Politik Gerontokrasi
Oleh: Azyumardi Azra
Susilo Bambang Yudhoyono (66), presiden dua masa jabatan
(2004-2009 dan 2009-2014), tampaknya bakal mulus terpilih kembali menjadi Ketua
Umum Partai Demokrat (PD) dalam kongres ketiga di Surabaya, 11-13 Mei 2015.
Meskipun ada aspirasi cukup nyaring di kalangan pengurus dan anggota PD agar
SBY tidak maju lagi, SBY telah menyatakan kesediaannya. SBY mengutarakan, para
kader meminta dia memimpin kembali PD. ”Manakala itu betul-betul permintaan
mayoritas kader, saya akan terima dan akan saya jalankan sebaik-baiknya,” ujar
SBY (Kompas, 24/4/2015).
Sebelumnya, Kamis (9/4), politisi senior lain, Megawati
Soekarnoputri (68) yang juga pernah menjabat Presiden RI (2001-2004) dalam
Kongres IV PDI-P di Bali secara aklamasi didaulat kembali menjadi Ketua Umum
PDI-P (2015-2020). Jika dalam PD ada figur semacam Marzuki Alie yang terbuka
mencalonkan diri ”menantang” SBY, sebaliknya tidak satu pun di lingkungan PDI-P
yang tampak berani berbisik menyebut alternatif selain Megawati.
Dominasi politisi senior juga terlihat dalam partai lain yang
pernah pula memenangi pemilu. Jika PD menang pemilu legislatif pada 2009, PDI-P
pada 1999 dan 2014, Partai Golkar yang memenangi pemilu legislatif 2004 juga
didominasi politisi senior. Kedua ketua umum dari dua kubu yang bertikai
sekarang sudah senior pula: Aburizal Bakrie berusia 69 tahun dan Agung Laksono
berumur 66 tahun.
Seorang politisi senior lain perlu disebut. Dia adalah Prabowo
Subianto (64), Ketua Dewan Pembina Partai Gerinda. Meski ”hanya” Ketua Dewan
Pembina, publik tahu Prabowo yang bisa menghitamputihkan partai ini. Pada
September 2014, berdasarkan keputusan kongres luar biasa, dia pun merangkap
Ketua Umum Gerindra, menggantikan Suhardi yang meninggal dunia. Pernah maju
sebagai calon presiden pada Pilpres 2014, Prabowo dengan calon wapres Hatta
Rajasa (61) dikalahkan Joko Widodo (54) yang berpasangan dengan Jusuf Kalla
(72).
Dengan demikian, jagat politik Indonesia didominasi para politisi
berusia di atas 60 tahun—bahkan banyak yang sudah lebih dekat ke 70 tahun.
Mereka sudah malang melintang dalam kancah politik Indonesia—sebagian sejak
masa Orde Baru melintasi masa Reformasi yang kini sudah masuk paruh kedua
dasawarsa kedua.
Mereka yang masih bersedia menjadi pemimpin puncak partai dalam
usia yang sudah akhir 60-an tahun dalam bahasa lebih sopan disebut sebagai
”politisi senior”. Namun, dalam istilah sedikit peyoratif—meminjam ungkapan
yang lazim dalam politik Amerika Serikat—mereka aging politicians, politisi
lanjut usia atau politisi yang sudah dimakan umur.
Dalam kancah ilmu politik, terminologi yang lebih umum digunakan
adalah gerontokrasi: dari kosakata Yunani geront, berarti ’orang tua’ atau
’orang lanjut usia’. Geront + kratia (kekuasaan) berarti keadaan politik dan
pemerintahan di mana yang berkuasa orang-orang yang secara signifikan lebih tua
dibandingkan rata-rata populasi dewasa.
Istilah gerontokrasi dipopulerkan di Perancis sejak abad ke-19
sebagai kritik terha- dap parlemen yang kian didominasi politisi tua dengan
perilaku politik patronizing. Penggunaan istilah gerontokrasi secara saintifik
mengacu kepada bentuk organisasi politik primitif—yaitu dikuasai orang-orang
tua—yang terus berlanjut sampai hari ini di berbagai negara dunia, termasuk
Indonesia.
Apa dampak gerontokrasi terhadap politik Indonesia? Satu hal sudah
pasti, yaitu terhalangnya mobilitas vertikal politik politisi generasi lebih
muda. Mereka berusia 40-an tahun yang sudah aktif pula bertahun-tahun dalam
partai tidak dapat menembus dominasi atau sedikitnya hegemoni pemegang
gerontokrasi. Keadaan ini memunculkan otokrasi dalam partai politik. Otokrasi
yang lama, baik pada tingkat negara maupun partai, bisa memicu perlawanan
diam-diam yang akhirnya dapat memunculkan eksplosi politik yang bukan tidak
mungkin mencabik-cabik negara atau partai.
Dalam konteks itu, majalah The Economist (15/2/2011) berargumen,
salah satu penyebab Arab Spring adalah perbedaan umur rata-rata (median age) di
antara penduduk dengan penguasa dan politisi. Negara-negara otokrasi Arab dan
di mana pun memperlihatkan kesenjangan antargenerasi.
Secara teoretis, negara demokrasi lebih memungkinkan munculnya
politisi lebih muda. Namun, dalam kenyataan, negara demokrasi seperti Amerika
Serikat bukan tidak mengandung gerontokrasi, baik di lembaga eksekutif dan
legislatif khususnya.
Demokrasi Indonesia juga belum banyak memberikan peluang memadai
bagi kemunculan politisi lebih muda untuk tampil dalam posisi puncak partai dan
pentas nasional. Budaya politik yang belum sepenuhnya demokratis masih banyak
ewuh pakewuh terhadap politisi senior untuk melanggengkan kekuasaannya.
Lagi pula partai di Indonesia sangat rentan pada friksi. Alokasi
pembagian kekuasaan dan perbedaan pendapat belum bisa diselesaikan lewat
mekanisme resolusi konflik secara damai. Hasilnya adalah pemisahan diri dan
pembentukan partai pecahan baru (splinter party) yang sulit sekali menjadi
sehat dan besar sehingga kompetitif dalam pemilu.
Karena itu, gerontokrasi yang tidak sehat bagi partai dan
demokrasi patut dikurangi, jika tidak bisa dihilangkan. Untuk itu, perlu
keikhlasan politisi senior melapangkan jalan bagi regenerasi dalam partainya.
Dengan begitu, kita bisa berharap terwujudnya partai dan demokrasi lebih sehat
dan dinamis. []
KOMPAS, 28 April 2015
Azyumardi Azra Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota
Dewan Penasihat International Institute for Democracy and Electoral Assistance
(IDEA), Stockholm (2007-2010, 2010-2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar