Rabu, 29 April 2015

Azyumardi: Politik Gerontokrasi



Politik Gerontokrasi
Oleh: Azyumardi Azra

Susilo Bambang Yudhoyono (66), presiden dua masa jabatan (2004-2009 dan 2009-2014), tampaknya bakal mulus terpilih kembali menjadi Ketua Umum Partai Demokrat (PD) dalam kongres ketiga di Surabaya, 11-13 Mei 2015. Meskipun ada aspirasi cukup nyaring di kalangan pengurus dan anggota PD agar SBY tidak maju lagi, SBY telah menyatakan kesediaannya. SBY mengutarakan, para kader meminta dia memimpin kembali PD. ”Manakala itu betul-betul permintaan mayoritas kader, saya akan terima dan akan saya jalankan sebaik-baiknya,” ujar SBY (Kompas, 24/4/2015).

Sebelumnya, Kamis (9/4), politisi senior lain, Megawati Soekarnoputri (68) yang juga pernah menjabat Presiden RI (2001-2004) dalam Kongres IV PDI-P di Bali secara aklamasi didaulat kembali menjadi Ketua Umum PDI-P (2015-2020). Jika dalam PD ada figur semacam Marzuki Alie yang terbuka mencalonkan diri ”menantang” SBY, sebaliknya tidak satu pun di lingkungan PDI-P yang tampak berani berbisik menyebut alternatif selain Megawati.

Dominasi politisi senior juga terlihat dalam partai lain yang pernah pula memenangi pemilu. Jika PD menang pemilu legislatif pada 2009, PDI-P pada 1999 dan 2014, Partai Golkar yang memenangi pemilu legislatif 2004 juga didominasi politisi senior. Kedua ketua umum dari dua kubu yang bertikai sekarang sudah senior pula: Aburizal Bakrie berusia 69 tahun dan Agung Laksono berumur 66 tahun.

Seorang politisi senior lain perlu disebut. Dia adalah Prabowo Subianto (64), Ketua Dewan Pembina Partai Gerinda. Meski ”hanya” Ketua Dewan Pembina, publik tahu Prabowo yang bisa menghitamputihkan partai ini. Pada September 2014, berdasarkan keputusan kongres luar biasa, dia pun merangkap Ketua Umum Gerindra, menggantikan Suhardi yang meninggal dunia. Pernah maju sebagai calon presiden pada Pilpres 2014, Prabowo dengan calon wapres Hatta Rajasa (61) dikalahkan Joko Widodo (54) yang berpasangan dengan Jusuf Kalla (72).

Dengan demikian, jagat politik Indonesia didominasi para politisi berusia di atas 60 tahun—bahkan banyak yang sudah lebih dekat ke 70 tahun. Mereka sudah malang melintang dalam kancah politik Indonesia—sebagian sejak masa Orde Baru melintasi masa Reformasi yang kini sudah masuk paruh kedua dasawarsa kedua.

Mereka yang masih bersedia menjadi pemimpin puncak partai dalam usia yang sudah akhir 60-an tahun dalam bahasa lebih sopan disebut sebagai ”politisi senior”. Namun, dalam istilah sedikit peyoratif—meminjam ungkapan yang lazim dalam politik Amerika Serikat—mereka aging politicians, politisi lanjut usia atau politisi yang sudah dimakan umur.

Dalam kancah ilmu politik, terminologi yang lebih umum digunakan adalah gerontokrasi: dari kosakata Yunani geront, berarti ’orang tua’ atau ’orang lanjut usia’. Geront + kratia (kekuasaan) berarti keadaan politik dan pemerintahan di mana yang berkuasa orang-orang yang secara signifikan lebih tua dibandingkan rata-rata populasi dewasa.

Istilah gerontokrasi dipopulerkan di Perancis sejak abad ke-19 sebagai kritik terha- dap parlemen yang kian didominasi politisi tua dengan perilaku politik patronizing. Penggunaan istilah gerontokrasi secara saintifik mengacu kepada bentuk organisasi politik primitif—yaitu dikuasai orang-orang tua—yang terus berlanjut sampai hari ini di berbagai negara dunia, termasuk Indonesia.

Apa dampak gerontokrasi terhadap politik Indonesia? Satu hal sudah pasti, yaitu terhalangnya mobilitas vertikal politik politisi generasi lebih muda. Mereka berusia 40-an tahun yang sudah aktif pula bertahun-tahun dalam partai tidak dapat menembus dominasi atau sedikitnya hegemoni pemegang gerontokrasi. Keadaan ini memunculkan otokrasi dalam partai politik. Otokrasi yang lama, baik pada tingkat negara maupun partai, bisa memicu perlawanan diam-diam yang akhirnya dapat memunculkan eksplosi politik yang bukan tidak mungkin mencabik-cabik negara atau partai.

Dalam konteks itu, majalah The Economist (15/2/2011) berargumen, salah satu penyebab Arab Spring adalah perbedaan umur rata-rata (median age) di antara penduduk dengan penguasa dan politisi. Negara-negara otokrasi Arab dan di mana pun memperlihatkan kesenjangan antargenerasi.

Secara teoretis, negara demokrasi lebih memungkinkan munculnya politisi lebih muda. Namun, dalam kenyataan, negara demokrasi seperti Amerika Serikat bukan tidak mengandung gerontokrasi, baik di lembaga eksekutif dan legislatif khususnya.

Demokrasi Indonesia juga belum banyak memberikan peluang memadai bagi kemunculan politisi lebih muda untuk tampil dalam posisi puncak partai dan pentas nasional. Budaya politik yang belum sepenuhnya demokratis masih banyak ewuh pakewuh terhadap politisi senior untuk melanggengkan kekuasaannya.

Lagi pula partai di Indonesia sangat rentan pada friksi. Alokasi pembagian kekuasaan dan perbedaan pendapat belum bisa diselesaikan lewat mekanisme resolusi konflik secara damai. Hasilnya adalah pemisahan diri dan pembentukan partai pecahan baru (splinter party) yang sulit sekali menjadi sehat dan besar sehingga kompetitif dalam pemilu.

Karena itu, gerontokrasi yang tidak sehat bagi partai dan demokrasi patut dikurangi, jika tidak bisa dihilangkan. Untuk itu, perlu keikhlasan politisi senior melapangkan jalan bagi regenerasi dalam partainya. Dengan begitu, kita bisa berharap terwujudnya partai dan demokrasi lebih sehat dan dinamis. []

KOMPAS, 28 April 2015
Azyumardi Azra Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Dewan Penasihat International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), Stockholm (2007-2010, 2010-2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar