Nasionalisme
Kaum Sarungan
Oleh: A
Helmy Faishal Zaini
Baru-baru
ini, sejarawan dan Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Nahdlatul Ulama Kiai Ng
Agus Sunyoto menulis sebuah buku bertajuk Fatwa dan Resolusi Jihad.
Buku itu
dalam hemat saya sangat otoritatif jadi rujukan guna menelisik lebih jauh apa
dan bagaimana sesungguhnya peran santri dalam memerdekakan republik ini. Hal
ini sangat penting karena selama ini—meminjam istilah para akademisi—ada
semacam usaha untuk memandang sebelah mata, mengesampingkan, atau bahkan
menegasikan peran santri. Padahal, fakta sejarah berbicara bahwa peran santri
cukup besar dalam perjuangan kemerdekaan. Bukti konkretnya salah satunya bisa
dirujuk dalam opus As’ad Sihab berjudul Allamah Muhammad Hasyim Asy’ari Wadhiu
Labinati Istiqlalai Indonesia.
Dalam
buku biografis tersebut, jurnalis produktif itu memaparkan fakta bahwa
sesungguhnya peletak dasar kemerdekaan bagi Indonesia adalah KH Hasyim Asy’ari.
Semangat, strategi, dan motivasinya dalam usaha-usaha memerdekakan bangsa ini
dari penjajah terbukti membangkitkan ”ruhul jihad”, terutama bagi kalangan
pesantren kala itu.
Nasionalisme
kaum santri
Banyak
arsip sejarah dan dokumen penting serta laporan dari pelbagai sumber yang
melukiskan betapa perlawanan kiai dan santri terhadap para penjajah adalah
perlawanan yang memang benar-benar bersumber dari rasa cinta kepada Tanah Air.
Salah satu bukti betapa heroiknya perlawanan kiai dan santri pada November 1945
dilukiskan dalam berita Kedaulatan Rakjat edisi 26 November 1945 seperti ini:
”Kesaktian kijai2 di medan pertempoeran, ternyata boekan hanja berita lagi,
tapi kita saksikan sendiri. Banjak mortier jang melempem, bom tidak meledak
dsbnja lagi.”
Di lain
pihak, sosok KH Abdul Wahab Hasbullah juga memiliki peran yang sangat
signifikan, terutama dalam memupuk dan menumbuhkembangkan semangat rasa cinta
Tanah Air. Pascaperang kemerdekaan, hal penting yang harus dibangun adalah
membangun rasa cinta Tanah Air. Rasa cinta Tanah Air tersebut tidak boleh
luntur. Maka, ia harus terus dirawat, ditumbuhkan, jika perlu terus
diproklamasikan dan dipropagandakan.
Pada
titik inilah Kiai Wahab memandang penting menggubah sebuah syair atau lagu
bertajuk ”Syubbanul Wathan”. Lirik lagu ini sangat patriotis, sarat dengan
muatan cinta Tanah Air. Dalam lirik itu disebutkan, ”Pusaka Hati wahai tanah
airku/Cintaku dalam Imanku/Jangan halangkan Nasibku/Bangkitlah hai
Bangsaku/Indonesia Negeriku/Engkau Panji Martabatku/Siapa datang mengancammu
kan binasa berdarah-berdarah”.
Lagu
”Syubbanul Wathan” menjadi instrumen menggelorakan semangat rasa cinta Tanah
Air. Bahkan, sebagai tindak lanjut dan usaha merawat nasionalisme Kiai Wahab
atas bimbingan Kiai Hasyim Asy’ari membuat jargon dan adagium hubbul wathan
minal iman.
Dalam
pandangan KH Said Aqil Siroj (2017), penerjemahan hubbul wathan minal iman yang
selama ini sering diartikan dengan cinta Tanah Air sebagian dari iman adalah
terjemahan yang kurang akurat. Terjemahan akurat—meminjam Kiai Said—adalah
nasionalisme bagian dari iman. Lagu ”Syubbanul Wathan” menjadi semacam resonansi
yang terus menggemakan semangat nasionalisme kalangan santri. Ia juga menjadi
bahan bakar ampuh untuk menumbuhkembangkan semangat rasa cinta Tanah Air bagi
generasi muda usia anak sekolah, bahkan hingga saat ini.
Siapa
sejatinya santri dan bagaimanakah kiprah mereka dalam kerangka bangun berbangsa
dan bernegara? Dua pertanyaan itu kerap dan sering disampaikan kepada saya. Hal
ini penting untuk saya sampaikan agar definisi siapa sejatinya santri itu
tuntas dan terdefinisikan. Lagi pula, sebagian dari kita ternyata masih banyak
yang terjebak dalam kerangka trikotomisasi yang pernah dibuat Clifford Geertz:
abangan, santri, dan priayi.
Saya
sepakat dengan definisi konseptual KH A Mustofa Bisri (2016). Dalam pandangan
Gus Mus, santri adalah siapa pun yang berakhlak, yang tawaduk kepada Allah,
tawaduk kepada orang alim, dan melihat Tanah Air Indonesia ini sebagai rumah.
Konsep
santri
Ada dua
titik poin penting dalam tawaran definisi tersebut. Pertama, santri memiliki
perilaku dan akhlak ritual serta sosial yang baik. Dalam bahasa yang lebih
mudah, santri memiliki apa yang disebut sebagai kesalehan ritual dan kesalehan
sosial. Dua istilah ini tidak bisa dinegasikan satu dengan yang lainnya.
Keduanya harus berjalan seiring seirama.
Sesungguhnya
istilah ini merupakan istilah yang sudah sangat klise, tetapi penting untuk
dikemukakan lagi mengingat semakin banyak dan merebaknya praktik-praktik
keagamaan yang cenderung memutus mata rantai konektivitas di antara keduanya.
Misalnya saja, ada semacam paham-paham yang mempropagandakan dan mengajarkan
bahwa yang penting adalah kesalehan ritual. Dalam konteks Indonesia, kesalehan
sosial tak begitu diperlukan karena hal itu sifatnya relatif karena berbuat
saleh dan baik kepada non-Muslim—dalam konteks negara Indonesia yang
majemuk—menurut pandangan mereka itu tidak diwajibkan.
Terhadap
pandangan semacam ini, saya menegaskan menolak keras. Saya memandang bahwa
kesalehan yang berdimensi sosiologis sangat penting dan wajib dalam konteks
berbangsa dan bernegara, apalagi yang bineka seperti Indonesia ini. Untuk
membangun kesalehan sosial, konsep etika yang digunakan adalah etika yang
transendental, bukan etika yang resiprokal.
Etika
transendental adalah sebuah kerangka etika yang sumber kerangka berpikir dan
tindakannya didasarkan pada konsep ”wabidzalika umirtu”. Konsep beretika bukan
karena alasan dan pamrih apa-apa. Kita berbuat baik memang karena kita
diperintahkan untuk itu. Tidak ada pamrih dan alasan apa-apa yang menjadi latar
belakangnya. Kita berbuat baik memang karena harus berbuat baik kepada siapa
saja. Sebaliknya, etika resiprokal adalah sebuah etika yang kerangkanya adalah
karena dasar timbal balik. Kita berbuat baik kepada seseorang karena seseorang
tersebut pernah berbuat baik kepada kita. Jenis etika semacam ini sangat
transaksional. Maka, dalam hemat saya, etika jenis kedua ini harus kita
negasikan jauh-jauh dari kehidupan kita, apa pun itu konteksnya, terutama jika
hal itu menyangkut konteks berbangsa dan bernegara.
Kedua,
santri adalah mereka yang melihat Tanah Air Indonesia sebagai rumah. Dalam
bahasa yang ringkas, santri adalah mereka yang memiliki jiwa dan semangat
nasionalisme. Santri adalah mereka yang memandang Tanah Air ini
sebagai—barangkali meminjam istilah D Zawawi Imron—sajadah.
Maka,
jelas pada fase ini saya ingin mengatakan bahwa konsep santri tidaklah sekaku
dan sesaklek konsep yang selama ini kita bayangkan: bersarung, pernah mukim di
pesantren, berpeci, mengkaji ilmu agama, dan sebagainya. Santri bukan pula
sebagaimana yang dikonsepsikan dan ditrikotomisasikan oleh Clifford Geertz.
Santri adalah mereka yang berakhlak, saleh ritual sosial, dan mencintai Tanah
Air.
Pada
momen Hari Santri 22 Oktober, spirit untuk menjaga dan memupuk nasionalisme
bisa kita teladani dari para santri. []
KOMPAS,
21 Oktober 2017
A Helmy
Faishal Zaini | Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar