Rabu, 02 Oktober 2013

Asketisme para Tokoh NU


Asketisme para Tokoh NU

 

NU menjadi organisasi yang besar dalam waktu cepat, sejak didirikan tahun 1926, maka tahun 1935 sudah berdiri cabang di berbagai daerah baik di Sumatera maupun Kalimantan. Karena itu pada tahun 1935 sudah bisa menyelenggarakan Muktamar NU di tanah Borneo itu.

 

Pada waktu itu jarak antara Jawa dengan Kalimantan masih cukup sulit ditempuh karena minimnya sarana transportasi, hanya ada jalur laut itupun tidak setiap hari. Ketika menghadiri Muktamar tersebut para pengurus PBNU seperti KH Mahfudz Shiddiq, KH Abdullah Ubaid dan lain sebagainya, berangkat dari Surabaya ke Banjarmasin dengan kapal laut hanya menjadi penumpang dek, seperti kaum kebanyakan.

 

Padahal sebagai penumpang dek tidurnya bergelimpangan di lorong, mereka harus ngantri untuk mendapat ransum makanan masing-masing itupun hanya berlauk ikan asin. Ada seorang santri yang bertanya; kenapa kiai tidak naik kapal kelas satu yang nyaman, toh sebagai Pengurus Besar bisa minta dispensasi pada pemerintah.” Apa gunanya tidur di kamar bersama Belanda yang angkuh dan sombong, tetapi harus berpisah dengan bangsa sendiri, yang penuh keramahan, kejujuran dan kesederhanaan.” kata Kiai Abdullah.“Dengan hidup sederhana kita bisa mandiri, dengan kemandirian itulah kita bisa menyebarkan NU sesuai dengan rencana kita sendiri, tanpa campur tangan Belanda. Mereka selalu berharap kita tergantung kepadanya, tetapi kita menghindar. Ini dicontohkan Kiai Hasyim dan yang lain-lain”.

 

Bahkan dalam Muktamar di Menes beberapa pengurus NU beserta santrinya pergi ke tenmpat Muktamar dengan mengendarai sepeda motor sendiri. Dalam melakukan tugasnya para pengurus PBNU di kantor pusat Surabaya ketika berkunjung ka Batavia hanya menumpang kereta kelas dua bahkan kelas tiga. Itupin sering tidak kebagian tempat kursi sehingga hanya duduk di bordes, yang panas dan bising bersama para pedagang dan petani. Militansi dan kesederhanaan melekat dalam pribadi para aktivis NU saat itu, menjadikan NU sangat maju. NU menjadi rujukan dan panutan bagi umat Islam. []

 

(Abdul Mun’im DZ)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar