Doa yang Membinasakan
Oleh: A. Hasyim Muzadi
"Yaa Rasuulallaahi ud'ulLaaha `alal musyrikiin."
Faqoola, "Innamaa bu'itstu rahmatan wa lam ub'ats
`adzaaban."
"Wahai Rasulullah! Mohonlah kepada Allah agar Dia
membinasakan orang-orang musyrik itu."
Beliau menjawab, "Aku diutus sebagai rahmat dan bukan sebagai
azab atau siksa."
(HR Imam Muslim)
Banyak cara dilakukan orang untuk mencapai harapan, cita, dan
cintanya. Salah satu yang paling sering digunakan adalah berdoa. Doa adalah
salah satu cara seorang hamba berkomunikasi dengan Allah SWT. Ini adalah cara
paling sahih yang dilakukan anak manusia ketika sudah tak kuasa menghadapi
"beban" hidup. Demikian sahih keberadaan doa hingga Allah sendiri
yang mengingatkan anak manusia untuk tidak lupa berdoa. Karena ini
perintah-Nya, doa adalah ibadah.
Dalam berbagai firman-Nya, Allah selalu menyiapkan ruang agar
manusia dapat menyendiri, menjauh dari kebisingan dunia, berdua hanya dengan
Allah.Dalam doa, ia boleh berbisik, mengeluh, mengadu, berdialog, bermunajat,
atau bahkan meminta apa saja yang dia inginkan. Sebab, tak ada zat yang paling
mampu dan berkuasa membuat sesuatu menjadi nyata kecuali Allah. Kata Allah,
"Serulah Aku. Maka Aku akan ijabah doa-doa kalian!" Doa adalah
kebaikan. Maka, berlombalah dalam kebaikan.
Karena kedudukan dan fungsi doa yang luar biasa luhur dalam Islam,
harapan hingga khayalan orang gantungkan melalui doa. Bahkan, untuk hal-hal
tertentu, beberapa orang atau kelompok menyertakan kebencian dalam doa-doanya.
Mereka lupa bahwa doa adalah wasilah yang disediakan Allah untuk semua
makhluknya untuk tujuan baik. Wasilah itu harus digunakan untuk hal-hal yang
baik pula. Karena berdoa adalah ibadah, tak ada doa yang dilakukan di luar rukun
dan syarat ibadah.
Mengapa? Karena, dengan ibadah kita berharap fakhsya' dan mungkar
menjauh dari kita.Ka rena doa adalah ibadah, berdoa memiliki kaifiyaat(tata
cara) dan adab tertentu. Doa harus diletakkan di maqamnya sebagai tangga jalan
menuju Tuhan. Berdoa butuh kesabaran, ketabahan, kejujuran, ketulusan, kerendah
an hati, pengakuan akan kekerdilan diri, jauh dari keangkuhan, kesombongan,
kebencian, apalagi ada unsur perintah dan paksaan dalam doanya.
Dalam kita suci, hadis, akhbar, dan atsar yang sampai kepada kita,
para manusia pilihan, seperti para rasul, nabi, sahabat, tabiin, tabiit tabiin,
dan ulama, sangat menjaga kemurnian doa. Mereka merendahkan diri
serendah-rendahnya makhluk yang tengah bersimpuh di hadapan Tuhan Yang Maha
perkasa. Lihatlah bagaimana Nabi Zakaria AS yang meski sudah di ujung senja
usianya tetap berdoa. Berdoa agar dianugerahkan kepada beliau keturunan.
Tapi, hingga usia sekitar 80 tahun, harapan itu belum juga
terpenuhi. Padahal, demikian riwayat yang sampai kepada kita, beliau sudah
menghantarkan doa-doanya itu sejak pada hari pertama menikah, yakni pada usia
20 tahun. Beliau bersabar.
Dan, kunci doa adalah sabar. Kesabaran Nabi Zakaria telah
mengantarkannya pada kedudukan yang tinggi dan Allah membalasnya dengan kuturunan
yang saleh. Contoh lain begitu banyak sehingga tak sulit bagi kita bagaimana
berdoa ala mazhab para rasul.
Tetapi, dalam kenyataan hidup sehari-hari, tak sedikit kita
temukan saudara-saudara kita yang melampaui batas dalam berdoa. Untuk hal-hal
tertentu, dengan harapan agar ajaran Islam tetap terjaga, sering kita dengar
mereka berdoa sambil memerintah Tuhan. Doa yang mestinya syahdu, menyentuh,
sublim, dipenuhi derai air mata ketulusan, berubah menjadi untaian kata-kata
kasar dan cenderung berisi adu domba. Doa yang harusnya ibadah malah menjelma
ajang kemarahan dan dendam.
Maka, jamak kita dengar doa berbunyi perintah kepada Allah agar
segera menghancurkan kekukufuran, kemusyrikan, dan bid'ah. Padahal, inilah
hidup, yang isinya memang ada keimanan dan kekufuran, tauhid dan kemusyrikan,
syariat, dan bid'ah. Allah juga memberi dua jalan (wahadaynaa hunnajdain)
kepada semua makhluk hidup untuk memilih. Beriman adalah pilihah dan kufur juga
pilihan. Semua pilihan mengandung konsekuensi-konsekuensi.
Maka, biarlah perkara penghancuran kekufuran dan kemusyrikan itu
tetap berada di wilayah kewenangan Allah sehingga kita tak perlu lagi
"main perintah" dengan menggunakan kata perintah (fiil amr), ahlikil
kafarota wal musyrikinkepada Allah SWT. Kewajiban kita menjauhi kemungkaran dan
menganjurkan amar makruf. Bahkan, Allah menekankan posisi Nabi Muhammad SAW
bukan sebagai pemaksa tegaknya kebaikan hingga Allah mewanti-wanti lasta
`alayhim bimushoitirin.
Doa tidak untuk membinasakan. Doa bukan untuk menghancurkan. Doa
tidak untuk membuat kerusakan. Untaian kata-kata yang diharap membuat
kebinasaan, kehancuran, dan kerusakan biasanya disebut jampi, kutuk, dan
laknat. Doa sama sekali jauh dari jampi, bukan kutukan, apalagi laknatan. Nabi
Muhammad tidak pernah kita dengar pernah melakukan itu. Nabi bahkan melarang
jampi, kutukan, serta laknatan. Bahkan, terhadap mereka yang mencederainya,
Nabi menolak membalas.
Padahal, malaikat menawarkan andai Nabi mau, Gunung Taif akan
dihunjamkan untuk membalas mereka yang menyakiti beliau saat berdakwah di
Lembah Taif. Tapi, Nabi tidak melakukan itu. Nabi yakin mereka menolak ajakan
kepada Allah SWT karena mereka tidak tahu dan tidak menyadari kebenaran, bukan
karena menentang, apalagi mengingkarinya. Terbukti, tak lama setelah itu, Islam
menyebar dengan masif di kawasan tersebut hingga sampai ke Madinah.
Saat itu, Nabi berdoa agar Allah SWT memberi mereka hidayah.
Mereka menolak ajakan kepada Islam, begitu diyakini Nabi, karena tidak tahu.
Nabi sangat sadar posisi sebagai rasul dan nabi yang tugasnya "hanya"
tabligh alias menyampaikan kebenaran Allah. Soal apakah mereka akan dapat
hidayat setelah ajakan dan seruan, itu semata kewenangan Allah. Allah yang
memutuskan doa akan diijabah saat itu juga, ditunda, atau diakhirkan hingga di
akhirat kelak.
Wallahu a'lam bis shawab. []
REPUBLIKA, 19 April 2015
KH. A. Hasyim Muzadi, Mantan Ketua Umum PBNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar