Jumat, 10 April 2015

Yudi Latif: Darurat Kepemimpinan



Darurat Kepemimpinan
Oleh: Yudi Latif

NEGARA tercinta kita sedang dalam cobaan berat. Kepemimpinan negara seperti layangan putus benang di tengah impitan kesengsaraan rakyat dan pertikaian kepentingan elite yang tercerabut dari nasib rakyat.

Harga kebutuhan pokok masyarakat seperti beras, BBM, elpiji, terus naik dengan pasokan yang makin sulit diperoleh di pasar.

Saat yang sama, kemerosotan nilai tukar rupiah bersamaan dengan penaikan tarif kereta ekonomi, rencana pengenaan PPN atas tarif listrik dan tol, penaikan biaya meterai, dan berbagai kenaikan harga-harga kebutuhan lainnya kian membebani rakyat.

Subsidi untuk rakyat dipangkas, tapi subsidi sumbangan pembelian mobil bagi pejabat negara dinaikkan.

Kebocoran pendapatan negara tetap tak bisa ditekan dan pembiayaan negara kembali bergantung pada utang luar negeri.

Konflik dan pertikaian antarlembaga negara merebak di ruang publik dan melemahkan kebersamaan.

Institusi KPK sebagai mahkota reformasi untuk pemerintahan bersih mengalami hantaman dan demoralisasi yang menggoyahkan eksistensinya.

Partai-partai politik sebagai pilar demokrasi kehilangan independensi dan kesolidannya karena penetrasi aneka kepentingan dari luar yang mengarah ke perpecahan, tanpa komitmen pemerintah untuk menjaga iklim yang sehat bagi pertumbuhan kepartaian.

Kemerosotan otoritas kepemimpinan dan pertikaian elite ini bersejalan dengan peningkatan kerawanan sosial: tindak kriminalitas, aksi-aksi pembegalan, perampokan, dan pembunuhan, dan radikalisme mewarnai kehidupan rakyat sehari-hari.

Dalam menghadapi cobaan berat yang dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara ini, kita tidak boleh hanyut dalam irama adu domba dan kehilangan orientasi.

Cobaan berat ini justru harus kita hadapi dengan memperkuat semangat gotong royong; melawan setiap usaha pecah belah; serta meneguhkan kembali komitmen untuk mengedepankan keselamatan bangsa di atas kepentingan sempit perseorangan dan golongan.

Di tengah penderitaan rakyat dan pertikaian elite, perlu ditumbuhkan rasa tanggung jawab di kalangan para pemimpin dan aparatur negara.

Seperti diingatkan oleh Bung Hatta, "Indonesia luas tanahnya dan besar daerahnya dan sebagai nusantara tersebar letaknya. Oleh karena itu, soal-soal yang mengenai pembangunan negara Indonesia yang merdeka dan kuat tak sedikit jumlahnya dan tidak pula mudah adanya. Pemerintahan negara yang semacam itu hanya dapat diselenggarakan oleh mereka yang mempunyai tanggung jawab yang sebesar-besarnya, dan mempunyai pandangan yang amat luas. Rasa tanggung jawab itu akan hidup dalam dada kita, jika kita sanggup hidup dengan memikirkan lebih dahulu kepentingan masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa."

Dalam menunaikan rasa tanggung jawab itu, hendaklah disadari bahwa berbagai cobaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini mencerminkan kekeliruan kita dalam menjalankan sistem pemerintahan negara karena penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila dan semangat konstitusi proklamasi.

Untuk itu, para penyelenggara negara, legislatif, eksekutif, dan yudikatif, harus kembali ke rel pemerintahan yang sejalan dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

Di tengah kegaduhan demokrasi, banyak orang dan aktor politik lupa pada pokok persoalan.

Bahwa demokrasi lebih dari sekadar ledakan perhimpunan, pesta pemilihan, atau rebutan kekuasaan, tapi modus kekuasaan yang seharusnya lebih menjunjung tinggi daulat rakyat dengan mewujudkan tujuan negara, seperti termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945: 'Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial'.

Dalam kaitan ini, perbaikan tata negara dan tata kelola negara menjadi kata kunci dalam perwujudan aspirasi demokrasi dan tujuan bernegara. Ledakan partisipasi massa dalam pesta demokrasi sering berujung dengan kekecewaan, ketika hiruk pikuk perdebatan politik tidak punya persambungan dengan output pemerintahan.

Dengan demikian, menjadi jelas bahwa kita tidak cukup berpesta demokrasi.

Taruhan kita ada pada kemampuan untuk memperbaiki tata kelola negara.

Jika berkaca dari keberhasilan reformasi birokrasi di negara-negara lain, ditemukan tiga faktor kunci (critical success factors) dalam reformasi tata kelola negara, yaitu (1) adanya kepemimpinan yang kuat; (2) adanya komitmen dan kesepahaman bersama yang kuat; dan (3) adanya agenda reformasi yang jelas, bertahap, dan terukur.

Faktor pertama merupakan kunci pembuka kotak pandora, bagi perbaikan faktor-faktor lainnya.

Bahwa demokrasi yang bermaksud memuliakan kedaulatan rakyat menghendaki kepemimpinan yang 'kuat', yakni kepemimpinan berbasis hukum dengan menjalankan amanat konstitusi.

Di sini, pemimpin negara mesti sadar bahwa demokrasi tak bisa dipisahkan dari konstitusi seperti tecermin dalam istilah 'demokrasi konstitusional' (constitusional democrasy).

Istilah itu mengandung makna bahwa demokrasi merupakan suatu fenomena politik yang tujuan ideologis dan teleologisnya ialah pembentukan dan pemenuhan konstitusi.

Dengan kata lain, demokrasi yang dijalankan tidak bisa bersifat generik yang bisa diambil begitu saja dari pengalaman negara lain, betapa pun majunya negara tersebut.

Demokrasi harus disesuaikan dengan falsafah dasar dan amanat konstitusi, yang merupakan abstraksi dari kesadaran dan jati diri bangsa. Dalam usaha melaksanakan konstitusi tersebut, diperlukan keteladanan kepemimpinan.

Dengan kepemimpinan yang committed terhadap konstitusi, ketaatan warga negara pada otoritas bukan sebagai ekspresi dari loyalitas dan ketakutan personal yang bersifat ad hoc, melainkan sebagai ekspresi dari kesadaran hukum untuk kemaslahatan bersama yang bersifat permanen.

Menyangkut keteladanan kepemimpinan itu, presiden dalam konstitusi Republik ini menempati posisi sentral.

Sebagai kepala negara dan pemerintahan, presiden melambangkan harapan masyarakat bahwa amanat konstitusi itu akan diterjemahkan ke dalam kerangka kebijakan dan dijalankan administrasi pemerintahan secara rasional.

Komitmen utama konstitusi dan kepemimpinan negara berkhidmat pada upaya untuk mengamankan dan mencari keseimbangan dalam pemenuhan tiga pokok kemaslahatan publik (public goods).

Hal itu berkisar pada persoalan legitimasi demokrasi, kesejahteraan ekonomi, dan identitas kolektif.

Basis legitimasi dari institusi-institusi demokrasi berangkat dari asumsi bahwa institusi-institusi tersebut merepresentasikan kepentingan dan aspirasi seluruh rakyat secara imparsial.

Klaim itu bisa dipenuhi jika segala keputusan politik yang diambil secara prinsip terbuka bagi proses-proses perdebatan publik (public deliberation) secara bebas, setara dan rasional.

Hanya dengan penghormatan terhadap prosedur-prosedur public deliberation seperti itulah, peraturan dan keputusan yang diambil memiliki legitimasi demokratis yang mengikat semua warga, dan pemerintah bisa melaksanakannya secara benar (right) dan tanpa ragu (strong).

Setelah basis legitimasi diperjuangkan, kemaslahatan publik selanjutnya ialah kesejahteraan ekonomi. Demokrasi politik tak bisa berjalan baik tanpa demokratisasi di bidang ekonomi.

Pancasila sendiri mengisyaratkan ujung pencapaian nilai-nilai ideal kebangsaan harus bermuara pada 'keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia'.

Negara kesejahteraan menjadi pertaruhan dari kesaktian Pancasila.

Untuk menciptakan kesejahteraan ekonomi di negara seperti ini, Joseph E Stiglitz (2005) merekomendasikan perlunya keseimbangan antara peran pemerintah dan pasar.

Dalam hal ini, negara-negara berkembang harus lebih bebas dan leluasa menentukan pilihan-pilihan kebijakan ekonomi mereka.

Tidak ada cara tunggal dan sistem yang sempurna, seperti yang sering dikhotbahkan para arsitek ekonomi di World Bank dan IMF.

Seturut dengan itu, pemimpin negara harus memiliki keberanian untuk menjalankan amanat konstitusi dalam penguasaan bumi, air, udara, dan kekayaan alam bagi kesejahteraan rakyat.

Pemimpin negara, sebagai mata hati dan mata nalar rakyat, harus berani mengambil sikap prorakyat dalam kasus eksplorasi kekayaan alam yang merugikan bangsa dan negara.

Semuanya itu merupakan prakondisi bagi terpeliharanya kebajikan ketiga: yakni identitas kolektif sebagai bangsa Indonesia.

Kemunculan Indonesia sebagai perwujudan dari civic nationalism (yang berbasis demokrasi konstitusional), dengan Pancasila sebagai titik temu solidaritas kolektifnya, mulai mendapatkan ancaman dari meruyaknya aspirasi politik identitas yang bersemangat partikularistik.

Fungsi pemimpin negara di tengah gelombang ekstremitas dalam masyarakat benar-benar sedang diuji.

Betapa pun Presiden/Wakil Presiden tampil karena dukungan partai atau kelompok tertentu, sekali mereka terpilih, anasir-anasir partikularistik harus dikesampingkan demi kemaslahatan bersama.

Kepemimpinan Presiden/Wakil Presiden lebih dari sekadar 'petugas partai', tapi petugas seluruh rakyat Indonesia yang harus dilayaninya.

Terlalu besar taruhannya jika Presiden tidak lagi mendengar jerit tangis ratusan juta rakyat hanya karena lebih mengutamakan kepentingan perseorangan dan golongan.

Dalam situasi krisis akut dengan darurat kepemimpinan, dunia politik memerlukan peran kepemimpinan yang lebih besar. Yang diperlukan bukan saja pemimpin yang baik (good leader), melainkan pemimpin agung (great leader).

Keagungan di sini tidaklah merefleksikan kapasitas untuk mendominasi dan memaksa, tetapi terpancar dari kesejatian karakter untuk mengasihi, melindungi, mengurus, dan menertibkan.

Singkat kata, diperlukan kepemimpinan moral yang dapat menambatkan kembali biduk-biduk yang oleng pada jangkar keyakinan.

Tentang hal itu, Khalifah Umar memberikan petunjuk, "Yang dapat memangku kepemimpinan ini ialah orang yang tegas tapi tak sewenang-wenang, lembut tapi tidak lemah, murah hati tapi tidak boros, hemat tapi tak kikir. Hanya orang seperti itulah yang mampu." []

Media Indonesia, 06 April 2015
Yudi Latif, Cendekiawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar