Senin, 06 April 2015

Azyumardi: Kontroversi Buku Teks (1)



Kontroversi Buku Teks (1)
Oleh: Azyumardi Azra

Indonesia agaknya adalah salah satu negara yang paling sering mengalami kehebohan dan kontroversi sedkitar isi atau bagian tertentu buku teks sekolah—sejak dari dasar sampai menengah hingga perguruan tinggi. Karena relatif sering terjadinya kejadian seperti itu, sulit mencari kata lain, instansi dan pihak  bertanggungjawab dalam hal ihwal buku teks sangat ceroboh dan tidak bekerja seperti diharapkan publik, orangtua, dan peserta didik.

Kehebohan dan kontroversi terakhir misalnya terkait adanya muatan ajaran radikal dalam buku paket Pendidikan Agama Islam (PAI) untuk SMA kelas XI yang dapat diunduh dari Buku Sekolah Elektronik. Dalam Bab 10 yang bertajuk ‘Bangun dan Bangkitlah Pejuang Islam’ termuat pada halaman 170 ada ulasan tentang Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab [pendiri paham dan gerakan Wahabiyah di Arab Saudi]. Paham radikal Syaikh ‘Abdul Wahab yang dipegangi para pengikut Wahabiyah disampaikan dalam buku teks itu, yakni: “Siapa yang menyembah selain Allah SWT telah menjadi musyrik dan boleh dibunuh”.

Tidak ragu lagi kalimat itu menunjukkan sikap ekstrim dan radikal paham Wahabiyah. Jelas pula, pernyataan seperti bukan tidak mungkin mempengaruhi pemahaman dan perilaku peserta didik, yang dapat mendorong radikalisasi di kalangan siswa dan remaja Muslim Indonesia. Jadi, kalimat semacam itu dapat sangat berbahaya bagi kehidupan keislaman-keindonesian di hari ini dan ke depan.

Ada lagi buku PAI untuk SMA/MA kelas X yang dapat dipandang sebagai melecehkan Sahabat Nabi, Sayyidina ‘Umar bin al-Khattab. Sahabat Nabi yang merupakan khalifah kedua dari al-Khulafa’ al-Rasyidun memuat gambar [maaf, mirip celeng] yang disebut sebagai ‘Umar bin al-Khattab. Imajinasi liar yang sangat melecehkan. Gambar ini juga ada dalam Latihan Kerja Siswa (LKS).

Tetapi kehebohan terjadi bukan hanya terkait pelajaran agama. Tak kurang seringnya juga adalah unsur ‘pornografi’ atau penggambaran hal terkait. Jelas hal seperti itu juga tak pantas termuat dalam buku teks sekolah.

Pada Juli 2013 misalnya, masyarakat dihebohkan dengan adanya unsur  ‘pornografi’ dalam buku pelajaran bahasa Indonesia untuk kelas VI SD. Dalam buku teks yang ditulis Ade Khusnul dan M Nur Arifin terdapat sejumlah kalimat asosiatif dengan pornografi—di luar kepatutan untuk ada dalam buku teks.

Menurut komitesdnpolisi4.blogspot.com (10 Juli 2013 yang juga diturunkan Republika 10 Juli 2013, terdapat kalimat dan kosakata jorok yang tidak patut dikutip kembali di sini. Teks itu terkait dengan lelaki sangat bernafsu dengan jakun turun naik melihat perempuan molek PSK sehingga memperkosanya sampai hamil dan akhirnya melahirkan bayi dari [maaf] ‘selangkangannya’.

Bagian tidak patut juga terdapat dalam buku teks bahasa Indonesia untuk kelas VII/SMP Kurikulum 2013. Pada bagian lampiran buku teks tersebut ada kutipan dari Cerpen ‘Gerhana’ karya Muhammad Ali yang dari segi substansi dan bahasa tidak pantas disampaikan kepada peserta didik.

Kasus-kasus ini menunjukkan latennya unsur-unsur tidak patut masuk ke dalam buku teks sekolah. Pertanyaannya, kenapa kejadian seperti ini selalu berulang? Apakah naskah buku-buku teks itu diperiksa secara cermat oleh pihak-pihak bertanggungjawab? Apakah penulis buku pernah diteliti rekam jejaknya sebelum diizinkan menulis buku teks sekolah?

Bahwa kejadian seperti itu selalu berulang mengindikasikan, naskah buku teks beserta penulisnya tidak pernah diteliti serius, cermat dan  hati-hati. Dari waktu ke waktu Mendiknas atau Mendikbud mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) penetapan sejumlah buku teks sekolah dalam berbagai matapelajaran lengkap dengan para penulis dan penerbitnya. Tetapi kasus demi kasus yang menghebohkan memperlihatkan, Mendikbud tinggal tanda tangan setelah ada paraf Dirjen dan Dirjen memaraf setelah ada paraf Direktur atau pejabat lain terkait.

Sesuai Permendikbud, pihak yang bertanggungjawab memeriksa naskah buku teks adalah Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) bekerja sama dengan Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) Kemendikbud. Mereka berkewajiban memeriksa kelayakan naskah buku teks untuk diterbitkan baik dari segi isi, penyajian, bahasa dan kegrafikaan.

Tetapi, sekali lagi melihat kasus demi kasus yang terus menyeruak terlihat BSNP dan Puskurbuk tidak memeriksa secara cermat dan hati-hati naskah buku teks sekolah. Kelihatan mereka ceroboh bukan hanya dalam menilai substansi dan bahasa naskah, tetapi juga tidak mengetahui persis latar belakang keilmuan, kompetensi keilmuan dan kecenderungan pribadi pribadi penulis dalam berbahasa (jorok atau genit) atau dalam pemahaman keagamaan (keras atau radikal).

Buku teks sekolah jelas memiliki posisi strategis dalam pembentukan keilmuan, pandangan hidup dan perilaku peserta didik pembacanya. Karena itu kecerobohan dan ketidakseriusan membaca dan menilai naskah buku teks sekolah sehingga meloloskan substansi dan bahasa tidak patut jelas tidak bisa dibiarkan terus berlanjut.

Perlu segera pembenahan dalam sistem persetujuan penulisan buku teks dan penulis serta penerbitnya. Sangat penting pula melibatkan para pemangku kepentingan lain, khususnya orangtua murid. Dengan begitu, kerugian sangat besar bagi dunia pendidikan kita dan masyarakat umumnya dapat dihindari. []

REPUBLIKA, 02 April 2015
Azyumardi Azra  ;  Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Ketua Teman Serikat Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar