Selasa, 27 Oktober 2020

Azyumardi: Tirani Mayoritas Politik dan RUU Cipta Kerja

Tirani Mayoritas Politik dan RUU Cipta Kerja

Oleh: Azyumardi Azra

 

Persetujuan untuk pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU oleh DPR, Senin (5/10/2020), merupakan langkah mundur dalam demokrasi Indonesia. Langkah ini kian mengukuhkan demokrasi Indonesia sebagai flawed democracy.

 

Beberapa tahun terakhir, demokrasi Indonesia terus merosot dari full blown democracy menjadi illiberal democracy dengan kian banyak cacat (flaws). Meminjam kerangka mahaguru demokrasi, Alexis de Tocqueville, dalam Democracy in America (1835-1840), di tengah kemerosotan demokrasi berkembang ”tirani mayoritas politik” (tyranny of the political majority).

 

Plato (428-347 SM) dalam karyanya, The Republic (380 SM), mengingatkan tentang demokrasi yang dapat menjadi tirani mayoritas politik. Golongan mayoritas politik bergeming—mengabaikan aspirasi publik. Bagi Plato, kekuasaan tirani dapat terwujud dalam demokrasi lewat kekuasaan individu dan juga kekuasaan kolektif.

 

Plato dan Aristoteles (384-322 SM) berpandangan, kekuasaan politik dan hukum absolut dapat dipegang kekuatan mayoritas politik yang menetapkan hukum sesuai kemauan sendiri atas nama demokrasi. Mereka melakukan segala sesuatu bukan untuk public good, melainkan untuk keuntungan diri sendiri dan kelompok.

 

Persetujuan pengesahan RUU Cipta Kerja memperlihatkan kemunduran praksis demokrasi dalam lembaga publik yang diharapkan berperan dalam konsolidasi demokrasi. Pengesahan itu sekaligus menjadi salah satu penanda utama meningkatnya tirani mayoritas politik.

 

Koalisi politik pemerintah berkekuatan tujuh fraksi di DPR berhadapan dengan hanya dua fraksi yang menolak RUU Cipta Kerja. Kekuatan mayoritas politik berhasil ”memaksakan” persetujuannya.

 

Persetujuan pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi aktualisasi persekutuan politik ketimbang proses legislasi yang sesuai prinsip dan prosedur demokrasi. Pembahasan di Badan Legislasi DPR berlangsung relatif tidak transparan dalam substansi, tempat, dan waktu pembahasan.

 

Puncak penyimpangan prosedur legislasi terjadi di sidang paripurna DPR untuk persetujuan pengesahan RUU Cipta Kerja. Tak ada draf final RUU yang akan disetujui. Draf final yang akan diserahkan kepada Presiden dikeluarkan Sekretariat DPR sepekan setelah paripurna.

 

Pengesahan RUU tanpa draf final tidak masuk akal dan scandalous—bertentangan dengan prosedur legislasi dan prinsip demokrasi. Tak masuk akal pula RUU Cipta Kerja pasca-pengesahan diduga ditambah pasal tertentu yang bukan tak mungkin susupan; atau dikurangi hingga UU itu berpotensi cacat formil (Kompas, 13-14/10/2020).

 

Seluruh proses penyiapan, pembahasan, dan persetujuan pengesahan RUU Cipta Kerja tidak sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Prosedur Pembentukan Perundang-undangan dan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan UU Nomor 12 Tahun 2011. Aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis legislasi tidak terpenuhi.

 

Tirani mayoritas politik juga tak memberikan ruang bagi publik mengekspresikan aspirasi politik demokrasi. Pembahasan RUU tak melibatkan partisipasi publik secara luas lewat curah pendapat atau konsultasi dengan berbagai pemangku kepentingan. Banyak kalangan masyarakat sebelumnya meminta pemerintah dan DPR menunda pembahasan RUU Cipta Kerja. Mereka diminta berkonsentrasi mengatasi pandemi Covid-19 yang merajalela.

 

Dengan tidak mengindahkan aspirasi publik dan tak mengikuti prosedur legislasi yang benar, pemerintah dan DPR juga melanggar beberapa sila Pancasila. Padahal, semestinya Pancasila menjadi sumber dan panduan kehidupan berbangsa, bernegara, berhukum, dan berdemokrasi.

 

Ada pelanggaran terhadap sila kedua tentang kemanusiaan yang adil dan beradab. Pengambilan keputusan semata-mata berdasarkan mayoritas kekuatan politik mencerminkan absennya budaya kewargaan dan keadaban (civility) yang penting dalam demokrasi.

 

Selain itu, ada pula pelanggaran terhadap sila keempat yang menekankan musyawarah melalui perwakilan. Eksekutif dan legislatif, yang terpilih sebagai wakil rakyat dalam pemilu, tampil lebih mewakili kepentingan diri dan kelompok politiknya daripada kepentingan rakyat.

 

Saat pelanggaran atas sila-sila Pancasila dan terhadap prinsip demokrasi terjadi, ekses negatifnya muncul dalam bentuk unjuk rasa masif di sejumlah daerah di Tanah Air yang berujung pada kericuhan dan penangkapan. Luka politik dan sosial akibat kericuhan dan tindakan pengendalian aparat yang berlebihan agaknya sulit bisa dipulihkan sampai akhir masa pemerintahan ini tahun 2024.

Namun, keadaan bukan tidak bisa diperbaiki sama sekali. Jika pemerintah dan DPR punya kemauan politik, banyak langkah bisa dilakukan untuk mencegah tergelincirnya kehidupan politik dan sosial menjadi kian tidak kondusif.

 

Presiden Joko Widodo patut lebih membuka diri untuk berdialog langsung dengan berbagai kelompok warga; masyarakat sipil, ormas sosial-keagamaan, sivitas akademika perguruan tinggi, masyarakat adat, serta antara pemerintah pusat dan daerah. Dialog hendaknya diselenggarakan dengan berani, jujur, terus terang, dan kesediaan ”tolak angsur” (give and take).

 

Selanjutnya, untuk mencegah terjerumusnya demokrasi Indonesia dalam tirani mayoritas politik, ke depan perlu dibangun sistem yang membatasi kekuasaan mayoritas politik. Pembatasan pertama, mewajibkan kekuatan politik eksekutif dan legislatif melakukan konsultasi publik sebelum mereka menyetujui UU atau keputusan politik lain. Pembatasan kedua, mencegah identifikasi kekuasaan mayoritas politik dengan demokrasi dan representasi rakyat.

 

Demokrasi jelas bukan sekadar kekuatan dan kekuasaan mayoritas, melainkan juga kepatutan, keadaban, kebijaksanaan (hikmah), dan musyawarah di antara mereka yang memegang kekuasaan vis-a-vis mereka yang dikuasai. []

 

KOMPAS, 15 Oktober 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar