Jumat, 23 Oktober 2020

(Ngaji of the Day) Kedudukan Jenazah Pasien Covid-19 dalam Fiqih

Reaksi masyarakat berupa penolakan terhadap korban Covid-19 agar tidak dimakamkan di perkampungan masih sering meramaikan pemberitaan media. Mereka menuntut agar area pemakamannya berada jauh dari perkampungan/makam khusus.


Penolakan ini didorong perasaan takut akan tertular Covid-19 yang bisa saja tersebar dari makam korban. Tidak hanya penolakan jenazahnya, mereka juga menolak kewajiban penshalatan shalat jenazah. 


Mereka bahkan menstigma korban dan keluarganya serta menuntut keluarga korban untuk meninggalkan kampungnya. Apakah langkah preventif harus seperti ini? Bagaimana seharusya orang mukmin (yang beriman) menyikapi fenomena wabah Covid-9 yang sesuai dengan ajaran Islam?


Seorang mukmin dalam menghadapi musibah atau cobaan (bala’) tentu tidak dengan nalar akalnya saja, melainkan dengan nalar akal yang dibangun di atas fondasi akidah/keyakinan yang benar. Sebab bagi orang mukmin, apapun yang dialami di dunia ini adalah ujian dari Allah. 


Bagi seorang mukmin dalam menyikapai wabah Covid-19 mesti memadukan dua apek :

1. Aspek Aqidah.

Setiap orang atau kaum akan menghadapi ujiannya sendiri-sendiri. Terhadap wabah Covid-19 jika kita takut itu hal wajar namun jangan berlebihan sampai menghilangkan/merusak akidah. Seorang mukmin harus meyakini bahwa wabah ini ujian dan harus berupaya meraih kelulusan terbaik sehingga kita mesti berdoa kepada Zat yang mencipta wabah ini karena hakikatnya hanya Dia yang kuasa menghilangkanya.


Di samping itu kita tidak boleh berburuk sangka kepada pihak lain sebagai penyebab datangnya wabah, justru semestinya kita mengaku bersalah dan berdosa serta segera bertobat.


عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهُ قَالَ: «عِظَمُ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ، وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ» 


Artinya, “Dari Anas bin Malik, dari Rasulullah SAW, sungguh ia bersabda,”Kebesaran balasan dibayar sesuai dengan besarnya ujian. Sungguh ketika Allah mencintai suatu kaum, Allah akan mengujinya. Lalu barang siapa yang menerimanya dengan kerelaan maka ia akan mendapatkan ridha Allah, dan barang siapa yang membencinya maka ia akan mendapatkan murka Allah” (HR. Ibnu Majah)


وَاعْلَمُوْا أَنَّ الْبَلِيَّةَ لَمْ تَأْتِ الْمُؤْمِنَ لِتُهْلِكَهُ وَإِنَّمَا أَتَتْهُ لِتَخْتَبِرَهُ


Artinya, "Ketahuilah bahwa cobaan tidak datang kepada seorang mukmin untuk membinasakan, namun datang untuk menguji keimananya,” (Sayyid Ja’far Al-Barzanji, Al-Lujainid Dani fi Manaqibis Syekh Abdil Qadir Al-Jilani, [Kediri Maktabah Pondok Pesantren Tahfidh wal Qiraat Lirboyo, tth], 136.


وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى ذُنُوبِ النَّاسِ كَأَنَّكُمْ أَرْبَابٌ وَلَكِنَّكُمُ انْظُرُوا فِي ذُنُوبِكُمْ كَأَنَّكُمْ عَبِيدٌ، وَالنَّاسُ رَجُلَانِ: مُعَافًى وَمُبْتَلًى، فَارْحَمُوا أَهْلَ الْبَلَاءِ فِي بَلِيَّتِهِمْ، وَاحْمَدُوا اللَّهَ عَلَى الْعَافِيَةِ "


Artinya, “Jangan memandang dosa-dosa orang lain seakan kalian adalah tuan-tuan, tetapi lihatlah dosa-dosamu sendiri seakan kalian adalah para hamba. Manusia ada dua macam, yang diberi kesehatan dan yang diberi cobaan. Jadi bersikaplalah kasih sayang kepada mereka yang sedang tertimpa cobaan dan bersyukurlah kepada Allah atas kondisi sehat,” (HR Ahmad).


2. Aspek Ikhtiar Lahir.

Aspek ini sudah lumrah kita lakukan, yaitu berobat jika sedang sakit dan menjaga diri agar tetap sehat ketika dalam kondisi sehat. Menjaga diri agar tetap sehat tentu dapat ditempuh dengan banyak cara. Namun di saat pandemic Covid-19, cara agar tetap sehat perlu ditingkatkan mulai dari kewaspadaan, olahraga, peningkatan imunitas tubuh, dan ketaatan pada protokol pencegahan yang dianjurkan oleh kesehatan.


Upaya-upaya ini tidak berarti menentang takdir, melainkan bagian ikhtiar yang disyariatkan. Wudhu, mandi, istinja’, dan menghilangkan najis, serta semua yang diperintahkan oleh agama tentang kebersihan adalah ibadah dan mengandung hikmah agar tetap bersih dan sehat.


Rasulullah SAW terkait penyakit menular pernah menolak bersalaman dan memerintahkan agar tidak mendekati penderitanya:


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " فِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ فِرَارَكَ مِنَ الْأَسَدِ 


Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA,  ia berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Larilah kamu dari penderita penyakit lepra sebagaimana kamu lari dari kejaran singa,’” (HR Bukhari dan Ahmad).


Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan, perintah Nabi SAW agar menjauhi orang yang sakit lepra bukanlah pembenaran bahwa penularan penyakit itu suatu hal yang pasti, melainkan sebatas kebiasaan belaka apabila terjadi kontak langsung atau lewat udara. (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, juz X, halaman 160).


Kesimbangan sikap lahiriah dan bathiah sangat diperlukan agar dalam menghadapi Covid-19 ini seseorang tidak berperilaku berlebihan dan harapan liar tanpa kontrol. Jika keseimbangan ini terjaga dengan baik, tentu tidak terjadi pembiaran terhadap jenazah korban Covid-19 tanpa dimandikan, dikafani dan dishalatkan bahkan ditolak penguburannya di perkampungan.


Semestinya ketika jenazah telah diurus sesuai standar protokol pencegahan oleh ahlinya berarti kewajiban-kewajiban terhadap jenazah harus dijalankan sesuai tuntunan syariat jika memungkinkan. Selanjutnya kita memasrahkannya (tawakal) kepada Allah SWT dengan berharap semoga korban Covid-19 termasuk golongan syahid akhirat, keluarganya diberikan ketabahan, tenaga medis diberi kekuatan lahir bathin, dan Covid-19 tidak menyebar dan segera sirna.


Jangan sampai terjadi keluarga korban Covid-19 semakin bertambah berat beban kesusahannya akibat pengurusan jenazah keluarganya kurang secara sempurna, apalagi tidak dishalati dan langsung dikubur.


Andaikan terjadi betul ada jenazah muslim korban Covid-19 tidak dimandikan atau tidak ditayammumi, ternyata masih ada pendapat fiqih bahwa ia masih boleh dishalati.


وجزم الدارمي وغيره أن من تعذر غسله صلي عليه 


Artinya, “Ad-Darimi dan yang lain menegaskan bahwa mayit yang tidak mungkin dimandikan agar tetap dishalati,” (Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: 1418 H/1997 M], juz II, halaman 149). []


KH Ahmad Asyhar Shafwan, Ketua LBM PWNU Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar