Rabu, 09 Oktober 2013

(Ngaji of the Day) Urgensitas Tolong Menolong


Urgensitas Tolong Menolong

Oleh: Afifuddin

 

Menurut kodratnya manusia adalah makhluk sosial atau zoon politicon dalam istilah Aristoteles. Karenanya, manusia selalu hidup hidup berdampingan dan bermasyarakat dan saling tolong-menolong antara satu dengan yang lain.

 

Dorongan masyarakat yang dibina sejak lahir akan senantiasa menampakkan dirinya dalam berbagai bentuk. Sebab itu, dengan sendirinya manusia akan selalu bersosial dalam kehidupannya. Dengan arti lain, sikap ingin menolong dan ditolong serta berinteraksi adalah fitrah manusia. Demikian ini, karena desain manusia sebagai makhluk sosial bukanlah muncul dari hasil nalar dari manusia itu sendiri, melainkan bersumber dari Sang Pencipta. Allah SWT sudah menjelakan hal ini dalam al-Qur’an, “Hai manusia, sesungguhnya Aku menciptalkan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-berbangsa dan bersuku-suku spaya kamu saling mengenal.

 

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengatahui lagi Maha mendengar.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13).


Di samping merupakan sebuah kelaziman, saling bantu-membantu juga bisa menjadikan diri seseorang menjadi manusia yang berkembang. Mafhumnya, seseorang yang tidak bergaul dengan orang lain, maka kemungkinannyaorang tersebut sulit—bahkan bias dikatakan—tidak akan berkembang. Lebih-lebih dari segi kepribadian dan mentalnya.

 

Demikian ini menurut DR. WA Gerungan dalam bukanya Psikologi Sosial dikarenakan super-ego atau looking glass self menurut isltilahnya Cooley ini berlangsung selama ia hidup. Super-ego yang terdiri dari atas hati nurani, norma-norma dan cita-cita pribadi iu tidak meungkin terbentuk dan berkembang dengan sendirinya tanpa ada stimulus dari manusia yang lain, baik itu dengan cara bergaul dan mentradisikan saling menolong antara sesama. Tanpa hidup bermasyarakat mustahil manusia menjadi manusia yang sejati.


Namun demikian, tolong-menolong yang merupakan satu keniscayaan hidup manusia, tidak lepas begitu saja dari sebuah norma, terlebih lagi norma agama. Ada kode etik tersendiri di dalamnya. Dalam hal ini Islam memberikan rambu-rambu yang harus ditaati oleh setiap pemeluknya, yakni tolong-menolong versi Islam harus dalam persoalan yang mengandung kebaikan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Mafhumnya, tolong-menolong dalam hal yang melanggar norma-norma agama tidak diperkenankan.


Sehubungan dengan ini, Allah SWT berfirman, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksanya.” (QS. Al-Maidah [05]: 02).


Maksud dari kebajikan (al-birri) dalam surat al-Maidah di atas menurut Ibnu Jazzi dalam salah satu karyanya adalah melaksanakan kewajiban agama dan menjahui segala larangan serta malakukan hal-hal yang sunah. Dan maksud dari takwa (at-taqwa) adalah melakukan perintah agama sekaligus menjahi larangannya. Jadi, menurut pendapat ini, al-birri lebih lebih general daripada at-taqwa.


Sedangkan yang dimaksud dari perbuatan maksiat (al-itsmi) adalah segala bentuk perbuatan dosa yang berkaitan dengan haqqul-adami dan haqullah. Dan maksud dari melampaui batas (al-udwan) adalah dosa yang hanya terkait dengan manusia.


Berbeda dengan Ibnul-Jazzi, Ibnu Jarir at-Thabari menjelaskan bahwa pengertian dosa ialah tidak menunaikan perkara yang diperintahkan Allah SWT, dan maksud al-udwan dalam ayat di atas ialah melampaui had-had (garis-garis) yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam urusan agama.


Sebagaimana yang telah dimaklumi, tolong-menolong dalam hal kebajikan dan ketakwaan merupakan kalimat yang mencakup seluruh kebajikan. Dengan tolong-menolong, setiap individu akan sadar tentang peran dan tanggung jawab masing-masing, karena tolong-menolong di dalam kehidupan umat manusia—terlebih lagi umat Islam—merupakan manifestasi dari kepribadiannya dan merupakan pondasi dalam membina peradaban yang mapan.


Di samping itu, tolong-menolong merupakan konsekuensi dari loyalitas bagi umat muslim tanpa terkecuali. Artinya, ada semacam simbiosis-mutulaisme antara umat muslim dan praktik tolong-menolong. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Bisa dikatakan, orang muslim yang enggan menolong teman seagamanya, patut disangasikan kemuslimannya. Allah SWT berfirman, “Dan, orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari perbuatan yang mungkar.” (QS. At-Taubah [10]: 71).


Juga dengan tolong-menolong akan tercipta sebuah persatuan yang kokoh sehingga musuh-musuh kita tidak mungkin bisa memporak-porandakan Islam dengan cara apapun. Sebaliknya, ketika umat muslim sudah tidak lagi mempedulikan saudaranya, bahkan bercarai-berai, tidak mau bahu-membahu antar sesama, maka segala kemungkinan negatif tinggal menunggu waktu. Bahkan, bisa jadi umat Islam dijadikan kucing-kucingan oleh musuhnya. Rasulullah SAW bersabda, “Kalian nyaris diperebutkan oleh umat-umat selain kalian sebagaimana makanan di sebuah tempayan yang diperebutkan manusia.” Para sahabat bertanya, “Apa jumlah kita saat itu sedikit wahai Rasulullah?” Rasulullah manjawab, “Bahkan jumlah kalian pada saat itu banyak, akan tetapi kalian bagaikan buih, dan Allah akan mengangkat rasa takut kepada kalian dari dada musuh-musuh kalian, dan Allah akan menancapkan al-wahn ke dalam hati-hati kalian.” Para sahabat bertanya, “Apakah al-wahn itu wahai Rasulullah?” Rasulullah SAW menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).


Hadis di atas mengisyaratkan tentang keadaan umat muslim yang berada di ujung tanduk (kehancuran) kendati jumlah mereka banyak dan bertebaran di seluruh dunia. Di hati mereka tidak ada rasa ingin membantu antara satu dengan lainnya.


Oleh sebab itu, seharusnya dalam diri setiap individu muslim memiliki rasa solidaritas dan kasih sayang antar sesama. Hal itu bisa dibuktikan dengan membuktikan dengan mebudayakan tolong-menolong dalam kebajikan; yang muda menolong yang tua, yang konglmerat menolong yang melarat, yang pandai menolong yang bodoh dan yang kuat menolong yang tertindas. Dengan membudayakan tolong-menolong, maka akan tercipta tatanan kehdupan yang rukun, tentram, harmonis, dan jauh dari pergolakan. []

 

Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan – Jawa Timur, Edisi 42, Halaman 3 – 5.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar