Selasa, 28 April 2015

Taktik Perang ala Santri Al-Muayyad Solo di Tahun 1947



Taktik Perang ala Santri Al-Muayyad

Dalam peperangan dikenal istilah strategi bumi hangus, yang terkadang perusakan sebuah tempat atau daerah tersebut justru dilakukan oleh penduduknya sendiri. Seperti pada saat  Perang Bandung Lautan Api, ketika itu para pejuang membakar kota Bandung Selatan yang akan dikuasai oleh musuh. Taktik itu dipilih agar musuh tidak dapat memanfaatkan fasilitas yang mereka kuasai.

Pun demikian yang dilakukan oleh para santri Al-Muayyad Solo pada saat meletus Agresi Belanda I. Para santri dan kiai pejuang mendapatkan informasi bahwa tentara pendudukan akan menjadikan asrama santri itu sebagai barak. Padahal, 12 kamar asrama putra yang akan dimanfaatkan Belanda tersebut baru selesai dibangun pada tahun 1947.

Mereka kemudian menerapkan strategi bumi hangus tersebut, meskipun tidak sampai membakar atau bisa juga disebut taktik pengelebuan, agar asrama yang akan dijadikan barak tersebut tidak jadi digunakan sebagai barak. Kiai-kiai sepuh menasihati agar para santri tabah dan bersedia berkorban. Bangunan permanen yang masih baru tersebut terpaksa dirusak agar tak layak huni.

Dengan berat hati para santri memecah genting, mendongkel pintu dan jendela, mengikis dan mencoret-coret tembok dengan arang, memiringkan tiang-tiang, dan bahkan mananami halaman dengan rumput, singkong, dan sayuran secara tidak teratur untuk menempatkan kesan bahwa pondok itu tak layak huni sebagai barak tentara. Dan benar, asrama tersebut tidak jadi digunakan sebagai barak. Setelah situasi tenang dengan kemenangan dipihak Tentara Nasional Indonesia, tahun 1952 asrama tersebut kembali dibangun. 

Sebagai pesantren yang dirintis dan tumbuh di masa perjuangan kemerdekaan, riwayat panjang juga menyertai Al-Muayyad. Waktu itu banyak santri dan kiai yang malam hari ikut bergerilya, sementara siang hari sibuk mengaji dan belajar. Sebagian besar juga turut kerja bakti sukarela sebagai tukang membangun masjid, asrama santri, dan fasilitas pesantren lainnya

Pada masa itu, pondok juga sering digunakan untuk berkumpul oleh para pejuang, baik yang tergabung dalam kesatuan Hizbullah, Sabilillah, maupun Barisan Kiai. Al-Muayyad tidak dicurigai pihak penjaja. Karena letaknya di tengah kota dan sarat dengan nuansa keagamaan, Al-Muayyad justru tidak tampak sebagai tempat berhimpun para pejuang. []

(Ajie Najmuddin/ Al-Muayyad)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar