Ledakan Penduduk Indonesia
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Saya hanyalah seorang amatir jika turut menulis tentang masalah
ledakan penduduk Indonesia yang cukup mencemaskan jika gagal dikelola dengan
perencanaan yang matang untuk tahun-tahun ke depan. Bulan November 2011 Sugiri
Syarief (kepala BKKBN ketika itu) mengatakan, ledakan kependudukan Indonesia
naik lima kali lipat setiap 100 tahun dibandingkan 100 tahun sebelumnya.
Dikatakan tahun 1900 penduduk negeri ini barulah 40 juta. Pada 2000 membengkak menjadi 205,1 juta. Diprediksi pada 2100 ledakan itu akan berada pada angka 1 miliar, sesuatu yang sulit dibayangkan karena temponya hanya tinggal 85 tahun lagi.
Jika tuan dan puan punya cucu berusia delapan tahun pada 2015 ini, cicit Anda yang nomor tiga, katakan lahir pada 2040, akan berumur 60 tahun saat penduduk Indonesia berada pada angka satu miliar itu. Dapatkah dibayangkan situasi Indonesia ketika itu dengan jumlah penduduk empat kali lipat dibandingkan keadaan sekarang?
Tahun ini saja, kerusakan hutan sudah mencapai hampir 50 persen, polusi darat dan udara seperti tidak terkendali, khususnya di kawasan perkotaan. Proses urbanisasi juga sedang merangkak dengan pasti, belum lagi bila kita bicara tentang keadilan yang tersendat-sendat.
Dengan angka kelahiran 1,49 persen per tahun, angka satu miliar di atas pada 2100 sangat masuk akal, kecuali jika pertambahan penduduk bisa ditekan menjadi satu persen. Perhatian negara, DPR, dan masyarakat luas tentang bahaya masa depan akibat pembengkakan jumlah penduduk yang tak terkendali ini sangat minimal.
Agar angka ledakan penduduk itu bisa dilihat dalam angka-angka statistik, maka hasil sensus berikut ini perlu diturunkan: tahun 1930 penduduk Indonesia 60,7 juta, tahun 1961 naik menjadi 97,1 juta, tahun 1971 berada pada angka 119,2 juta; tahun 1980 merangkak ke angka 146,9 juta, tahun 1990 berada pada angka 178,6 juta, tahun 2000 menjadi 205, 1 juta, tahun 2011 tercatat 237,6 juta.
Angka pada 2014 melonjak menjadi 253,60 juta, urutan keempat setelah Cina 1,355 miliar, India 1,236 miliar, Amerika Serikat 318,892 juta. Brasil berada pada urutan kelima dengan angka 202,65 juta. Jika Amerika berhasil mengendalikan pertambahan penduduknya menjadi kurang dari satu persen, sedangkan Indonesia tetap 1,49 persen, maka dalam tempo yang tidak terlalu lama, posisi nomor tiga akan direbut Indonesia dengan segala tantangan yang dahsyat di atas.
Pada 1 Januari 2015, perkiraan penduduk dunia sudah mencapai 7,2 miliar. Alangkah semakin beratnya beban planet bumi ini. Itu baru manusia, belum makhluk yang lain.
Untuk Indonesia ada warisan Orde Baru (Orba) yang patut ditiru. Di era Orba, ledakan penduduk dapat dikendalikan karena pemerintah mengawasinya dengan ketat, tetapi setelah rezim itu runtuh pada 1998, semuanya mengalami perubahan drastis, termasuk program keluarga berencana yang sangat mengendor.
Jika di era itu BKKBN adalah kepanjangan dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, maka sejak 2010 diubah menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Pergantian nama ternyata membawa dampak pelemahan atas program yang berhasil di era sebelumnya.
Apa yang terjadi sebenarnya? Dalam bacaan saya, secara kultural bangsa ini tidak mau berpikir dialektis: terbangunnya sebuah dialog antara dua kutub yang berlawanan dengan melanjutkan segala yang baik dari rezim sebelumnya. Proses de-Soehartoisasi dilakukan dengan semangat tinggi, persis proses serupa terjadi di era pasca-Bung Karno: de-Soekarnoisasi total.
Seakan-akan semua yang dilakukan rezim yang terguling harus disapu bersih. Akibat fatalnya sangat jelas: program-program yang baik dan bermanfaat bagi bangsa harus dimatikan, sebuah pertimbangan politik yang sangat tidak bijak.
Pertanyaannya sekarang: dengan ledakan penduduk seperti yang diuraikan di atas, apakah tidak sebaiknya warisan Soeharto tentang program keluarga berencana dihidupkan dan digencarkan kembali agar kita mau belajar untuk berpikir dialektis, tidak main hantam kromo yang sangat merugikan strategi pembangunan nasional.
Waktunya sudah sangat tinggi agar semua warisan dari rezim manapun diteliti dan dipilih sisi-sisi yang baik untuk diteruskan. Dendam politik jangan sampai membawa bangsa ini dengan mudah menghapus dan melupakan jasa para pendahulu yang pasti tidak semuanya buruk dan busuk. Ambil yang bernas, sisihkan yang hampa. []
REPUBLIKA, 21 April 2015
Ahmad Syafii Maarif ; Mantan
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar