Mendahulukan
Cinta Tanah Air
Oleh:
Said Aqil Siroj
Ribut-ribut
soal WNI eksodus ke Suriah untuk bergabung dengan Negara Islam di Irak dan
Suriah serta pemblokiran situs-situs radikal tampaknya ada hal yang perlu
ditarik tegas. Ketegasan kebijakan dan penegasan cara pandang.
Kita
tengah menghadapiorang-orang yang sudah hilang rasa memiliki terhadap Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mereka ini adalah orang-orang yang ”kost”
di negeri ini. Bagi mereka, yang penting adalah ”cinta agama”dan buang
jauh-jauh ”cinta tanah air”.
Pentingnya
tanah air
Ada tiga
konsep tentang ukhuwah (persaudaraan), yaitu ukhuwah Islamiyah (persaudaraan
umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan bangsa), dan ukhuwah basyariyah
(persaudaraan umat manusia). Di sini, saya tekankan pada pentingnya ukhuwah
wathaniyah. Ukhuwah wathaniyah ini harus didahulukan ketimbang ukhuwah
Islamiyah.Sebab, tanpa negara, bagaimana umat Islam bisa melakukan kegiatan
keagamaannya?
Pentingnya
tanah air dapat kita lihat dari perjalanan hijrah Nabi Muhammad dari Mekkah ke
Madinah. Nabi ingin mempunyai tanah air (negara) sehingga dakwah Islam bisa
berkembang dengan baik. Ini pula mengapa Al Quran masih menyebut-nyebut tentang
kisah Fir’aun serta kisah para nabi lainnya. Sebab, kisah-kisah tersebut
menyingkapkan adanya sejarah tentang tanah air atau daerah yang pernah dihuni
oleh raja-raja terdahulu dan para nabi dalam menjalankan roda pemerintahan dan
misi kenabiannya.
Dalam
pepatah Arab dikatakan, ”Barang siapa yang tidak memiliki tanah air, ia tidak
memiliki sejarah. Dan, barang siapa yang tidak memiliki sejarah, akan
terlupakan. Contoh nyata adalah bangsa Kurdi yang tidak memiliki tanah air
sehingga tercerai-berai hidup berdiaspora di Turki, Irak, dan Suriah.
Anehnya,
di lingkungan keagamaan muncul pandangan yang memperlawankan antara
nasionalisme dan agama. Bahkan, banyak kelompok keagamaan yang menolak
nasionalisme dan malah menyebutnya sebagai ”kafir” atau thoghut.
Jangan
heran jika di negeri-negeri di mana mayoritasnya umat Islam sering kali terjadi
pertumpahan darah. Lihatlah Afganistan, Somalia, Irak, Yaman, atau Suriah.
Konflik di negeri-negeri Muslim ini tampak sudah berada di ambang batas
kemanusiaan. Apalagi, dengan kemunculan NIIS.
Kejadian
di Timur Tengah tersebut menunjukkan, ternyata kesamaan dalam agama belum atau
tak mampu menyatukan masyarakatnya. Islam di Timur Tengah ternyata berpotensi
menimbulkan konflik akibat salah tafsir yang kebablasan. Somalia atau
Afganistan, misalnya, 100 persen rakyatnya memeluk Islam. Namun, yang terjadi
perang saudara, saling rebut kekuasaan dan penindasan oleh rezim berkuasa.
Ini
berbalik fakta dengan apa yang terjadi di Indonesia. Semenjak dahulu kala,
Islam di Nusantara sudah memperlihatkan wajah yang arif dan damai. Pertikaian
memang terjadi, tetapi hanya lokal dan regional yang tak menimbulkan tragedi
nasional, sepertidi Irak atau Suriah dewasa ini. Dan, konflik-konflik yang
pernah terjadi di Nusantara tersebut justru menumbuhkan sikap dewasa dan
matang, seperti secara khusus kita lihat dalam perjalanan dakwah keislaman di
bumi Nusantara ini.
Para
pendakwah Islam sejak dulu tidak serta-merta melakukan ”pembumihangusan”
terhadap kearifan-kearifan lokal yang sudah lama berserakan di bumi Nusantara.
Artinya, mereka tidak menganggap bahwa ”warisan nasional” yang ada di bumi
Nusantara ini perlu dihancurkan lantas diganti secara frontal dengan
simbol-simbol keislaman yang literalis. Ini jelas jauh berbeda dengan apa yang
dilakukan ISIS, Boko Haram, atau Al-Shabab saat menguasai suatu daerah, lalu
melakukan penghancuran terhadap warisan-warisan sejarah yang ada, bahkan
kuburan pun jadi sasaran penghancuran.
Dari
perjalanan pendakwah Islam di bumi Nusantara ini membuktikan tidak adanya
pertentangan antara nasionalisme dan ajaran Islam. Mereka menyadari betul bahwa
untuk bisa berdakwah, dibutuhkan tanah air yang kondusif.
Para
ulama Nusantara dikenal sebagai cendekiawan berwawasan luas, penulis yang
kreatif dan produktif, serta terlibat dalam berbagai aspek kehidupan sosial,
politik, budaya, dan spiritualitas. Mereka adalah agen-agen perubahan.
Contohnya Hamzah Fansuri, Bukhari Al-Jauha, Syamsudin Al-Sumatrani, Nuruddin
Ar-Raniri, dan Abdul Rauf Al-Singkili. Mereka tiadk hanya telah meletakkan
fondasi dakwah yang moderat, tetapi juga mampu memberi bukti nyata bagi
perjalanan historiografi dakwah Islam di Nusantara yang menampakkan wajah Islam
yang jauh dari sikap dan tindakan radikal.
Hasilnya,
bisa kita lihat hingga sekarang. Misalnya, nama-nama pesantrenyang justru
dikenal karena nama desa atau daerahnya, seperti Pesantren Tebuireng, Pesantren
Krapyak, Pesantren Termas, Pesantren Langitan, Pesantren Buntet, Pesantren
Suralaya, dan Pesantren Cipasung. Ini jelas berbeda dengan munculnya
pesantren-pesantren dadakan yang dibangun oleh kelompok-kelompok
radikal-puritan yang menonjolkan nama kearaban. Bahkan, sama sekali tidak
menghiraukan nama desa atau daerahnya karena anggapan yang terpenting buat
mereka adalah nama-nama yang dipandang ”Islami”. Daerah tempat berpijak
tidaklah penting. Yang terlihat di kalangan kelompok radikal seperti iniadalah
penonjolan ukhuwan Islamiyah semata dan meniadakan ukhuwan wathaniyah.
Jelaslah,
Islam di Indonesia tidak punya akar radikal. Munculnya radikalisme dan
terorisme merupakan hasil adopsi kultur keagamaan yang datang dari luar.
Katakanlah, Islam yang radikal lebih merupakan ”produk impor”, layaknya sebuah
produk yang diimpor dari luar negeri dan kemudian dijajakan di dalam negeri.
Arus komunikasi global dewasa ini yang memungkinkan orang begitu mudahnya
menyerap paham-paham luaran menjadi fakta adanya pergulatan ”model baru” dalam
memaknai dan menindaki ajaran Islam. Kasus pemblokiran situs radikal menjadi
potret ketegasan untuk mempertahankan tanah air dari serbuan informasi yang
merusak.
Peneguhan
peran
Sikap
moderatala Islam Indonesia ini sudah saatnya pula diekspor ke mancanegara,
khususnya ke Timur Tengah. Kita lihat di Timur Tengah menunjukkan
ketidakberimbangan peranan ulama antara ilmu yang dimiliki dan peranannya
kepada kemaslahatan orang banyak. Akibatnya, ulama tidak bisa memberikan
kontribusinya pada saat terjadi konflik di tengah masyarakat. Ulama di Timur Tengah
hebat-hebat. Namun, kiprah mereka biasa-biasa saja, bahkan terlihat ibarat
”macan kertas’ karena hanya lihai berkhotbah atau menulis berjilid-jilid kitab,
tetapi lembek di lapangan.
Ulamakita
lebih baik. Itu yang ingin kita tularkan. Ulama-ulama di negeri kita mampu
meredam konflik yang terjadi di daerahnya, seperti kasus Sampang dan kasus
Jember. Kiai-kiai di negeri ini punya modal semangat pengabdian yang tinggi.
Biarpun ilmu pas-pasan, mereka tergerak untuk mendirikan pesantren yang
manfaatnya dapat dirasakan masyarakat dan negara.
Walhasil,
Islam Indonesia adalah harapan bagi kehidupan masyarakat dunia pada masa yang
akan datang.Potensi itu sangat besar karena posisi Muslim Indonesia yang
moderat.Karena itu, saatnya kembali meneguhkan Islam Nusantara untuk peradaban
Indonesia dan dunia. []
KOMPAS,
11 April 2015
Said Aqil
Siroj, Ketua Umum PBNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar