Kamis, 26 Oktober 2017

Helmy Faishal Zaini: Nasionalisme Kaum Sarungan



Nasionalisme Kaum Sarungan
Oleh: A Helmy Faishal Zaini

Baru-baru ini, sejarawan dan Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Nahdlatul Ulama Kiai Ng Agus Sunyoto menulis sebuah buku bertajuk Fatwa dan Resolusi Jihad.

Buku itu dalam hemat saya sangat otoritatif jadi rujukan guna menelisik lebih jauh apa dan bagaimana sesungguhnya peran santri dalam memerdekakan republik ini. Hal ini sangat penting karena selama ini—meminjam istilah para akademisi—ada semacam usaha untuk memandang sebelah mata, mengesampingkan, atau bahkan menegasikan peran santri. Padahal, fakta sejarah berbicara bahwa peran santri cukup besar dalam perjuangan kemerdekaan. Bukti konkretnya salah satunya bisa dirujuk dalam opus As’ad Sihab berjudul Allamah Muhammad Hasyim Asy’ari Wadhiu Labinati Istiqlalai Indonesia.

Dalam buku biografis tersebut, jurnalis produktif itu memaparkan fakta bahwa sesungguhnya peletak dasar kemerdekaan bagi Indonesia adalah KH Hasyim Asy’ari. Semangat, strategi, dan motivasinya dalam usaha-usaha memerdekakan bangsa ini dari penjajah terbukti membangkitkan ”ruhul jihad”, terutama bagi kalangan pesantren kala itu.

Nasionalisme kaum santri

Banyak arsip sejarah dan dokumen penting serta laporan dari pelbagai sumber yang melukiskan betapa perlawanan kiai dan santri terhadap para penjajah adalah perlawanan yang memang benar-benar bersumber dari rasa cinta kepada Tanah Air. Salah satu bukti betapa heroiknya perlawanan kiai dan santri pada November 1945 dilukiskan dalam berita Kedaulatan Rakjat edisi 26 November 1945 seperti ini: ”Kesaktian kijai2 di medan pertempoeran, ternyata boekan hanja berita lagi, tapi kita saksikan sendiri. Banjak mortier jang melempem, bom tidak meledak dsbnja lagi.”

Di lain pihak, sosok KH Abdul Wahab Hasbullah juga memiliki peran yang sangat signifikan, terutama dalam memupuk dan menumbuhkembangkan semangat rasa cinta Tanah Air. Pascaperang kemerdekaan, hal penting yang harus dibangun adalah membangun rasa cinta Tanah Air. Rasa cinta Tanah Air tersebut tidak boleh luntur. Maka, ia harus terus dirawat, ditumbuhkan, jika perlu terus diproklamasikan dan dipropagandakan.

Pada titik inilah Kiai Wahab memandang penting menggubah sebuah syair atau lagu bertajuk ”Syubbanul Wathan”. Lirik lagu ini sangat patriotis, sarat dengan muatan cinta Tanah Air. Dalam lirik itu disebutkan, ”Pusaka Hati wahai tanah airku/Cintaku dalam Imanku/Jangan halangkan Nasibku/Bangkitlah hai Bangsaku/Indonesia Negeriku/Engkau Panji Martabatku/Siapa datang mengancammu kan binasa berdarah-berdarah”.

Lagu ”Syubbanul Wathan” menjadi instrumen menggelorakan semangat rasa cinta Tanah Air. Bahkan, sebagai tindak lanjut dan usaha merawat nasionalisme Kiai Wahab atas bimbingan Kiai Hasyim Asy’ari membuat jargon dan adagium hubbul wathan minal iman.

Dalam pandangan KH Said Aqil Siroj (2017), penerjemahan hubbul wathan minal iman yang selama ini sering diartikan dengan cinta Tanah Air sebagian dari iman adalah terjemahan yang kurang akurat. Terjemahan akurat—meminjam Kiai Said—adalah nasionalisme bagian dari iman. Lagu ”Syubbanul Wathan” menjadi semacam resonansi yang terus menggemakan semangat nasionalisme kalangan santri. Ia juga menjadi bahan bakar ampuh untuk menumbuhkembangkan semangat rasa cinta Tanah Air bagi generasi muda usia anak sekolah, bahkan hingga saat ini.

Siapa sejatinya santri dan bagaimanakah kiprah mereka dalam kerangka bangun berbangsa dan bernegara? Dua pertanyaan itu kerap dan sering disampaikan kepada saya. Hal ini penting untuk saya sampaikan agar definisi siapa sejatinya santri itu tuntas dan terdefinisikan. Lagi pula, sebagian dari kita ternyata masih banyak yang terjebak dalam kerangka trikotomisasi yang pernah dibuat Clifford Geertz: abangan, santri, dan priayi.

Saya sepakat dengan definisi konseptual KH A Mustofa Bisri (2016). Dalam pandangan Gus Mus, santri adalah siapa pun yang berakhlak, yang tawaduk kepada Allah, tawaduk kepada orang alim, dan melihat Tanah Air Indonesia ini sebagai rumah.

Konsep santri

Ada dua titik poin penting dalam tawaran definisi tersebut. Pertama, santri memiliki perilaku dan akhlak ritual serta sosial yang baik. Dalam bahasa yang lebih mudah, santri memiliki apa yang disebut sebagai kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Dua istilah ini tidak bisa dinegasikan satu dengan yang lainnya. Keduanya harus berjalan seiring seirama.

Sesungguhnya istilah ini merupakan istilah yang sudah sangat klise, tetapi penting untuk dikemukakan lagi mengingat semakin banyak dan merebaknya praktik-praktik keagamaan yang cenderung memutus mata rantai konektivitas di antara keduanya. Misalnya saja, ada semacam paham-paham yang mempropagandakan dan mengajarkan bahwa yang penting adalah kesalehan ritual. Dalam konteks Indonesia, kesalehan sosial tak begitu diperlukan karena hal itu sifatnya relatif karena berbuat saleh dan baik kepada non-Muslim—dalam konteks negara Indonesia yang majemuk—menurut pandangan mereka itu tidak diwajibkan.

Terhadap pandangan semacam ini, saya menegaskan menolak keras. Saya memandang bahwa kesalehan yang berdimensi sosiologis sangat penting dan wajib dalam konteks berbangsa dan bernegara, apalagi yang bineka seperti Indonesia ini. Untuk membangun kesalehan sosial, konsep etika yang digunakan adalah etika yang transendental, bukan etika yang resiprokal.

Etika transendental adalah sebuah kerangka etika yang sumber kerangka berpikir dan tindakannya didasarkan pada konsep ”wabidzalika umirtu”. Konsep beretika bukan karena alasan dan pamrih apa-apa. Kita berbuat baik memang karena kita diperintahkan untuk itu. Tidak ada pamrih dan alasan apa-apa yang menjadi latar belakangnya. Kita berbuat baik memang karena harus berbuat baik kepada siapa saja. Sebaliknya, etika resiprokal adalah sebuah etika yang kerangkanya adalah karena dasar timbal balik. Kita berbuat baik kepada seseorang karena seseorang tersebut pernah berbuat baik kepada kita. Jenis etika semacam ini sangat transaksional. Maka, dalam hemat saya, etika jenis kedua ini harus kita negasikan jauh-jauh dari kehidupan kita, apa pun itu konteksnya, terutama jika hal itu menyangkut konteks berbangsa dan bernegara.

Kedua, santri adalah mereka yang melihat Tanah Air Indonesia sebagai rumah. Dalam bahasa yang ringkas, santri adalah mereka yang memiliki jiwa dan semangat nasionalisme. Santri adalah mereka yang memandang Tanah Air ini sebagai—barangkali meminjam istilah D Zawawi Imron—sajadah.

Maka, jelas pada fase ini saya ingin mengatakan bahwa konsep santri tidaklah sekaku dan sesaklek konsep yang selama ini kita bayangkan: bersarung, pernah mukim di pesantren, berpeci, mengkaji ilmu agama, dan sebagainya. Santri bukan pula sebagaimana yang dikonsepsikan dan ditrikotomisasikan oleh Clifford Geertz. Santri adalah mereka yang berakhlak, saleh ritual sosial, dan mencintai Tanah Air.  

Pada momen Hari Santri 22 Oktober, spirit untuk menjaga dan memupuk nasionalisme bisa kita teladani dari para santri. []

KOMPAS, 21 Oktober 2017
A Helmy Faishal Zaini | Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar