajah dengan sendirinya akan mudah menguasai mereka.
Pengabdian pada
agama, bangsa dan negara berpadu menjadi satu pada diri KH Muhammad Hasyim
Asy’ari (1871-1947). Karena sikap dan sifat kepahlawanan serta keulamannya yang
begitu kental itulah tidak henti-hentinya pemerintah kolonial berusaha
membujuknya untuk bergabung.
Pada tahun 1937
mislanya, pernah datang kepada Kiai Hasyim Asy’ari seorang amtenar (utusan
pemerintah Hindia-Belanda) bermaksud memberikan tanda jasa berupa Bintang Jasa
yang terbuat dari perak dan emas. Tetapi dengan tegas kakek KH Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) menolak pemberian itu. (Choirul Anam, Pertumbuhan dan
Perkembangan NU, 1985)
Sikap ayah Kiai Wahid
Hasyim itu tidak lepas dari pandangan bahwa apa yang dilakukan Belanda hanya
intrik politik semata untuk menundukkan sikap kritis dan perjuangan para kiai
pesantren dalam melawan penjajah. Lalu, Hadlratussyekh pun bergegas
mengumpulkan santrinya lalu berkata:
Sepanjang keterangan
yang disampaikan oleh ahli riwayat, pada suatu ketika dipanggillah Nabi
Muhammad SAW oleh kakeknya Abdul Muthalib dan diberitahu bahwasanya pemerintah
jahiliyah di Mekkah telah mengambil keputusan menawarkan tiga hal untuk Nabi
Muhammad: 1) kedudukan yang tinggi; 2) harta benda yang berlimpah; dan 3) gadis
yang cantik. Akan tetapi Baginda Nabi Muhammad menolak ketiga-tiganya itu dan
berkata di hdapan kakeknya, Abdul Muthalib: “Demi Allah umpama mereka itu kuasa
meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku dengan maksud
agar aku berhenti berjuang, aku tak akan mau. Dan aku akan berjuang terus
sampai cahaya Islam merata ke mana-mana, atau aku gugur lebur menjadi korban.”
Maka, kamu sekalian anakku, hendaknya dapat meneladani Baginda Nabi Muhammad
SAW dalam menghadapi segala pesoalan.
Nampak perjuangan
Kiai Hasyim Asy’ari tidak terlepas dari tuntunan Nabi Muhammad. Bahkan konsep
agama dan nasionalisme beliau yang masyhur yakni hubbul wathoni minal iman,
merupakan ajaran Nabi Muhammad ketika membangun Negara Madinah dengan prinsip
kecintaan pada tanah air yang diwujudkan melalui kesepakatan bersama
(konsensus) Piagam Madinah antar sejumlah agama, suku, etnis, dan ras. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar