Rabu, 30 Oktober 2013

(Ngaji of the Day) Haji dan Qurban Setiap Saat


Haji dan Qurban Setiap Saat

Oleh: Muhammad Roby Ulfi ZT*

 

Disadari atau tidak, setiap kali kita menutup shalat, pasti kita menyematkan Nabi Ibrahim dan keluarganya dalam tasyahud akhir. Kenapa tidak nabi yang lain? Dan saat kita tengah menutup tahun ini, setidaknya ada dua ibadah teristimewa; ibadah haji dan ibadah qurban (udhiyyah).

 

Dua ibadah penutup tahun ini dikatakan istimewa karena hanya dilaksanakan setahun sekali, di penghujung tahun pula. Dan semakin istimewa sebab hanya bisa dilaksanakan bagi yang mampu (the have). Pertanyaannya lagi, kepada siapakah Tuhan kali pertama mensyariatkan dua ibadah ini?

 

Dari sini, tampak jelas kita memang butuh cermin tahunan agar kehidupan ke depan semakin "kinclong". Semakin yakin firmah Allah, "Sungguh, telah ada suri teladan yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya."

 

Ayat enam surat al Mumtahanah tersebut memantapkan kita untuk menjadikan Nabi Ibrahim dan keluarganya sebagai cermin kehidupan. Minimal, kita bercermin sekali setiap penghujung tahun seperti inilah.

 

Mari kita refleksikan setiap langkah hidup kita dengan cermin Ibrahim sekeluarga, yang pertama kali mengumandangkan haji dan merelakan putranya, Ismail, disembelih sebagai bentuk pengorbanan cinta kepada Allah Subhanahu Wata'ala.

 

Dalam berbagai tinjauan, sebenarnya ibadah haji dan kurban mengandung tiga dimensi filosofis: spiritual-transendental, psikologis-simbolis, dan sosiologis-humanis.

 

Arti spiritual-transendental, bahwa kita melaksanakan kedua ibadah ini sebagai konsekuensi keimanan kita kepada Yang Maha Kuasa. Tanpa landasan iman, tentu kita takkan rela mengorbankan segala yang kita miliki, mulai dari harta, waktu, bahkan hingga nyawa, demi tercapainya haji yang mabrur dan pahala kurban.

 

Sudah berapa nyawa yang syahid selama ibadah haji berjalan? Berapa hewan kurban yang disembelih selama hari raya Idul Adha hingga akhir hari tasyrik? Sangat disayangkan bila semua itu dikorbankan demi popularitas, tanpa dasar spiritual-trasenden.

 

Bila kita renungi, ibadah haji dan kurban hingga sekarang masih eksis, bahkan begitu memikat banyak kalangan, adalah buah dari kekuatan spiritual-transenden Nabi Ibrahim dan keluarganya: keyakinan total mereka pada Allah. Tanpa kekuatan ini, mana mungkin Nabi Ibrahim menyerukan setiap orang yang ia temui untuk "singgah" ke Baitullah, yang saat itu masih sebidang tanah kerontang. Tanpa dasar spiritual-transenden, Bunda Hajar bersama bayi mungilnya takkan sudi hijrah dari "tanah terpilih", Kana’an menuju perjalanan jauh padang pasir yang sangat amat melelahkan. Tanpa spiritual-transenden ini juga, Nabi Ismail, yang baru saja belia, takkan rela disembelih sebagai pemenuhan mimpi sang ayah, yang akhirnya Allah ganti dengan kambing biri-biri dari surga.

 

Maka, bila berkeinginan banyak keberkahan dan kesuksesan hidup melalui berbagai ibadah, atau bahkan setiap aktivitas yang dilakukan, sudah semestinya semua itu kita landasi dengan dimensi spiritual-transendental: Kita menjalankan semua ini semata-mata demi Allah Subhanallah Wata'alaa.

 

Dan secara psikologis-simbolis, ibadah kurban melambangkan sifat hewani yang melekat pada diri manusia, seperti tak berakal, malas, kejam, serakah, dan egois, yang perlu dibuang dengan tebusan penyembelihan hewan sebagai upaya pemenuhan panggilan dan perintah Allah. Sehingga darah yang mengalir dari hewan kurban, hendaknya dapat membuat kita insyaf, bahwa hewan tak berakal saja rela berkorban demi menuruti kemauan manusia karena kekuasaannya. Maka, sewajarnyalah jika kita manusia yang berakal semestinya mau berkorban di jalan Allah, yang kekuasaan-Nya jelas lebih besar dibanding kekuasaan manusia.

 

Dimensi psikologis-simbolis juga sangat kental dalam ibadah haji. Ihram, misalnya, merupakan simbol ritual yang mendidik manusia agar meninggalkan seluruh 'pakaian' yang pantas ditanggalkan, yang hina di mata Tuhan; kesombongan, hedonisme, dll, serta menggantinya dengan pakaian' putih dan suci; kerendahan hati, kesederhanaan, dll.

 

Dengan menyadari dimensi psikologis-simbolis dalam kurban dan haji, syukur-syukur saat beribadah apa pun, mental dan karakter kita akan mampu meneladani Nabi Ibrahim, Bunda Hajar, dan Nabi Ismail dalam kehidupan sehari-hari kita. Peka terhadap sekitar, rela mengorbankan apa saja demi kesejahteraan sosial, tidak memandang rendah pada kaum tak punya, berkehidupan sangat sederhana, dan masih banyak sifat-sifat terpuji lainnya, yang lahir sebagai buah dari penghayatan dimensi psikologis-simbolis ini.

 

Terakhir, ibadah haji dan kurban sangat erat dengan dimensi sisiologis-humanis. Maksudnya kedua ibadah ini "menciptakan" kita lebih sosialis, peduli sekitar, dan makin humanis, memanusiakan manusia.

 

Letak sosialis-humanis dalam kurban ada pada prinsip distribusi daging hewan pada manusia-manusia sekitar kita. Wajah mereka yang hampir bersedih di hari raya Idul Adha -karena kurang memiliki apa-apa- langsung berubah ceria setelah mendapat daging kurban. Prinsip disribusi kurban ini –begitu juga kaffarah haji- merupakan bukti konkrit kepedulian demi terjalin solidaritas sosial dan kesejahtraan.

 

Larangan memburu, "menumpahkan" darah, mencabut pepohonan, dan sekian peraturan saat ihram haji juga banyak mengandung sisi-sisi sosial-humanis. Larangan ini menyadarkan kita sebagai khalifah bumi, yang diberi amanah agar berperan memelihara makhluk-makhluk Allah serta memeberi kesempatan seluas mungkin untuk mencapai tujuan penciptaan-Nya.

 

Makna tersirat atau bisa kita sebut filosofi semacam ini perlu dihayati agar ketiga dimensi diatas mampu menghidupkan jiwa kita, yang telah lama suram. Tanpa memaknai yang tersirat dan filosofinya, ibadah apapun dan sebanyak berapapun akan menjebak pelakunya di jurang formalitas belaka tanpa subtansi, bagai tubuh tanpa ruh. Jadi, ukurannya bukan kuantitas, tapi seberapa kualitas ibadah yang kita hayati.

 

Dengan demikian, momentum lebaran Idul Adha di setiap penghujung tahun ini nampaknya memang menuntut kita untuk benar-benar merefleksikan diri dengan selalu berhaji dan berkurban. Artinya beribadah apa pun, bukan sekedar memenuhi panggilan Syariat, melainkan karena memang kondisi riil umat Islam kita yang kini dihadapkan pada berbagai cobaan yang cukup memprihatinkan.

 

Atau, jangankan kondisi umat Islam, cobalah sesekali tengok kondisi diri kita sendiri bersama waktu-waktu yang telah kita sembelih. Sudah berapa tahun kita habiskan hidup ini? Sudah berapa kebaikan sekaligus keburukan yang kita kobarkan? Dan, hai. tahun depan tinggal berapa hari lagi, ya?

 

Oleh karena itu, sebelum menginjak lembaran tahun baru yang masih putih-suci, mari kita tak bosan bercermin, meneladani Nabi Ibrahim, Bunda Hajar, dan Nabi Ismail demi masa depan kita yang lebih jernih, sejernih air Zamzam.

 

Dengan cermin plus ketiga dimensi ini, mari kita ber-"haji" dan ber-"qurban" setiap saat. Semoga!

 

*) Wakil Ketua Tanfidziyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Yaman periode 2012-2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar