Transnasionalisasi
Islam Indonesia (I)
Oleh:
Azyumardi Azra
Islam merupakan agama kosmopolitan dan transnasional; bersifat internasional, baik dari segi doktrin teologi maupun legal fiqhiyyah yang melintasi batas kabilah, suku, bangsa, ras, dan seterusnya. Islam adalah agama bagi umat manusia yang beragam dari berbagai segi.
Jika ada distingsi yang ditekankan doktrin Islam di tengah berbagai realitas kosmopolitan dan transnasional maka itu adalah ketakwaan. Tidak ada beda satu individu dan kelompok Muslim dengan individu dan kelompok lain, kecuali ketakwaannya -ketundukan dan kepasrahan penuh kepada Allah SWT.
Pada saat yang sama, sebagai realitas sejarah yang melintasi waktu dan tempat, Islam juga menjadi realitas lokal. Islam hidup di tengah masyarakat atau lokalitas tertentu dan tidak imun dan bebas dari berbagai pengaruh faktor dan kekuatan sejarah. Doktrin Islam yang semula bersifat transnasional kemudian mengalami proses kontekstualisasi, vernakularisasi, dan indigenisasi. Melalui proses seperti ini, Islam dalam perjalanan sejarah bukan hanya merupakan agama transnasional, tetapi sekaligus menjadi realitas lokal.
Dalam konteks itu, menarik dan tepat waktu memperbincangkan gagasan transnasionalisasi atau internasionalisasi Islam Indonesia. Perbincangan tentang subjek ini menjadi tema seminar pra-Muktamar Muhammadiyah pada 14 April 2015 di kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Sedangkan, Muktamar Muhammadiyah ke-47 bakal diselenggarakan pada 3-7 Agustus 2015 di Makassar. Sejumlah pakar terlibat dalam percakapan yang intens mengingat tema ini jarang diperbincangkan.
Tema tentang transnasionalisasi dan internasionalisasi Islam Indonesia bukan hanya relevan dengan Muhammadiyah, melainkan juga dengan Nahdlatul Ulama (NU) dan ormas-ormas Islam Indonesia lain yang mewakili Islam wasatiyah. Dengan karakter dan aktualisasi religius, sosio-budaya, dan politiknya yang khas, ormas-ormas Islam Indonesia arus utama karena sejumlah alasan para ahli dari keahlian dan sudut pandang masing-masing melihat sudah waktunya bagi ormas-ormas itu mengakselerasikan transnasionalisasi dan internasionalisasi.
Banyak ormas Islam Indonesia sudah berusia panjang. Muhammadiyah sudah berada dalam perjalanan abad kedua. NU dalam waktu 10 tahun ke depan menurut kalender Masehi juga melintasi usia satu abad. Usia yang panjang juga telah ditempuh kebanyakan ormas Islam lain -lebih tua dari usia republik.
Ormas-ormas ini, khususnya Muhammadiyah dan NU-sebagai dua ormas terbesar Islam Indonesia-mengandung banyak potensi akselerasi diri menjadi transnasional, baik dari segi pemahaman maupun praksis keagamaan. Hal ini bisa diwujudkan melalui proses internasionalisasi dalam berbagai bidang sejak dari teologi, visi, dan misi keislaman, kelembagaan pendidikan, dakwah, kepenyantunan sosial, kesehatan, ekonomi, dan seterusnya.
NU dan Muhammadiyah pada awalnya juga berangkat dari kerangka Islam transnasional tersebut. NU berlambangkan bola dunia dengan bintang sembilan. Sedangkan, Muhammadiyah memiliki lambang bola matahari yang memancarkan sinar ke seluruh penjuru. Terlihat jelas pretensi transnasional masing-masing.
Sedangkan, pada tingkat doktrin dan ritual sesungguhnya tidak banyak perbedaan dalam hal usuliyyah (pokok-pokok agama) antara Muhammadiyah dan NU dengan kaum Muslimin lain di manapun. Perbedaan paling banter ada pada level 'ranting' (furu'iyah). Meski demikian, ormas-ormas Islam Indonesia juga mengakomodasi doktrin dan praktik keagamaan yang semula mungkin tidak sepenuhnya kompatibel dengan raison d'etre ideologisnya.
Pada segi lain, kemunculan ormas-ormas Islam sedikit banyak terkait dengan Islam transnasional dari para pemikir dan aktivis semacam Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha. Berangkat dari keprihatinan terhadap kenestapaan kaum Muslim di berbagai banyak bagian dunia di bawah ancaman dan cengkeraman kolonialisme Eropa, tokoh-tokoh ini menyeru kaum Muslim untuk bangkit memajukan diri dalam berbagai bidang sejak dari keagamaan, pendidikan, sampai kepada politik.
Meski terkait dengan pemikiran dan gerakan transnasionalisme, ormas-ormas Islam Indonesia sejak awal kelahirannya pada masa penjajahan Belanda juga merupakan respons kontekstual terhadap realitas lokal. Tanpa kontekstualisasi dan akomodasi terhadap realitas lokal, sangat boleh jadi ormas-ormas Islam menjadi tidak atau kurang relevan dengan tantangan masyarakat Muslim lokal di berbagai wilayah Indonesia.
Sebaliknya, sebab ormas-ormas itu kontekstual dengan lingkungan masing-masing, ia menjadi relevan bagi masyarakat Muslim Indonesia sehingga ormas-ormas tersebut tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga berkembang secara fenomenal dari waktu ke waktu.
Muhammadiyah, NU, dan ormas-ormas Islam Indonesia lain dalam perkembangannya lebih merupakan realitas translokal Indonesia daripada transnasional-meski juga ada Muhammadiyah Singapura (berdiri 1957) atau NU Afghanistan (berdiri Mei 2014). Kedua Muhammadiyah dan NU di mancanegara ini beranggotakan masyarakat Muslim lokal, bukan Muslim Indonesia.
Di luar itu, Muhammadiyah dan NU tidak berusaha keras menjadi sebuah gerakan transnasional. Kedua ormas ini tampaknya tidak memiliki agenda dan program khusus untuk penyebaran paham dan praksis Islam Indonesia transnasional di dunia internasional. []
REPUBLIKA,
16 April 2015
Azyumardi Azra, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Anggota Komisi Kebudayaan AIPI dan Council on Faith, World Economic Forum,
Davos
Tidak ada komentar:
Posting Komentar