Jumat, 23 Oktober 2020

Nasaruddin Umar: Al-Ta'lim al-Muta'allim (28) Antara Denotatif dan Konotatif

Al-Ta'lim al-Muta'allim (28)

Antara Denotatif dan Konotatif

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Salah satu kesulitan memahami bahasa agama, terutama bahasa kitab suci ialah membedakan kapan sebuah kata dimaknai secara denotatif dan kapan dimaknai konotatif. Pemaknaan secara denotatif ialah pengertian yang diperoleh dari apa adanya sebuah teks, tanpa berusaha mengalihkannya ke makna-makna lain. Sedangkan makna konotatif tidak memaknai secara leksikal tetapi memalingkan maknanya kepada makna lain yang bersifat asosiatif dari sebuah kata.

 

Sebagai contoh kata tangan (al-yad), mata (al-'ain), makanan (al-tha'am), timur dan barat (al-masyriq wa al-magrib), pertemuan dua laut (majma' albahrain), dan lain-lain. Secara denotatif tangan berarti lengan yang mencakup bahu ke bawah, tetapi secara konotatif bisa berarti kekuatan/kekuasaan, seperti kata Tuhan: Yadullah fauqa aidihim (Tangan Tuhan di atas tangan mereka). Sebagian ulama mengartikan 'Tangan Tuhan' sesuai dengan kapasitas-Nya yang tidak ada satu pun makhluk menyerupai-Nya. Sebagian lain memaknai secara konotatif, 'Tangan Tuhan' berarti kekuatan/kekuasaan Tuhan.

 

Kata mata ('ain) secara denotatif berarti 'mata kepala' tetapi secara konotatif bisa berarti pengawasan, seperti kata: sesungguhnya kalian di dalam pengawasan Kami (bia'yunina). Secara denotatif berarti sesungguhnya kalian di dalam penglihatan Kami, tetapi secara konotatif berarti 'Sesungguhnya kalian di dalam pengawasan kami. Kata si A dalam penglihatan saya bisa berarti si A dalam pengawasannya.

 

Kata makanan (ath'am) secara denotatif berarti makanan yang diproses untuk memberikan kekenyangan pada perut. Akan tetapi bisa berarti wirid yang memberikan kekenyangan secara spiritual. Makanan yang selalu tersedia di mihrab Maryam yang mengherankan Nabi Zakaria dan menanyakan ini dari mana? Dijawab dari Tuhan. Ada yang mengartikan secara denotatif berupa makanan seperti buah-buahan dan ada yang mengartikan makanan spiritual berupa wirid dan dzikir. Pengertian terakhir ini dimungkinkan karena Maryam dan Nabi Zakariya sama-sama ahli dan praktisi spiritual, bukan jago makan.

 

Kata timur dan barat secara denotatif berarti mata angin arah timur dan barat yang lebih mengacu kepada tempat. Sedangkan secara konotatif bisa berarti aliran barat yang dicirikan dengan sifat rasional-kritis dan aliran timur yang dicirikan dengan sifat emosional-spiritual. Kata timur sering melambangkan idealisme demokratis dan timur dilambangkan sebagai kekuatan idealisme totaliter, dan lain sebagainya. Sampai sekarang kata timur dan barat sering digunakan secara denotatif dan konotatif.

 

Kata perjumpaan dua laut (majma' al-bahrain) secara denotatif berati pertemuan dua laut, yaitu lautan Romawi dan lautan Persia, tetapi secara konotatif bisa diartikan pertemuan dua epistimologi keilmuan, yaitu aliran rasional yang mengandalkan kecerdasan logika dan aliran spiritual yang mengandalkan kecerdasan spiritual, sebagaimana dijelaskan dalam artikel terdahulu.

 

Dengan penjelasan di atas diharapkan kita tidak memutlakkan pendapat kita sebagai satu-satunya kebenaran, karena boleh jadi kita berpihak pada pengertian denotatif, sementara mereka yang berdasar pada pengertian konotatif belum tentu salah. Allahu a'lam. []

 

DETIK, 17 Juli 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar