Kamis, 22 Oktober 2020

Zuhairi: Pilpres AS dan Masa Depan Israel-Palestina

Pilpres AS dan Masa Depan Israel-Palestina

Oleh: Zuhairi Misrawi

 

Sebulan lagi, Amerika Serikat akan (AS) menggelar perhelatan demokrasi yang tidak hanya menentukan masa depan dalam negeri AS, melainkan masa depan Timur-Tengah. AS selalu menjadi penentu lonjong dan bulatnya Timur-Tengah. Lokus kebijakan luar negeri AS di Timur-Tengah terletak pada bagaimana AS menyikapi konflik Israel-Palestina.

 

Dalam empat tahun terakhir, Presiden Donald Trump telah mengambil sikap unilateral dan ekstrem untuk kepentingan Israel. Apapun yang diinginkan oleh sayap kanan fundamentalis Yahudi dipenuhi oleh Trump tanpa tanda-tanya lagi. Jared Kushner sebagai menantu Trump dan utusan khusus untuk Timur-Tengah memainkan peranan penting dalam peta Timur-Tengah.

 

Sebagai warga Yahudi AS, Kushner semakin mengukuhkan keberpihakan kepada sayap kanan fundamentalis Yahudi. Posisi Netanyahu, Perdana Menteri Israel yang dalam setahun terakhir selalu berada di ujung tanduk mampu dipertahankan dari goyangan kubu oposisi. Jasa Trump melalui Kushner tidak bisa diabaikan begitu saja. Netanyahu sangat diuntungkan dengan dukungan penuh dari Trump, sehingga ia masih kokoh sebagai Perdana Menteri Israel, meski digoyang dengan isu korupsi.

 

Maka dari itu, dalam empat tahun terakhir, kita melihat manuver politik luar negeri AS yang irasional dan ugal-ugalan. Kebijakan yang diambil Trump tidak pernah dan tidak akan pernah dilakukan oleh para pemimpin AS pada masa lalu dan masa yang akan datang. Sebab, siapapun mengerti dampak yang terjadi jika kebijakan AS terhadap Israel dan Palestina jauh dari citarasa keadilan dan kesetaraan. Timur-Tengah akan limbung, bahkan dunia Islam.

 

Namun, Trump sepertinya tidak mau berpikir panjang untuk mempertimbangkan dampak-dampak buruk yang kemungkinan terjadi di balik kebijakan luar negeri AS yang tidak berkeadilan untuk Timur-Tengah. Sebab itu, Trump sejak awal menegaskan keberpihakannya terhadap Israel. Ia buktikan dengan memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem. Trump langsung menohok jantung persoalan yang selama ini menjadi titik-krusial dalam konflik Israel-Palestina.

 

Trump hendak menegaskan, bahwa Jerusalem hanya menjadi milik Israel. Palestina tidak mempunyai hak apapun, termasuk dalam kacamata Trump, Masjid al-Aqsha yang merupakan kiblat umat Islam di masa lampau dan terminal Nabi Muhammad dalam melakukan Isra' dan Mikraj harus berada di bawah pangkuan Israel. Dalam mewujudkan misi gilanya itu, Trump menawarkan ibu kota bagi Palestina di luar kawasan Jerusalem Timur. Sebagai kompensasi, ia menawarkan bantuan sebesar 50 miliar dolar AS untuk Palestina dalam rangka menyiapkan pemerintahan dan pembangunan infrastruktur yang nanti menyambungkan jalan dari Tepi Barat menuju Jalur Gaza.

 

Tidak hanya itu saja, dalam rangka meneguhkan keberpihakan terhadap Israel, Trump memaksa mitra strategisnya di Teluk untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Trump berhasil merayu Uni Emerat Arab (UEA) dan Bahrain untuk menandatangani kerjasama politik dan ekonomi, yang digadang-gadang sebagai peristiwa bersejarah. Konon, Sudan, Oman, dan Arab Saudi akan menyusul langkah yang diambil oleh UAE dan Bahrain.

 

Untuk kepentingan Israel, Trump berhasil mengambil kebijakan unilateral dan melakukan langkah-langkah politik yang tidak biasa. Trump terlihat tanpa pertimbangan yang matang. Ia hanya memandang dan menganggap dukungan lobi-lobi Yahudi sebagai hal yang harus diraih terlepas dari dampak-dampak serius yang terjadi di seantero Timur-Tengah dan dunia Islam. Di samping itu, Trump hanya ingin memuaskan para pendukungnya dari kalangan konservatif.

 

Namun dalam konteks yang lebih luas, sebenarnya Trump tidak mempunyai kalkulasi yang tepat. Secara politik, kebijakannya akan mendapatkan resistensi dari warga Muslim dan warga Arab di AS. Padahal Trump sangat membutuhkan dukungan mereka. Di kawasan Timur-Tengah, Trump mungkin menjadi Presiden AS yang sangat tidak populer karena kebijakan-kebijakannya terhadap Palestina sangat melukai warga di seantero kawasan.

 

Dalam konteks tersebut, Joe Biden sebagai oponen Trump mendapatkan bola muntah yang sangat enak ditendang ke dalam gawang, sehingga dapat menciptakan gol indah. Joe Biden dapat menjadi anti-tesa dari kebijakan Trump. Sebagai Wakil Presiden Obama selama 8 tahun, Biden sudah menguasai persoalan Timur-Tengah dengan baik, khususnya konflik Israel-Palestina.

 

Biden, seperti Presiden Obama, akan berpijak pada solusi dua negara hidup berdampingan secara damai (two states solution). AS di masa Biden nanti akan selalu berada di tengah dengan menjadikan AS sebagai mediator perdamaian. Biden akan memaksa Israel untuk menghentikan pembangunan pemukiman ilegal di Tepi Barat, sebab langkah aneksasi tersebut bertentangan dengan sejumlah resolusi dan kesepakatan damai yang telah dicapai antara Israel dan Palestina.

 

Dalam hal hubungan politik antara UAE-Bahrain dengan Israel, Biden menyambut baik langkah yang diambil negara-negara Teluk. Tetapi Biden juga menggarisbawahi agar semua berpijak ada solusi dua negara yang hidup berdampingan dengan baik. Tidak boleh ada sikap unilateral yang dilakukan oleh Israel, apalagi melanggar sejumlah resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa.

 

Itulah dua gambaran yang di permukaan terlihat kontras antara Trump dan Biden. Jika Trump terpilih menjadi Presiden untuk periode kedua, maka kebijakan AS di Timur-Tengah tidak akan mengalami perubahan yang signifikan. Bahkan, mimpi-mimpi Trump di atas akan terus dilaksanakan, meski bakal terjadi penentangan yang serius dari warga Arab.

 

Namun, jika Biden yang terpilih sebagai Presiden AS, maka kebijakan luar negeri AS akan mengalami perubahan yang bersifat signifikan. Timur-Tengah sedikit bernapas lega, karena Biden akan kembali kepada solusi dua negara. Biden akan memaksa Israel dan Palestina untuk kembali duduk di meja perundingan.

 

Meskipun demikian, sikap Biden tersebut tidak akan berarti apa-apa tanpa keberanian untuk memaksa Israel agar patuh pada hukum internasional. Selanjutkan, AS harus memaksa Israel agar menerima kemerdekaan Palestina dengan sejumlah kesepakatan yang dapat membangun sikap saling menghormati di antara kedua negara. Apakah pemandangan tersebut akan terjadi di masa mendatang? Saya sendiri pesimis mengingat kuatnya lobi-lobi Yahudi di AS. []

 

DETIK, 09 Oktober 2020

Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar