Rabu, 16 Oktober 2013

Ketika Rasialisme Menimpa Ulama


Ketika Rasialisme Menimpa Ulama

 

Syeikh Yasin Padang adalah salah seorang ulama besar Indonesia yang bermukim dan menghabiskan usianya di tanah Hejaz, Saudi Arabia sekarang. Seperti para ulama besar Indonesia sebelumnya, dia pun sangat disegani oleh para ulama yang mengajar di Masjidil Haram dan dicintai banyak kalangan. Belum lagi ditambah sikap Syeikh Yasin yang terhitung luwes dan terbuka membuatnya sangat dekat dengan setiap orang yang mengenalnya.

 

Sedangkan bagi para pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di kota Mekkah, Syeikh Yasin bisa dipandang sebagai guru, sahabat sekaligus tempat mengadu. Banyak pelajar yang berkunjung ke kediaman beliau dengan berbagai tujuan. Ada yang ingin menimba ilmu, meminta fatwa, nasehat, bahkan ada juga yang ingin berkonsultasi masalah perjodohan.

 

Seorang ulama Bali yang pernah belajar dan bertemu dengan Syeikh Yasin di Mekah merasa gundah. Pasalnya, putri dari salah satu gurunya yang bernama Zakiya kerapkali mengantarkan minuman atau makanan kepadanya tanpa sebab. Setelah usut kena usut ternyata minuman dan makanan tersebut adalah pesan rasa ketertarikan Zakiya kepada sang Ulama.

 

Menyadari hal tersebut, ia pun dilanda kebimbangan. Jika ia menikahi Zakiya berarti ia akan menjadi penduduk kota Mekkah, namun jika ia pulang ke Indonesia sama artinya ia akan kehilangan Zakiya yang dipandangnya sebagai wanita baik-baik plus putri dari gurunya yang alim pula.

 

Setelah berpikir beberapa hari tanpa keputusan, ia pun akhirnya berniat untuk meminta nasihat kepada Syeikh Yasin al-Padangi. Ia memilih ulama yang satu ini karena ia selalu mau mendengarkan dan memberikan pandangan dan saran yang bijak. Dan yang lebih penting lagi, Syeikh Yasin adalah ulama Indonesia yang beristrikan wanita Arab. Pastilah ia orang yang paling cocok untuk dimintai keterangan mengenai adat istiadat bangsa Arab.

 

Sesampai di rumah Syeikh Yasin, Ia pun menyampaikan masalah yang sedang dihadapi. Setelah selesai mendengarkan dengan seksama, Syeikh Yasin pun kemudian meminta dirinya untuk mengurungkan niatnya. Syeikh Yasin memberikan penjelasan bahwa bagaimanapun juga bangsa Arab tidak mudah melepaskan fanatisme kelompok (ta`ashshubiyah qaumiyah) mereka. Mereka tetap memandang diri mereka lebih mulai daripada orang-orang non Arab. Syeikh Yasin sendiri mengaku bahwa walupun sebagai ulama yang dihormati tetapi diskriminasi tetap menimpa dirinya sendiri.

 

Setelah mendengar nasehat dari Syeikh Yasin, dengan berat hati ia pun membatalkan niatnya untuk mengawini putri salah seorang gurunya itu, semata untuk menjaga martabat sebagai bangsa Indonesia. Beberapa bulan kemudian, ia kemudian pulang ke tanah air Indonesia karena merasa tidak enak kepada guru dan putrinya yang terlanjur mencintai dan dicintainya. Rupanya fanitisme dan ashobiyah (rasialisme) memang ada, dan mungkin harus ada. []

 

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar