Belajar dari Iran
Oleh: Zuhairi Misrawi
Negara Islam di Irak dan Suriah menjadi momok yang menakutkan bagi
dunia saat ini. Pasalnya, mereka tidak hanya eksis di Irak dan Suriah, tetapi
juga mempunyai jaringan yang relatif kuat di berbagai belahan dunia.
Yang mutakhir, aksi sandera di museum Bardo, Tunisia, dan aksi bom
bunuh diri di Masjid San'a, Yaman, yang menewaskan ratusan warga sipil yang
sedang melaksanakan shalat Jumat diakui sebagai aksi NIIS. Aksi biadab mereka
ini sama sekali tak bisa dinalar dengan menggunakan peranti keislaman dan
kemanusiaan. Bagaimana mungkin seseorang atau kelompok yang mengatasnamakan
Islam membunuh orang-orang yang sedang melaksanakan shalat Jumat. Sungguh, ini
titik nadir peradaban kemanusiaan karena NIIS melakukan kekerasan dengan
menggunakan jubah agama di tempat sakral dan pada hari yang sakral pula.
Sementara itu, NIIS semakin agresif merekrut kader-kader pejuang
NIIS melalui media sosial. Menurut survei yang dirilis Brooking Institute,
negara-negara yang paling banyak melakukan kicauan di Twitter yang
menggambarkan dukungan kepada NIIS, yaitu Arab Saudi, Suriah, Irak, AS, Mesir,
Kuwait, Turki, Palestina, Lebanon, Inggris, dan Tunisia.
Kita sendiri belum menjadi negara yang darurat NIIS dari segi
dukungan melalui media sosial. Mayoritas publik di negeri ini memandang NIIS
sebagai gerakan yang tidak layak eksis dan berkembang di negara Pancasila dan
Bhinneka Tunggal Ika.
Namun, fakta 16 WNI yang ditangkap Pemerintah Turki karena hendak
menyeberang ke Suriah, yang diduga kuat akan ikut serta dengan NIIS,
mengejutkan semua pihak, baik pemerintah maupun publik. Rupanya, setelah
munculnya video ajakan untuk bergabung dengan NIIS tahun lalu dan baiat di
salah satu masjid di Ciputat, agresivitas kaki tangan NIIS di negeri ini tidak
benar-benar lumpuh. Bahkan, justru menunjukkan fakta sebaliknya, yaitu
rekrutmen dan pihak-pihak yang siap bergabung dengan NIIS di Suriah dan Irak.
Fakta ini semestinya membangkitkan kesadaran bersama, baik
pemerintah maupun masyarakat, agar tak main-main dengan fenomena proliferasi
NIIS. Sejujujurnya, mereka yang ingin bergabung dengan NIIS jumlahnya masih
relatif sedikit. Namun, mereka yang punya ideologi serupa NIIS jumlahnya
relatif besar. Realitas inilah yang dijadikan NIIS momentum menjadikan
Indonesia pasar potensial untuk rekrutmen dan kaderisasi NIIS.
Strategi Iran
Harus diakui, Iran salah satu negara di Timur Tengah yang saat ini
paling steril dari NIIS. Dengan populasi penduduk relatif besar dan potensi yang
kuat untuk diinfiltrasi NIIS, Iran dinyatakan berhasil membentengi dirinya dari
pengaruh NIIS. Apalagi, Iran saat ini musuh utama NIIS karena mayoritas
penduduknya menganut paham Syiah. Namun, sekali lagi, NIIS tak mampu
menginjakkan kaki di bumi berperadaban tinggi itu.
Pertama, Iran berhasil membangun kesadaran bersama perihal bahaya
NIIS. Kesadaran dibangun melalui ceramah, diskusi, dan seminar, bahkan
konferensi internasional yang digelar setiap tahun dengan mengundang ribuan
ulama dari berbagai penjuru dunia. Jauh sebelum muculnya NIIS, Pemimpin
Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei menegaskan perihal ancaman kaum takfiri,
yaitu mereka yang dengan mudah mengafirkan paham/kelompok lain yang tidak
sepaham, baik dalam intra-agama maupun antar-agama. Menurut Khamenei, mereka
hakikatnya ingin memecah belah umat Islam dan mencoreng citra Islam yang ramah,
damai, dan toleran (rahmatan lil 'alamin).
Cara yang digunakan Iran dengan membangun kesadaran bersama
yang didukung Pemimpin Tertinggi, pemerintah, dan ulamanya terbukti sangat
efektif. Harus diakui, NIIS pada mulanya adalah paham yang menawarkan angin
surga perihal "Negara Islam". Setiap orang akan mudah tertarik pada
NIIS karena menghadirkan kembali impian lama penuh misteri itu. Faktanya,
mereka yang tak paham sejarah Islam akan mudah didoktrin dengan "Negara
Islam".
Atas dasar itu, Iran melakukan kritik sangat telak terhadap
NIIS bahwa yang ingin dihadirkan sesungguhnya bukan glorifikasi atas Negara
Islam, melainkan ingin meraih ambisi kekuasaan dengan mengatasnamakan Islam.
Ironisnya, NIIS melakukannya dengan menebarkan kekerasan dan kebencian terhadap
sesama Muslim sekaligus non-Muslim. Bahkan, Iran memandang NIIS hakikatnya boneka
yang dibuat pihak asing untuk menimbulkan kekacauan di dunia Islam. Komitmen
pemerintah dan keterlibatan para ulama dalam memerangi paham NIIS salah satu
cara ampuh agar paham ekstrem ini tidak meluas.
Kedua, Iran menjadikan kebudayaan sebagai salah satu peranti untuk
menangkal segala paham yang identik dengan ekstremisme dan terorisme. Iran
dikenal sebagai salah satu negara yang mempunyai peradaban besar dengan
kebudayaan yang tinggi. Sastra, film, dan berbagai industri kreatif lainnya
dibangun untuk memperkokoh kesadaran kaum muda untuk mencintai negara,
membangun kebersamaan, dan tidak mudah putus asa.
Mottaqi, mantan Menteri Luar Negeri Iran, menegaskan kepada
penulis, salah satu cara Iran melawan terorisme dengan menghidupkan kecintaan
pada seni dan kreativitas. Misalnya, karpet buatan Iran yang dikenal sangat
istimewa itu dibuat selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Sepintas,
pembuatan karpet itu hal biasa, tetapi di dalamnya terkandung filosofi tinggi, yaitu
mengasah kreativitas, imajinasi, intuisi, plus kesabaran. Mereka yang bekerja
tulus membuat karpet tak akan mudah tergiur janji-janji palsu kaum ekstremis
dan teroris.
Ketiga, Iran berhasil membangun ekonomi berbasis pada
kesejahteraan sosial. Kita tahu, Iran sudah lama diembargo negara-negara Barat,
khususnya Amerika Serikat dan Eropa. Mereka tak bisa menjual minyak yang
menjadi salah satu kekayaan mereka. Iran tidak melihat embargo sebagai
tantangan, melainkan justru sebagai kekuatan untuk membangun revolusi mental
dengan mengambil inspirasi dari revolusi yang dipimpin Imam Khamenei. Selama
kurun waktu 36 tahun pasca Revolusi Islam, Iran berhasil meningkatkan
pendapatan negara dari sektor pertanian, ilmu pengetahuan, dan industri
kreatif.
Jika kita berkunjung ke Iran, akan takjub dengan pembangunan yang
sangat pesat, yang tidak hanya berpusat di Kota Teheran, ibu kota Iran. Di
beberapa provinsi lain akan terlihat denyut pembangunan, yang disesuaikan
dengan potensi daerah. Iran berhasil membangun negara dari pinggiran.
Maka dari itu, tidak ada salahnya jika kita mau belajar dari Iran
dalam mengantisipasi proliferasi NIIS di negeri ini. Pendekatan yang diambil
pemerintah sebaiknya tidak bersifat parsial, apalagi artifisial. Memikulkan
beban NIIS kepada Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan Polri
hampir bisa dikatakan akan berakhir dengan kegagalan. Apalagi, kita belum
mempunyai payung hukum yang efektif memberikan efek jera bagi mereka yang
menyebarkan dan bergabung dengan NIIS.
Sejatinya, pemerintah mengambil langkah-langkah yang tidak hanya
berjangka pendek, melainkan berjangka panjang. Karena itu, pemerintah harus
merangkul para ulama, budayawan, dan kalangan profesional. NIIS harus dilawan
dengan gagasan besar dan langkah-langkah yang bersifat komprehensif. []
KOMPAS, 10 April 2015
Zuhairi Misrawi Analis Pemikiran dan Politik Timur Tengah The
Middle East Institute
Tidak ada komentar:
Posting Komentar