Misteri Harta Karun Soekarno
Oleh: Guntur Soekarno Putra
DARI penelitian yang dilakukan sebuah badan penelitian internasional dari seluruh presiden Indonesia, yang paling terkaya, di urutan pertama, ialah Bung Karno dengan total kekayaan ditaksir + Rp55 triliun.
Terdiri dari benda-benda tak bergerak seperti tanah, rumah, dan logam mulia berupa batangan emas yang berton-ton beratnya disimpan di bank-bank Swiss.
Di era Orde Baru, Soeharto pernah membentuk sebuah, katakanlah, tim untuk memburu harta karun Bung Karno tadi. Namun, hasilnya nihil karena semua itu tidak ditemukan.
Setelah Bung Karno wafat pada 21 Juni 1970 banyak sekali oknum yang mengaku-ngaku dapat memberikan petunjuk bahkan dengan data dan fakta-fakta autentik untuk memperoleh harta karun Bung Karno tersebut.
Banyak kalangan, bahkan pejabatpejabat tinggi Indonesia saat itu, yang tertipu jutaan rupiah karena percaya pada ocehan oknum-oknum tersebut. Mereka datang, terutama kepada keluarga almarhum Bung Karno, khususnya saya.
Bila dihitung, barang kali ada puluhan oknum tadi yang menghubungi. Karena saya tahu fakta yang sebenarnya, saya tidak pernah percaya kepada bujukan mereka.
Bukan karena saya ingin membela ayah saya. Namun, saya tahu pasti bahwa Bung Karno sejak sebelum menjadi presiden sampai menjadi presiden sebenarnya ialah seorang yang kantongnya selalu tipis.
Sebagai presiden, Bung Karno ialah presiden yang paling miskin di dunia ini. Ia tidak punya tanah, tidak punya rumah, apalagi logamlogam mulia seperti yang digembargemborkan orang selama ini.
Dari gaji resmi presiden yang diterima dari negara sampai dengan diturunkan pada 1967, gajinya tidak pernah mencukupi kebutuhan keluarga sehari-harinya.
Oleh karena itu, Bung Karno kerap kali meminjam uang atau minta bantuan keuangan dari sahabatsahabatnya sejak zaman pergerakan tempo dulu, yakni Dasaad Muhsin.
Dasaad memang seorang pribumi yang sukses dalam dunia usaha. Selain Dasaad, kadang-kadang minta bantuan ke Teuku Markam. Walaupun begitu, di 1966, 1967, dan seterusnya tetap saja Bung Karno diberi gelar ‘koruptor agung’!
Saking kesalnya kepada oknum-oknum yang selalu menghubungi saya untuk minta bertemu, suatu saat saya menyatakan bersedia bertemu.
Oknum-oknum tadi berasal dari Malaysia. Saat ini, saya sudah lupa siapa namanya.
Pada hari yang sudah disepakati, oknum tadi bersama dengan beberapa kawannya datang menemui saya di kantor Jalan Dempo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Setelah berbicara ngalor-ngidul, akhirnya dia menyerahkan setumpuk dokumen yang katanya autentik mengenai keberadaan emas-emas batangan di Swiss yang jumlahnya berton-ton itu. Dalam hati saya berpikir, mana ada bank di Swiss yang punya ruang deposit sebesar Fort Knox di USA?!
Hal yang membuat saya kaget dan geleng kepala, oknum itu menyodorkan contoh emas batangan kepada saya untuk diperiksa.
Ketika itu, saya benar-benar mulai kesal dan dongkol melihat ulah si oknum tadi. Segera saya panggil office boy dan minta sebuah gergaji besi.
Setelah melihat saya minta gergaji besi, si oknum tampak gelisah dan berkeringat dingin, serta bertanya untuk apa gergaji besi tadi. Saya hanya menjawab, “Lihat saja nanti.”
Setelah gergaji besi saya peroleh, langsung emas batangan tadi saya potong menjadi dua bagian dan ternyata emasnya hanya ada di lapisan luar saja, sedangkan di dalamnya terdiri dari besi kancur murahan!
Dua potongan tadi langsung saya lempar ke oknum tersebut, sambil saya bentak: ”You are crazy Malaysian, go to hell with your gold!”
Sambil ketakukan oknum tadi minta maaf dan mohon ampun agar jangan dilaporkan ke pihak yang berwajib.
Setelah emosi mereda, saya katakan kepada mereka, saya tidak akan ungkit-ungkit lagi masalah ini dan silakan mereka pulang secara baik-baik ke Malaysia. Sebelum mereka mohon diri, saya menyuruh mereka minum kopi pahit dulu. Dengan kejadian di atas, saya menjadi lebih yakin lagi akan kebohongan berita-berita mengenai harta karun Bung Karno.
Pada 1965 sekelompok pendulang intan di bawah pimpinan H Madsalam menemukan intan sebesar telur burung merpati di Sungai Tiung, Kecamatan Cempaka, Banjar Baru, Kalimantan Selatan.
Intan itu mereka persembahkan kepada Bung Karno sebagai Presiden RI. Oleh Bung Karno, intan tersebut diberi nama Intan Trisakti dan setelah digosok, beratnya menjadi + 166,75 karat dengan harga saat itu sekitar Rp10 triliun. Jadi, kalau dijumlahkan dengan harta kekayaan Bung Karno yang katanya Rp55 triliun, total kekayaan pribadi Bung Karno menjadi Rp65 triliun! Hebat!
Intan Trisakti raib?
Secara tegas, Bung Karno memutuskan Intan Trisakti bukan milik pribadi Bung Karno, melainkan milik Negara RI dan diinstruksikan agar intan tersebut disimpan di ruang khusus Bank Indonesia tempat penyimpanan Piala Thomas dan All England yang diperoleh Indonesia.
Kepada kelompok pendulang H Madsalam, pemerintah memberikan katakanlah ganti rugi setelah terkena sanering (pemotongan uang) sebesar Rp3,5 juta untuk biaya naik haji kelompok tersebut beserta keluarga mereka yang berjumlah sekitar 80 orang. Untuk diketahui, lokasi pendulang di Kalimantan kebanyakan berlokasi di Sungai Tiung di titik-titik Pumpung dan Ujung Murung.
Intan-intan lain yang ditemukan di lokasi Cempaka antara lain Intan Putri Malu, Intan Galuh Cempaka 5, dan Intan Galuh Plumpung. Ada kepercayaan di kalangan para pendulang di Kalimantan, kata-kata intan atau berlian tabu untuk dipergunakan dan bila menyebut intan, harus diganti dengan kata galuh. Baik di era Orba maupun Orde Reformasi keberadaan Intan Trisakti tidak diketahui.
Secara sepintas, saya pernah menanyakan hal tersebut kepada salah satu Gubernur Bank Indonesia. Ternyata, yang bersangkutan tidak tahu-menahu adanya Intan Trisakti, apalagi disimpan di Bank Indonesia.
Padahal, penemuan Intan Trisakti sempat menggemparkan kalangan dunia batu mulia. Intan tersebut hanya kalah besar dari intan terbesar di dunia yang menempel pada mahkota Ratu Elizabeth II dari Inggris dan bernama Intan Koh-I-Noor.
Ternyata Intan Trisakti sampai saat ini tidak diketahui di mana keberadaanya, hilang dan raib dari persada Nusantara! []
MEDIA INDONESIA, 26 September 2020
Guntur Soekarno Putra | Pengamat Sosial
Tidak ada komentar:
Posting Komentar